Secretary sang CEO
Hari semakin larut, rasa lelah yang Aditya rasakan sama sekali tidak lagi terasa dan digantikan dengan rasa cemas. Pria itu sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di depan ruang ICU—setelah sebelumnya anaknya berada di IGD—guna menanti kabar yang mampu melegakan semua kecemasan. Ia khawatir dengan kondisi Aurel—anak perempuannya dari Sabrina— yang tak ia ketahui penyebabnya sampai detik ini. Bahkan Sabrina seakan bungkam dan tak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Aditya. Beberapa jam telah ia lewati hingga bunyi decit yang ditimbulkan pintu ruang ICU dan lantai membuat Aditya langsung bergerak menemui dokter yang keluar dari ruangan tersebut.
"Keluarga Aurel Kavindra," panggil pria yang bertitle dokter itu.
"Saya Papanya. Bagaimana keadaan anak saya, Dok?
"Begini, Pak. Saya Dokter Erwin yang menangani anak Bapak beberapa bulan terakhir ini. Jadi, menurut hasil pemeriksaan kami, kanker Aurel sudah masuk ke stadium lanjut. Kecil kemungkinan untuk Aurel bisa bertahan lebih lama, Pak, tapi kami akan lak—"
"Tu—tunggu! Apa? Kanker? Bagaimana bisa anak saya mengidap kanker? Anda tidak salah diagnosa?" tanya Aditya yang sama sekali tak memahami ucapan sang dokter.
Seketika tubuhnya lemas tak berdaya mendengar kenyatan bahwa anak perempuannya mengidap penyakit berbahaya itu. Bahkan dokter sudah mengatakan stadium penyakit Aurel berada di akhir, itu artinya tidak akan banyak harapan yang mampu membuatnya tenang.
"Iya, Pak, Bapak tenang dulu agar saya bisa jelaskan. Begini, Pak, Aurel mengidap kanker darah stadium lanjut dan perkembangannya sangat cepat. Saya beritahukan kondisinya sekarang agar jika terjadi sesuatu keluarga sudah bisa memahami segala risiko, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Aurel bertahan," papar sang Dokter.
Penjelasan sang dokter bahkan hanya setengah yang masuk ke telinga Aditya, semuanya terbiaskan oleh pikirantentang anak semata wayangnya dan pikiran-pikiran buruk. Ia ingin menepis semua angan-angan buruk itu, tetapi kondisi yang terjadi membuat intimidasi pada mentalnya terlebih setelah kehilangan orang terkasihnya beberapa tahun lalu.
"Boleh saya masuk, Dokter? Saya ingin menemui anak saya," pinta Aditya lirih.
"Boleh, Pak, silakan. Kebetulan Aurel sepertinya memang membutuhkan orang tuanya." Sang dokter pun mengajak Aditya untuk masuk ke ruangan ICU tersebut.
Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ke dalam ICU tersebut mengikuti langkah sang dokter. Beberapa langkah kemudian, ia tercekat dan menghentikan laju kakinya. Langkah itu terasa sangat berat saat menatap ke arah tubuh mungil anaknya yang terbaring lemah. Bocah kecil yang masih dalam keadaan sadar dan tidak tahu apa yang terjadi karena usianya masih lima tahun, hanya bisa terdiam. Kerlingan air bening mulai membasahi pelupuk tanpa mampu terjatuh begitu saja saat melihat tubuh anaknya yang tergeletak dengan selang infus di tangannya dan beberapa peralatan medis di tubuh anak perempuan itu. Ia tidak tega, sangat tidak tega melihat anak sekecil itu harus merasakan sakitnya jarum infus terpasang di tangannya.
Tidak seharusnya Papa meninggalkan kamu Aurel, batin Adit menyesal.
"Pa—Papa," panggil Aurel dengan binar senang di matanya.
Mendengar panggilan dari putrinya, Aditya menghela napas panjang dan menghapus air matanya agar sang anak tak melihatnya dalam keadaan pilu. Ia lantas berjalan menuju Aurel yang memanggilnya.
"Iya ini Papa, Nak. Papa datang untuk kamu. Ada yang sakit? Mana Nak yang sakit?" tanya Aditya dengan suara sedikit gemetar.
Ia usap perlahan pucuk kepala anaknya itu, tatapan lemah dan bibir yang pucat membuat hati Aditya hancur. Sialnya ia tak mampu berkata apa pun sekarang.
"Aurel kangen Papa. Papa kenapa nggak pulang-pulang? Papa sibuk ya?" tanya anak kecil itu dengan polosnya.
Seketika hati Aditya merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak menyangka Aurel akan menanyakan hal yang belum ia ketahui kebenarannya. Ia juga merindukan anak perempuannya itu, tetapi waktu yang seolah belum berpihak untuk mempertemukan anak dan ayah dalam waktu dekat. Dan, andai Sabrina tidak mengkhianatinya, anak mereka tidak akan menjadi korban dari keegoisan antara dirinya dan Sabrina beberapa tahun lalu. Jujur, ia tidak ingin melihat anaknya seperti ini, tapi ia tidak mampu juga menahan rasa kekecewaan pada Sabrina.
"Papa minta maaf, Aurel. Papa juga kangen sama Aurel, sekarang Papa janji nggak akan pernah ninggalin Aurel, ya ...," ucap Aditya.
Kini, tangan mungil itu memegang tangan ayahnya dan ia berkata, "Pa, ayo pulang. Aurel takut di sini. Di sini dingin, nggak ada boneka Little Pony seperti di kamar Aurel. Tangan Aurel juga sakit di suntik sama Dokter, ayo pulang aja, Pa."
Sakit? Benar-benar sakit mendengar seorang anak kecil mengatakan hal seperti itu. Hal yang dirasakan Aditya saat ini hingga entah sadar atau tidak, tangannya mulai gemetar.
"Nak, Aurel di sini dulu, ya. Papa bakal jagain Aurel biar cepet sembuh. Nanti setelah sembuh, Papa janji akan bawa Aurel jalan-jalan, kita main bareng ya sama Mama juga, gimana?"
Nampak sorot berbinar di mata Aurel meskipun terlihat samar. Ia senang jalan-jalan bersama orang tuanya. Hal yang ia impikan beberapa hari lalu. "Beneran, Pa? Papa nggak sibuk, ya? Akhirnya Aurel bisa jalan-jalan juga sama Papa, terima kasih ya, Pa, Aurel sayang Papa," ucap bocah kecil itu dan disambut pelukan oleh Aditya.
Setelahnya, Aditya mengelus rambut anak perempuannya itu, sorot matanya menampakkan kesedihan yang teramat pahit sekali pun senyum ia kembangkan di bibir. Ia takut kehilangan seseorang lagi di hidupnya, ia takut kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Ia tidak sanggup kali ini jika harus kehilangan anaknya, ia memeluk tubuh mungil Aurel lagi, ia sangat menyayangi anak perempuan satu-satunya itu.
"Papa sayang sama Aurel, Papa minta maaf ya, Nak."
*****
Di ruangan tujuh kali enam meter persegi, yang di dominasi warna putih dengan satu bad pasien di sisi kiri setelah pintu masuk dan sebuah set meja kerja di sisi kanan menyapa pagi Aditya. Pria itu duduk masih dengan perasaan cemas menatap pria di depan yang ber-tittle sebagai Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Hematologi dan Onkologi Medik). Hari masih pagi, tetapi Aditya sudah tidak sabar mendengar segala solusi yang bisa menyelematkan sang anak.
"Dok, apa tidak ada cara untuk menyembuhkan anak saya? Berapa pun biayanya saya akan tanggung, Dok," ucap Aditya saat menemui dokter yang menangani Aurel di dampingi oleh Sabrina.
"Langkah selanjutnya adalah harus ada operasi pencangkokan sum-sum tulang belakang, Pak, hal ini di peruntukan agar Aurel bertahan, tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun, semuanya atas kuasa Tuhan, Pak. Saya sebagai dokter hanya mengusahakan yang terbaik untuk pasien saya."
"Bagaimana prosedurnya, Dok? Lakukan apa pun untuk anak saya, saya tidak bisa kehilangan dia, Dok."
"Kita butuh sum-sum tulang belakang dari keluarga, Pak, entah orang tua atau pun saudara kandung yang cocok untuk Aurel."
Aditya nampak berpikir dengan penjelasan dokter, kemudian ia tatap Sabrina di sisinya sejenak dan akhirnya memutuskan suatu keputusan sepihaknya. "Saya saja, Dok, ambil milik saya untuk anak saya."
Keputusan Aditya sontak membuat Sabrina menatap pria itu. Pria yang pernah ia khianati karena sebuah alasan, pria yang rela merubah tingkah laku buruk untuknya demi anak perempuan mereka. Dan sekarang, tiga tahun perpisahan mereka tidak membuat Aditya melupakan kewajibannya sebagai seorang ayah yang baik untuk Aurel. Pria itu tak acuh bahkan lebih memedulikan anak mkereka. Di saat ia sendiri sebagai ibu justru tak memberi kabar apa pun terhadap Aditya tentang kondisi Aurel. Pria itu masih sama, pria yang sangat baik. Sabrina hanya mampu menahan air matanya dengan menunduk agar tidak terjatuh begitu saja.
"Jika memang seperti itu, silakan nanti Bapak ikut ke lab kami untuk mencocokan dengan milik Aurel. Jika cocok kita akan lakukan tindakan itu secepatnya. Bapak tunggu di sini sebentar," papar sang dokter yang beranjak meninggalkan ruangannya.
Sabrina lantas memegang tangan pria itu dan menatapnya seakan meminta jawaban atas keputusannya.
"It's okay. Ini semua untuk anakku! Aku nggak akan membiarkan anakku menderita lagi."
Sabrina masih tidak menyangka Aditya akan mengorbankan semuanya untuk anak mereka. Sosok Aditya yang keras dan angkuh ternyata memiliki sisi lembut dan khawatir yang berlebihan. Perempuan itu dapat melihat Aditya mengangguk tanpa keraguan dan saat dokter kembali serta memberikan sederet dokumen untuk disetujui oleh Aditya ia langsung menandatangani tanpa berpikir dua kali. Setelah itu Aditya mengikuti sang dokter ke laboratorium rumah sakit tersebut untuk dicocokan dengan sum-sum tulang belakang Aurel. Belum sempat Aditya melakukan pemeriksaan mendalam, teriakan para tim medis menarik perhatiannya.
"Dokter Erwin! Cepat, pasien atas nama Aurel dalam keadaan kritis!" seru salah satu dokter lain.
Seketika Aditya ikut tersentak. Banyak pertanyaan menghampiri pikirannya. Ada ketakutan mendalam dalam dirinya. Namun, saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti langkah dokter yang berlari ke arah ruang ICU. Hatinya tak menentu, rasanya air mata ingin meloloskan diri begitu saja. Dan, langkahnya tertahan di depan pintu ruang ICU karena perawat yang menahannya.
"Bapak tunggu di luar dulu selama pemeriksaan Dokter."
"Tapi—"
"Adit kamu tenang, ya, tenang, Dit," ucap Sabrina mencoba menarik tubuh pria itu dari depan Ruang ICU.
"Bagaimana aku bisa tenang, hah?! Kamu tidak becus menjaga Aurel! Harusnya dari awal Aurel sakit kamu bilang padaku! Ibu macam apa kamu ini!" bentak Aditya.
Emosinya meluap karena ia berusaha menutupi rasa ketakutan yang kembali menyeruak dalam hati dan pikirannya. Rasa pusing menjalar di kepala bagian belakang hingga membuat tengkuknya memberat. Ingatan akan kehilangan seseorang benar-benar sangat menyakiti batinnya. Belum lagi, ketegangan antara Aditya dan Sabrina pun semakin parah lantaran saling menyalahkan satu sama lain.
"Sudah, Nak. Jangan berantem di sini, kasihan Aurel," ucap Ibu Sabrina.
Aditya terdiam, tidak acuh terhadap keluarga Sabrina. Ia kecewa terhadap Sabrina yang tidak memberitahukan kepadanya bahwa anak mereka sedang menderita penyakit yang tidak bisa di sepelekan. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena tidak memerhatikan anak perempuannya sehingga ia lengah menjaga Aurel.
Beberapa jam kemudian, sang dokter pun keluar dari ruang ICU. Sontak Aditya langsung berdiri dari kursi tunggu menuju ke arah sang dokter di ikuti oleh Sabrina.
"Dokter ... anak saya—bagaimana anak saya?" tanya Aditya tak sabar.
Dokter menghela napas panjang kali ini. Di lihatnya sorot mata Aditya yang lelah karena memang benar ia tidak tidur seharian demi menunggu putrinya seharian. Hal yang paling Dokter Erwin benci adalah memberitahu hal yang buruk tentang pasien pada keluarganya, namun gak dapat di pungkiri, semuanya harus jelas.
"Maaf Pak, kami sudah berusaha ... tapi Tuhan mempunya rencana lain untuk anak Bapak. Aurel tidak dapat kami selamatkan karena kondisinya yang terus menurun sejak kemarin. Kami minta maaf yang sebesar-besarnya, Pak."
Ketika suara tangis histeris terdengar di telinganya tepat dari mantan istrinya yang tak lain Sabrina justru Aditya mematung menatap ruang ICU itu. Kosong. Pikirannya kosong seiring penjelasan lanjutan sang dokter yang mengatakan bahwa nyawa anaknya tidak dapat tertolong.
"Dokter bohong, 'kan?" tanya Aditya yang tadinya menatap lurus ke arah ruang ICU seketika menatap sang dokter. "Dokter bohong, 'kan? Selamatkan anak saya ... saya mohon, Dok. Selamatkan Aurel, tolong ...," pinta Aditya yang kini menarik snelli¹ sang dokter.
"Saya ... minta maaf, Pak, kami sudah mengusahakan apa pun."
"Tidak mungkin! Dokter jangan bohong! Dokter tidak ada usaha untuk menyelamatkan anak saya!" Dorong Aditya pada tubuh Dokter Erwin dengan emosi, membuat tubuh sang dokter mundur dengan cukup keras andai sang dokter tak memasang pertahanan diri.
Dokter Erwin memaklumi rasa kehilangan Aditya dengan membiarkannya melampiaskan ke dirinya. Hal ini sangat sering ia temukan, kekecewaan keluarga pasien atas kehilangan orang terkasih untuk selamanya. Hingga pelukan Sabrina membuat Aditya melemah, kakinya lemas dan membuat pria itu bersimpuh di depan ruang ICU tersebut. Kepalanya menunduk dalam, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang dia sayangi. Sang dokter pun kembali mencoba menenangkan Aditya.
"Bapak yang sabar, Pak. Aurel sudah tenang. Ia sudah tidak merasakan sakit lagi, Pak. Bapak yang tabah, anak Bapak sudah cukup kuat melalui semua ini, Pak," hibur Dokter Erwin.
Akan tetapi, ucapan Dokter Erwin tak mampu menenangkan hati Aditya. Ia benar-benar sangat terpukul dengan kenyataan yang terjadi. Tangisnya pecah saat ia masih teringat janjinya akan mengajak sang anak untuk berlibur. Menyesal! Hanya sesal ungkapan dari Aditya, ia tak sempat membahagiakan anak perempuannya seperti janjinya.
"Aditya, aku minta maaf ... aku memang bukan Ibu yang baik untuk Aurel. Aku minta maaf, Dit," ucap Sabrina di sela tangisnya.
Aditya menepis tangan yang menyentuh pundaknya itu. "Maafmu tidak akan mengembalikan nyawa anakku!"
Aditya bangkit dari posisinya, ia melangkah menuju ruang ICU untuk melihat anaknya. Ia langkahkan kaki yang berat itu menuju jenazah Aurel. Lagi-lagi, rasa kehilangan yang mendalam di rasakannya saat melihat tubuh Aurel yang tergeletak lemah di depannya. Tangannya bergetar, ia mengelus pelan wajah anaknya yang memucat itu. Namun, bagaimana pun ia menyesal, Aurel sudah benar-benar tiada. Entah semuanya hanya ilusi pria itu atau tidak, seulas senyum tercetak di bibir sang anak. Aditya tersenyum dalam tangis tertahannya, mungkin anak kecil itu sudah lega bisa bertemu dengan sosok ayah yang dirindukannya.
"Maafin Papa, Nak, Papa belum bisa mengajakmu jalan-jalan," ucap Aditya.
Tidak ingin rasanya ia beranjak dari tubuh Aurel hingga nada dering mampu mengalihkannya sejenak. Ia mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya. Berkali-kali pria itu mencoba untuk tetap kuat dan tidak terlarut terlalu dalam.
"Hallo," sapanya pada sang penelepon.
"Pak Aditya di mana? Hari ini —"
"Urus semua urusan kantor, saya masih ada urusan di luar. Saya serahkan kepada Marco dan juga kamu Sandra. Jangan ganggu saya!" potong Aditya.
Panggilan pun ia matikan sepihak. Ia benar-benar tidak ingin diganggu siapa pun. Setelah cukup lama ia berdiri di samping Aurel, ia beranjak dari ruangan ICU itu karena dokter dan tim medis lainnya akan mengurus kepulangan Aurel. Ia keluar dari ruang ICU itu dan mendapati sang Ibu sudah ada di luar ruang ICU.
"Ma, Mama di sini?" tanya Aditya lirih.
Sang Ibu langsung menghambur memeluk Aditya. Bahkan saat ini, Aditya hampir tak mampu menerjemahkan perasaannya sendiri. Rasanya terlalu sakit hingga tak lagi merasakan apa pun.
"Nak, yang kuat, Sayang. Maaf, Mama baru tau hal ini. Ikhlasin ya, Nak, Aurel akan menjadi bekal dan penolong untukmu dan Sabrina nanti," ucap sang Ibu.
Aditya menganggukan kepalanya pelan. Sang Ibu tahu psikis anaknya sedang terguncang menerima kenyataan itu. Perempuan paruh baya itu berusaha menenangkan Aditya agar ia tak kembali mengalami depresi seperti dulu. Ucapan lembut Andini —sang Ibu— mampu meluluhkan hati Aditya. Ia sadar, ia tidak bisa berlarut dalam kesedihan yang terlalu mendalam. Ia harus belajar menghadapi semuanya, belajar menghadapi kepergian yang pasti akan terjadi pada siapa pun di dekatnya bahkan mungkin pada dirinya sendiri.
"Adit, aku minta maaf sekali lagi. Aku memang bukan Ibu yang becus menjaga Aurel ... maafkan aku," ucap Sabrina yang tengah memegang tangan Aditya.
Adit menghela napasnya, tak ada gunanya lagi ia marah atau pun kecewa terhadap Sabrina. Bagaimana pun, Sabrina adalah ibu dari anaknya. Ia yang telah melahirkan Aurel, ia pula yang telah membesarkan anaknya. Aditya masih melihat Sabrina yang tak bisa menghentikan air matanya menerima semua ini, ia paham Sabrina lebih sakit menerima kenyataan ini karena ia adalah seorang ibu. Tak lagi ingin memenangkan keegoisannya, ia tarik tubuh Sabrina ke dalam pelukannya. Sabrina butuh sandaran kali ini dan Aditya memberikan sandaran itu kepadanya. Mendapati perlakuan seperti itu membuat Sabrina semakin menangis di pelukan Aditya. Ia sangat menyesal dan merasa benar-benar kehilangan Aurel dalam hidupnya.
Secretary sang CEOWaktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan.Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuat
Secretary sang CEOTatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah."Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya."Tapi aku ... aku hanya—""Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi."Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.Anggi menggelengkan kepalanya. "Tida
Secretary sang CEOHari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi sang atasan. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal, membuat Aditya merasa cukup.Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu dibantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya, walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu."Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, d
Secretary sang CEOAditya yang sudah berada di dalam kamar mulai merebahkan diri di ranjang besarnya itu. Ia menghela napas panjang. Sedikit frustasi dengan masalah yang dihadapi kali ini. Sekali lagi ia telah menyakiti orang lain, membuat orang itu terluka dengan tangannya sendiri, lagi dan lagi.Benar apa yang dikatakan Violitta. Selama ini hidupnya memang tidak pernah tenang, ia masih saja dihantui rasa bersalah atas sisi gelapnya yang bahkan ia sendiri susah untuk mengontrolnya.Aditya tidak suka dengan pengkhianatan, ia paling benci dengan kebohongan. Hal yang membuat sisi lain Aditya muncul dengan sendirinya. Dikhianati berkali-kali membuat pria itu jatuh ke lembah yang menjadikannya sebagai sosok yang tidak punya perasaan lagi. Ingin mengakhiri, tetapi selalu saja ada yang sengaja membuat sisi gelap itu kembali."Gadis bodoh!" geram Aditya yang masih meruntuki kebodohan Violitta dan diam-diam mengkhawatirka
Secretary sang CEOSetelah peristiwa yang menyebabkan jantung Anggi seakan berhenti mendadak, akhirnya ia memutuskan untuk meyegarkan badan agar fungsi otak kembali berjalan dan berpikir positif. Walau memang, degup jantungnya masih berdetak kencang saat mengingat kejadian tadi pagi. Ditambah ekspresi Aditya yang sesantai itu justru membuatnya salah tingkah sendiri.Setelah hampir 15 menit ia pun telah menyelesaikan ritual mandinya tepat saat ponselnya berdering. Perempuan itu pun segera berjalan ke arah meja nakas di sisi ranjang dan menatap layar ponselnya. Seulas senyum tercetak di bibir saat nama Dimas tertera di sana dan ia pun langsung mengangkat panggilan itu."Morning juga Pak Dimas, ada apa, Pak?" sambut Anggi setelah menerima sapaan dari ujung panggilan itu."Ada waktu enggak nanti, makan siang misalnya? Saya ingin bicara denganmu.""Bisa, nanti waktu makan siang ya, Pak, di mana?" tanya Anggi.&nbs
Secretary sang CEOAnggi bergegas untuk segera meninggalkan kediaman Aditya. Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah atasannya itu. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah didapatkan dan sisanya akan dipikirkan nanti. Entah, kenapa ia bisa semarah ini dengan Aditya, ada rasa sakit di hatinya saat bentakan pria itu tertuju padanya. Padahal, bisa saja ia cuek dengan ucapan pria itu."Loh, Non Anggi mau ke mana?" tanya Bi Suin yang tiba-tiba mencegah pergerakan langkah Anggi. "Saya mau pergi, Bi. Saya tidak enak tinggal di rumah Pak Adit terus. Saya ingin balik ke kos saya aja, Bi, biar saya gak ngerepotin Bibi juga, makasih ya Bi untuk semuanya.""Tapi kan, apa Non Anggi sudah bilang sama Tuan Aditya? Jangan pergi, Non, Bibi nggak ngerasa di repotin kok sama Non Anggi, justru Bibi seneng Non Anggi di sini," cegah Bi Suin lagi.Anggi lantas memeluk pembantu Aditya itu. Jujur, memang dirinya juga sudah seperti memiliki keluarga
Secretary sang CEOSenja di ufuk barat mulai menebarkan pesonanya. Jam di tangan Aditya juga sudah menunjukkan waktu jam kerja berakhir. Ia yang sedari tadi berkutat dengan pekerjaannya bahkan sedikit terganggu dengan insiden penolakan Anggi atas perasaanya dan ucapan Sandra atas penghianatan Anggi. Ia pun menghela napasnya saat melihat perempuan itu tengah merapikan meja kerjanya dan ia masih percaya terhadap Anggi."Anggi," sapa Aditya saat menghampiri meja kerjanya."Eh, eh iya, Pak Adit. Ada yang perlu saya siapkan?"Aditya menggeleng. "Tidak. Saya hanya ... emm, bertahanlah di sini sebentar sampai kamu menemukan sekretaris baru untuk saya. Bisa?"Anggi tertegun sejenak, lalu ia tersenyum kepada Aditya. Seolah-olah kejadian tadi pagi tak pernah terjadi di antara mereka meskipun dari masing-masing hati merasakan suatu kehampaan."Bisa, Pak. Saya akan segera mencarikan sekretaris baru untuk Pak Adit,
Secretary sang CEOKeesokan harinya, tepat pukul enam pagi Aditya mulai mengerjapkan mata. Dirasakan pusing masih menjalar di kepalanya hingga belum sanggup untuk sekedar membuka mata. Namun, ia tetap terduduk di ranjang itu dan belum menyadari bahwa dirinya tak berada di kediamannya."Sudah bangun, Dit?" tegur seseorang.Sontak saja Aditya menghentikan aktifitasnya yang tengah memijit kepalanya sendiri. Netranya langsung terbuka saat suara yang tak asing ia dengar menyapa pagi-pagi seperti ini. Ia langsung menyapu seluruh ruangan yang nampak asing dan tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang tengah berkutat di area dapur kecil di dalam kamar itu. Sosok yang jelas ia kenal seluk beluknya."Sandra, kamu—""Sudah jangan memikirkan apa-apa dulu. Aku membuatkan teh jahe untukmu. Minumlah, bisa mentralkan mabuk beratmu semalam." Perempuan itu mulai melangkah menuju ke ranjang Aditya dan memberikan sege
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p