"Maafkan ibu, Hanin. Ibu terlalu memikirkan ucapan orang-orang tentangmu. Seharusnya ibu tak perlu memusingkan anggapan orang. Mau disebut nggak laku ataupun perawan tua yang penting kamu bahagia. Seharusnya ibu yakin jika jodoh sudah diatur dan kelak di saat yang tepat kamu juga akan dipertemukan dengan belahan jiwamu. Sayangnya ibu terlalu egois yang tak peduli dengan perasaanmu saat itu. Maafkan ibu yang baru menyadari kesalahan-kesalahan itu sekarang setelah semua terlambat." Ibu mulai tergugu, membuat dadaku terasa sesak kembali. "Bu ...." Aku memeluknya. Badan ibu terguncang dengan tangisnya yang makin terdengar. "Kamu anak semata wayang ibu, tapi ibu masih saja nggak memahami apa yang kamu suka dan apa yang kurang kamu suka. Ibu masih saja mau menang sendiri dengan alasan orang tua jauh lebih paham apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Maafkan ibu, Hanin. Maaf ibu sudah menjodohkanmu dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu. Maafkan ibu karena sudah merenggut sebagian masa
"Mas, ibu titip pesan katanya mau bertemu denganmu," ujarku saat menyiapkan sarapan di meja makan. Mas Eris sedikit tersedak saat mendengar ucapanku. Buru-buru kuambilkan segelas air putih untuknya. Mas Eris pun meneguk air bening itu sampai setengah gelas. Sebagai seorang istri, aku masih menyiapkan segala kebutuhan dan berusaha tetap mengurusnya dengan baik meski mungkin tak pernah dianggapnya. Aku tak peduli sebab aku tak mau berdosa jika mengabaikannya begitu saja. Walau bagaimanapun dia masih sah sebagai suamiku dan aku wajib melayaninya. Namun, sejak dia mulai berhubungan dengan Mbak Fika, aku merasa dia mulai menghindar soal ranjang. Lagi-lagi aku tak ingin menuntut. Mungkin Mas Eris pikir aku akan merayunya lebih dulu. Nggak, aku cukup tahu diri. Jika dia tak meminta, itu justru berkah tersendiri buatku. Aku berharap begitu hingga sidang usai. Setidaknya aku tak memiliki anak dari laki-laki pengkhianat sepertinya. "Mau ngapain? Aku sibuk. Ibu bisa menelponku kalau ada hal
Motor keluar dari garasi lalu mulai melaju perlahan. Hijab yang kukenakan sedikit melambai-lambai tertiup angin. Meski belum genap jam sepuluh pagi, tapi panas sudah terasa begitu menyengat kulit. Jalanan pun mulai padat merayap. Mas Eros membelokkan motornya ke Anggrek Mall lalu memarkirkan motor matic itu di tempat yang sudah disediakan. Saat perlahan beriringan menuju lantai atas, Mas Eros belum jua bicara. Aku pun memilih bungkam sebab tak tahu bagaimana mengawali obrolan. "Kamu-- Kami sama-sama meringis kecil saat tak sengaja mengucapkan kata yang sama. "Kamu duluan aja, Mas. Mau ngomong apa?" tanyaku sedikit gugup. "Kamu duluan. Ladies first," ucapnya singkat dengan senyum tipis. "Kamu mau ngasih kado apa buat bapak dan ibu, Mas?" tanyaku kemudian."Terserah kamu. Kan aku minta tolong kamu yang pilih." "Tapi aku nggak tahu apa yang bagus buat ibu dan bapak. Takutnya nanti nggak suka." "Pilih yang sesuai hatimu. Suka atau nggak, biar itu menjadi urusan ibu dan bapak. Yang
"Kamu nggak apa-apa?" Mas Eros menatapku beberapa saat sebelum mengalihkan pandangan, sementara aku hanya tersenyum tipis. "Nggak apa. Memangnya ada masalah apa, Mas?" "Eris sama Fika." "Bukannya mereka sudah biasa jalan berdua? Aku sudah tak peduli dengan itu kok." Mas Eros mengernyit lalu menarik lenganku. "Kita makan ya? Kamu mau makan apa?" Laki-laki itu kembali tersenyum. "Es krim." "Dasar bocah. Tiap sedih masih saja makan es krim." "Kok tahu?" Aku balik tanya. Sampai sedewasa ini aku memang masih sering beli es krim atau coklat tiap kali galau, pusing ataupun sakit hati. Aku pun heran kenapa Mas Eros bisa tahu aku sering melakukannya hingga detik ini. "Aku sering memperhatikanmu sejak setahun lalu." Jawabannya membuatku tersedak seketika. Aku mengernyit, sementara Mas Eros kembali terkekeh melihat ekspresiku. "Tunggu sini. Aku belikan es krim." Tak menolak, aku pun mengikuti perintahnya. Duduk di kursi yang sudah disediakan lalu membuka beberapa pesan dari Hana. Dia
"Kasihan sekali kamu ya, Nin. Punya suami, tapi dia lebih memperhatikan mantan dibandingkan istrinya sendiri. Saat kesepian, istrinya terpaksa jalan sama ipar. Dia pikir bakal Bersenang-senang eh ternyata justru ditinggal sendirian. Seharusnya kamu sadar diri sih, Nin. Mungkin kamu memang terlalu membosankan, makanya nggak ada lelaki yang nyaman ngajak kamu jalan-jalan. Bahkan suamimu sendiri," ucap Fika sembari memainkan rambut curly-nya. Tanpa permisi, perempuan itu duduk di sampingku begitu saja. Aku masih cuek dan pura-pura tak mendengar ucapannya. Sengaja, supaya dia makin meradang dan kesal melihatku tak menggubris kehadirannya. Detik ini aku masih asyik menikmati es krim yang tinggal separo. "Lihat ini. Dua paper bag berisi dress, sepatu dan make up. Kamu tahu semua ini dari siapa?" tanya Fika dengan suara dan sikap yang sengaja dibuat-buat membuatku sedikit geli bercampur muak. Aku sengaja tak menjawab dan masih tetap cuek."Semua ini dari Mas Eris loh, Nin. Dia memang seper
Saat ini, entah mengapa rasanya hatiku cukup tenang dan lega. Setidaknya aku bisa membalas perlakuan perempuan itu yang selalu merasa lebih dan lebih dibandingkan aku selama ini. Turun dari motor Mas Eros, aku buru-buru mengambil dua surat yang tergeletak di samping gerbang. Beruntung ibu dan bapak belum pulang dari hajatan di rumah temannya, begitupula dengan Mas Eris yang kupastikan masih berusaha menenangkan mantan istrinya yang tengah terbakar emosi. Jadi, aku yang lebih dulu menemukan surat itu."Surat apa itu, Nin?" Mas Eros melirik dua surat yang baru saja kumasukkan ke dalam tas. Aku hanya membalas dengan senyum tipis."Surat nggak penting kok, Mas." Laki-laki itu kembali mengernyit. "Yakin nggak penting?" "Nggak." Aku membalas singkat lalu meninggalkannya di teras rumah. "Nin, kado buat ibu dan bapak kamu yang bawa." Mas Eros mengacungkan kado bermotif batik itu saat aku membalikkan badan."Kok aku yang bawa, Mas. Kamu kan yang beli kadonya. Kalau aku yang ngasih, ibu pas
"Maksud kamu apa bilang begitu, Nin?" tanya Mas Eris kaget. Dari ekspresinya dia jelas tak terima saat aku membenarkan ucapan Mas Eros yang menyebut Fika murahan. Mungkin dia memang lupa atau pura-pura lupa saking bucinnya, padahal dulu dia ditinggalkan Fika demi selingkuhannya. "Hmm ... jangan-jangan saat ini dia juga sedang merayu suami orang untuk jadi teman tidurnya. Kasihan kamu, Mas. Nggak sekalian tanya kamu mendapatkan nomor berapa sebagai teman kencannya?" Aku menjatuhkan bobot di sofa saat melihat keduanya saling tatap dengan wajah memerah. Mas Eros masih menyandarkan tubuhnya di tembok dengan senyum tipis. "Apa kamu bilang?" Mbak Fika menarik hijabku kasar. Kedua laki-laki itu tersentak seketika. Berusaha melerai, tapi aku meminta mereka untuk mundur dan tak ikut campur. Genggaman tangan Mbak Fika semakin kasar, gegas kutarik tangannya lalu kupelintir ke belakang saat dia lengah. Perempuan itu teriak-teriak kesakitan saat tangannya mulai memerah. "Kamu pikir aku akan di
"Hanin! Hanin, tunggu!" Panggilan Mas Eris dan ketukannya di daun pintu hanya kubalas dengan satu kata, iya. Namun, tak ada niat sedikit pun di hatiku untuk membuka pintu. Kalau dia mau bicara, biar saja bicara di sana dan aku mendengarkannya dari sini. "Hanin, kamu nggak bisa melakukan ini. Aku nggak mau bercerai. Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku, Nin!" Kalimatnya membuatku membulatkan mata seketika. Bisa-bisanya Mas Eris bicara seperti itu setelah dia mencoreng arti pernikahanku dengannya. Dia benar-benar egois dan tak peka.Selama ini dia terang-terangan kembali berhubungan dengan mantan istrinya. Dia tega mengabaikanku demi kepentingannya sendiri. Dia tak pernah menganggapku ada dan mungkin hanya menganggapku sebagai penghias buku nikahnya saja. Bahkan sekarang dia ingin menikahi sang mantan karena belum move on setelah sekian lama berpisah dengannya, tapi kenapa saat aku menggugat cerai dia justru menolak? Aneh bukan?! Apa dia sengaja mengekangku seperti ini agar