"Kasihan sekali kamu ya, Nin. Punya suami, tapi dia lebih memperhatikan mantan dibandingkan istrinya sendiri. Saat kesepian, istrinya terpaksa jalan sama ipar. Dia pikir bakal Bersenang-senang eh ternyata justru ditinggal sendirian. Seharusnya kamu sadar diri sih, Nin. Mungkin kamu memang terlalu membosankan, makanya nggak ada lelaki yang nyaman ngajak kamu jalan-jalan. Bahkan suamimu sendiri," ucap Fika sembari memainkan rambut curly-nya. Tanpa permisi, perempuan itu duduk di sampingku begitu saja. Aku masih cuek dan pura-pura tak mendengar ucapannya. Sengaja, supaya dia makin meradang dan kesal melihatku tak menggubris kehadirannya. Detik ini aku masih asyik menikmati es krim yang tinggal separo. "Lihat ini. Dua paper bag berisi dress, sepatu dan make up. Kamu tahu semua ini dari siapa?" tanya Fika dengan suara dan sikap yang sengaja dibuat-buat membuatku sedikit geli bercampur muak. Aku sengaja tak menjawab dan masih tetap cuek."Semua ini dari Mas Eris loh, Nin. Dia memang seper
Saat ini, entah mengapa rasanya hatiku cukup tenang dan lega. Setidaknya aku bisa membalas perlakuan perempuan itu yang selalu merasa lebih dan lebih dibandingkan aku selama ini. Turun dari motor Mas Eros, aku buru-buru mengambil dua surat yang tergeletak di samping gerbang. Beruntung ibu dan bapak belum pulang dari hajatan di rumah temannya, begitupula dengan Mas Eris yang kupastikan masih berusaha menenangkan mantan istrinya yang tengah terbakar emosi. Jadi, aku yang lebih dulu menemukan surat itu."Surat apa itu, Nin?" Mas Eros melirik dua surat yang baru saja kumasukkan ke dalam tas. Aku hanya membalas dengan senyum tipis."Surat nggak penting kok, Mas." Laki-laki itu kembali mengernyit. "Yakin nggak penting?" "Nggak." Aku membalas singkat lalu meninggalkannya di teras rumah. "Nin, kado buat ibu dan bapak kamu yang bawa." Mas Eros mengacungkan kado bermotif batik itu saat aku membalikkan badan."Kok aku yang bawa, Mas. Kamu kan yang beli kadonya. Kalau aku yang ngasih, ibu pas
"Maksud kamu apa bilang begitu, Nin?" tanya Mas Eris kaget. Dari ekspresinya dia jelas tak terima saat aku membenarkan ucapan Mas Eros yang menyebut Fika murahan. Mungkin dia memang lupa atau pura-pura lupa saking bucinnya, padahal dulu dia ditinggalkan Fika demi selingkuhannya. "Hmm ... jangan-jangan saat ini dia juga sedang merayu suami orang untuk jadi teman tidurnya. Kasihan kamu, Mas. Nggak sekalian tanya kamu mendapatkan nomor berapa sebagai teman kencannya?" Aku menjatuhkan bobot di sofa saat melihat keduanya saling tatap dengan wajah memerah. Mas Eros masih menyandarkan tubuhnya di tembok dengan senyum tipis. "Apa kamu bilang?" Mbak Fika menarik hijabku kasar. Kedua laki-laki itu tersentak seketika. Berusaha melerai, tapi aku meminta mereka untuk mundur dan tak ikut campur. Genggaman tangan Mbak Fika semakin kasar, gegas kutarik tangannya lalu kupelintir ke belakang saat dia lengah. Perempuan itu teriak-teriak kesakitan saat tangannya mulai memerah. "Kamu pikir aku akan di
"Hanin! Hanin, tunggu!" Panggilan Mas Eris dan ketukannya di daun pintu hanya kubalas dengan satu kata, iya. Namun, tak ada niat sedikit pun di hatiku untuk membuka pintu. Kalau dia mau bicara, biar saja bicara di sana dan aku mendengarkannya dari sini. "Hanin, kamu nggak bisa melakukan ini. Aku nggak mau bercerai. Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku, Nin!" Kalimatnya membuatku membulatkan mata seketika. Bisa-bisanya Mas Eris bicara seperti itu setelah dia mencoreng arti pernikahanku dengannya. Dia benar-benar egois dan tak peka.Selama ini dia terang-terangan kembali berhubungan dengan mantan istrinya. Dia tega mengabaikanku demi kepentingannya sendiri. Dia tak pernah menganggapku ada dan mungkin hanya menganggapku sebagai penghias buku nikahnya saja. Bahkan sekarang dia ingin menikahi sang mantan karena belum move on setelah sekian lama berpisah dengannya, tapi kenapa saat aku menggugat cerai dia justru menolak? Aneh bukan?! Apa dia sengaja mengekangku seperti ini agar
"Mas, kamu tahu tanggal lahir Edo dan mamanya atau tanggal pernikahan Mas Eris dengan perempuan itu?" tanyaku pada Mas Eros yang masih duduk santai di kursi rotan di halaman belakang. Dia meletakkan cangkir tehnya saat mendengar pertanyaanku yang mungkin cukup aneh di telinga. "Tumben nanya begitu. Memangnya ada apa, Nin?" tanyanya dengan alis nyaris tertaut. Dengan rasa penasaran, Mas Eros menatapku lekat saat aku duduk di kursi yang lain,.tak jauh dari tempat duduknya. "Aku harap kamu mau membantuku, Mas.""Soal?" "Gugatan itu." Mas Eros manggut-manggut, tapi dia masih saja terdiam. "Aku akan mengumpulkan banyak bukti pengkhianatan Mas Eris agar memudahkan gugatanku. Aku benar-benar nggak menyangka jika laki-laki itu akan mengekangku seperti ini. Kupikir dia hanya shock saja melihat undangan sidang itu, tapi ternyata dia lebih gi la dari yang kubayangkan. Entah apa tujuannya menahanku sebagai istrinya. Apa dia sengaja melakukan ini agar aku terus merasakan sakit itu?" Mas Eros
"Ini kado dari Hanin, Bu," ucap Mas Eros saat meletakkan kado bermotif batik itu di atas meja. Ibu sempat terkejut mendengar namaku diucapkan oleh anak lelakinya itu, tapi kini ibu berusaha mentralkan ekspresinya. "Hanin tak tahu apa kesukaan ibu, tapi semoga ibu menyukai kado ini," sambungnya dengan senyum tipis lalu duduk di samping ibunya. "Kamu memang tak pernah lupa dengan tanggal pernikahan ibu dan bapak. Pasti kamu yang ngasih tahu tanggal spesial ini pada Hanin kan?" tanya ibu sembari menepuk-nepuk lengan Mas Eros sambil menatapnya lekat. Mas Eros pun tersenyum tipis. "Aku belum menikah, Bu. Belum punya anak dan istri, wajar kalau cuma ibu dan bapak yang kuingat." Mas Eros meringis kecil. "Iya ... iya. Dulu kamu dan Eris juga sama-sama belum menikah, tetapi cuma kamu yang selalu ingat ulang tahun ibu dan bapak ataupun tanggal pernikahan kami. Eris selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Apalagi setelah menikah seolah melupakan tanggal-tanggal spesial orang tuanya." Ibu mengh
Ibu men desah pelan. Ada seraut kecewa tersirat di wajahnya yang menua. "Lain kali jangan banyak pertimbangan, Ros. Jangan memikirkan Eris terus. Kalau memang dia belum punya pasangan dan kamu sudah mendapatkan pasangan, segera kenalkan pada ibu. Kalau memang dia belum sukses, sementara kamu sudah sukses, nikmati kesuksesanmu. Kalian berdua berhak bahagia meski dengan cara yang berbeda. Kalian sama-sama anak ibu, sukses atau nggak, tak pernah mengubah kasih sayang ibu pada kalian berdua. Sekali lagi ibu minta, jangan mengorbankan dirimu terus hanya untuk menyenangkan hatinya," ucap ibu dengan mata berkaca. "Aku tahu, Bu. Hanya saja apa Eris memahami itu?" Mas Eros menghela napas panjang. Kedua matanya menatap ke depan, sepertinya membayangkan sesuatu yang tak pernah kutahu sebelumnya. Aku tak tahu ada rahasia apa di antara mereka. Melihat tatapan sendu anak lelakinya, ibu memijit kening lalu menatap kembali kado di atas meja. "Jika dia nggak paham, setidaknya dia mau menerima takd
Deru mobil Mas Eris terdengar di garasi. Aku masih pura-pura sibuk membaca novel online di handphone. Terdengar celoteh anak lelaki dan tawa seorang perempuan yang tak asing di telinga. Rupanya mereka datang lagi ke sini. Keluarga harmonis. Seperti biasa, Ibu menyambut mantan menantunya dengan hangat. Celoteh Edo membuat tawa ibu kembali terdengar renyah di telinga. Aku hanya tersenyum tipis melihat keakraban mereka. Sebelumnya aku sempat iri karena belum juga dikaruniai buah hati, tapi melihat sikap Mas Eris seperti itu, sekarang justru bersyukur karena belum dikaruniai momongan. Tak bisa kubayangkan bagaimana sikap Mas Eris pada anakku nanti, mungkin berbanding terbalik dengan sikapnya pada Edo, anak pertamanya itu. "Hai, Hanin. Gimana kabarnya?" Perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dengan senyum tipisny saat aku menutup pintu kamar. "Baik banget, Mbak." Aku tersenyum tipis lalu melangkah pergi. "Kamu nggak tanya bagaimana kabarku?" "Buat apa? Bukannya kamu terl