Secretary sang CEO
Waktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan.
Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuatnya kembali tertutup, semua karena ia tak lagi merasakan kehilangan siapa pun.
"Dit, terima kasih. Terima kasih atas semuanya, kamu sudah menjadi Ayah terbaik untuk Aurel, terima kasih, Dit," ucap Sabrina membuka obrolan.
Aditya nampak hanya melirik ke sisi kananya sejenak tanpa memalingkan tubuhnya ke arah perempuan yang tiba-tiba datang itu. Semilir angin yang menerpa tubuh keduanya kembali membawa keterdiaman tanpa sepatah kata pun. Menatap lurus ke arah nisan yang meninggalkan sejuta kasih sayang sekaligus penyesalan kedua orang tuanya.
"Lanjutkan hidupmu, Sabrina. Jangan ragu untuk menghubungiku jika memang benar-benar butuh bantuanku. Kita memang sudah tidak ada hubungan apa-apa, tapi tetap kamu ibu dari anakku ... meskipun kini Aurel sudah tidak ada di dunia," ucap Aditya.
Tanpa menunggu jawaban Sabrina, ia membalikkan badannya dan langsung melangkahkan kaki pergi dari pusara Aurel, meninggalkan Sabrina sendiri di sana.
Ia melangkahkan kakinya untuk memulai kehidupannya lagi dan berharap Aurel akan bahagia di sana. Sabrina hanya bisa melihat punggung Aditya yang berjalan meninggalkannya dan lantas menghela napas panjang.
Aditya memang sosok yang arogan, kasar, dingin dan tidak punya hati. Namun, di sisi lain ia adalah sosok penyayang, ayah terbaik untuk anak-anaknya dan ia adalah sosok yang perhatian meskipun tak ia tunjukan secara terang-terangan. Sabrina kembali menatap nisan bertuliskan nama Aurel Kavindra.
"Mama tau, Nak, Papamu orang yang sangat baik. Kamu harus bangga memiliki Papa sepertinya. Terima kasih, Nak, kamu sudah membuat kebahagiaan dalam hidup kami, pernah memberikan kami sebuah senyum bahkan canda tawa yang tidak akan pernah kami lupakan. Tenanglah di sana, Mama akan selalu merindukan, Aurel ...," ucap Sabrina yang lagi-lagi dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
*****
Mobil Aditya melesat menuju ke arah kantor. Karena kepergian Aurel, Aditya benar-benar menggantungkan pekerjaan kepada tangan kanannya. Tanpa pria itu tahu bahwa ada kendala di dalam kantor yang membutuhkannya beberapa hari ke belakang. Namun, karena ponsel Aditya tidak aktif maka pria itu masih menganggap semuanya baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, ia telah sampai di kantornya. Ia parkir mobilnya tepat di depan lobi pintu masuk Artha Group. Ia keluar dari mobil tepat ketika semua mata tertuju padanya karena penasaran sosok yang bertandang ke kantor berpakaian sang kontras seperti kebanyakan. Setelan celanan jeans dipadukan dengan kemeja hitam serta jaket kulit hitam serta sepatu fantofel benar-benar membuat aura Aditya semakin bersinar.
Ketika Aditya berjalan sembari melepaskan kaca mata hitamnya, sontak saja para karyawan terkejut karena menyadari pria yang terlihat mengenakan style santai, tetapi rapi itu adalah atasan mereka.
"Itu Pak Aditya? Beda banget kalau udah pakai baju kayak gitu, cocok banget jadi boyfriend material," oceh salah satu karyawan perempuan.
"Setuju, gantengnya paripurna nggak ada saingan pokoknya. Coba senyum dikit, pasti bikin meleleh tuh," timpal lainnya.
Celoteh-celoteh para karyawan perempuan sudah tidak asing lagi terdengar. Banyak dari mereka yang mengagumi sosok Aditya. Banyak dari mereka pun yang berharap setidaknya dilirik atau disapa pria itu, tetapi sepertinya itu hanya angan-angan mereka saja. Perempuan yang beruntung bisa berdekatan dengan Aditya hanyalah Sandra dan sekarang ditambah Anggi. Aditya pun menuju ke ruangannya yang disambut oleh Sandra.
"Pak Aditya, Bapak ke mana saja?" tanya Sandra cemas.
"Ada urusan. Bagaimana kantor? Sandra, Anggi ... Marco, semuanya baik-baik saja kan?" tanyanya sembari melepaskan jaket kulitnya dan meletakkannya di meja kerjanya.
Dengan perasaan sedikit ragu, Marco melangkahkan kakinya menuju Aditya dengan memberikan berkas-berkas untuk diketahui sang atasan. Dengan menyandarkan badannya di meja kerja, ia menerima berkas itu. Menilik secara detail berkas-nerkas itu dan betapa terkejutnya saat mendapati bisnisnya kali ini mengalami penurunan yang tidak wajar serta investor yang menarik kembali sebagian saham di perusahaannya.
"Apa-apaan ini? Saya hanya tidak ada satu minggu dan ada masalah seperti ini! Marco kamu sudah tidak becus mengatur bisnis saya! Sandra kamu juga! Untuk apa kalian bekerja jika semuanya tidak ada yang beres!" sentak Aditya geram.
Pria itu lantas melempar berkas-berkas tersebut di depan Sandra dan Marco yang tertunduk tidak berani menjawab pertanyaan atasannya. Emosinya memuncak karena itu artinya ia harus kembali menemukan kepercayaan investor dan menemukan apa yang salah dalam usahanya.
"Atur jadwal meeting sekarang dengan jajaran manager! Saya tunggu lima menit di ruang meeting! Awas jika ada yang terlambat! Anggi ikut saya!" titah Aditya dan ia pergi meninggalkan Sandra dan Marco.
Sontak Sandra dan Marco segera menguhubungi para jajaran manager. Waktu yang sangat singkat itu membuat Sandra dan Marco sedikit panik. Raut wajah serius Aditya dengan kemarahannya sudah memporak pondakan suasana. Namun mereka bersyukur bahwa Aditya datang tepat waktu sebelum bisnis pria itu benar-benar tak terselamatkan.
Di sisi lain, Anggi hanya menundukkan kepalanya duduk di kursi ruang rapat, merasa takut dengan sikap Aditya yang sedari tadi tidak ramah sama sekali. Sikapnya benar-benar berubah, ia menjadi mudah emosi dan tidak menghargai kerja orang lain. Lima menit berlalu, para jajaran manajer sudah berkumpul di ruang rapat di mana sudah jelas ada Aditya di sana. Tatapan tajam dan dingin Aditya menyusuri satu persatu jajaran manager di perusahaannya yang membuat para manager itu sedikit ngeri.
"Kenapa sampai para investor menarik sahamnya? Siapa yang bertanggung jawab atas ini? Pak Deri anda adalah manager Humas di sini, kenapa hubungan perusahaan dengan para investor bisa begini?" tanya Aditya, tentu dengan nada yang tidak menyenangkan.
"Emm, it—itu, Pak, anu —"
"Apa!" bentak Aditya lagi.
"Pa—para investor takut untuk menginvestasikan kembali karena bisnis di bidang properti tahun ini sedikit menurun. Pak. Jadi mereka menarik sebagian saham agat tidak rugi."
Aditya mendecak, memang ia mengetahui berita terkait hal itu. Namun, siapa sangka jika hal tersebut berdampak pada perusahaanya. Aditya tak sabar, ia tidak peduli alasan apa pun. Namun, jika perusahaan mampu meyakinkan lebih pada investor tidak akan terjadi hal penarikan saham besar-besaran seperti ini, sedangkan Artha Group tengah menangani proyek besar.
"Kalian semua orang-orang yang saya anggap terbaik, tapi nyatanya tidak bisa bekerja dengan baik!"
Semua orang yang berada di ruang rapat tersebut terdiam. Mereka memang tidak pandai memikat hati para investor, semua investor yang ada adalah hasil dari kerja keras pribadi Aditya. Ia sangat pandai menarik hati para investor-investor untuk bekerja sama dengan perusahaannya.
"Bubar!" ucap Adit.
Seketika semuanya bubar meninggalkan ruang rapat. Ia harus memutar otak agar perusahaannya kembali berjaya dan tidak terpengaruh akan naik turunnya bisnis properti di luar sana.
"Marco! Urus semua investor-investor, adakan acara pertemuan."
"Baik, Tuan," ucap Marco.
"Sandra! Tarik semua laporan dari masing-masing departemen bawa ke ruangan saya."
"Baik, Pak."
Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ruangan kerjanya yang diikuti oleh Anggi sebagai asisten pribadinya yang sedari tadi terdiam menelaah sikap Aditya. Ia pun menyorot mata pria itu sedari tadi. Di balik amarahnya terdapat kelelahan di sana, entah mengapa Anggi mampu menerjemahkan itu semua, yang jelas ia tahu bahwa ketidak hadiran Aditya selama satu minggu memiliki alasan.
Aditya pun duduk di sofa ruang kerjanya, merebahkan tubuhnya sejenak di sana. Rasa lelah menyelimuti diri, karena selama tujuh hari ini ia jarang sekali beristirahat dengan benar, ditambah keadaan kantor yang kacau balau karena tidak hadirnya ia sebagai pemegang keputusan tertinggi. Ia menghela napas panjang sembari menutup kedua matanya.
"Pak, mau saya buatkan minuman hangat biar Pak Aditya lebih rileks?" tanya Anggi tiba-tiba.
Aditya tak menggubris tawaran Anggi dan justru menarik tangan perempuan itu hingga terduduk di sampingnya. Anggi terkejut tanpa bisa memberikan perlawanan. Aditya menatap mata Anggi, menatap manik mata itu dalam-dalam. Entah mengapa terdapat ketenangan setelah menatap mata itu. Sedangkan, Anggi menjadi salah tingkah dan segera menundukan pandangannya. Memiliki jarak yang sangat dekat dengan Aditya membuat perempuan itu kembali dilanda rasa gugup.
"Kenapa kamu terlihat gugup Anggi?" tanya Aditya langsung.
Anggi yang terkejut mendapati pertanyaan Aditya hanya bisa memandang ke segala arah agar pandangannya tak bertemu lagi dengan pria tampan itu. "Emm tidak, Pak. Saya hanya bingung harus berbuat apa," timpalnya dengan tawa sumbang yang dibuat-buat.
Tiba-tiba Aditya mendorong tubuh Anggi sdi sofa itu, membuat dirinya jelas di bawah kendali sang atasan. Namun, dengan sigap ia tahan tubuh Aditya dengan tangannya. Ia bingung sebenarnya apa yang dikehendaki atasannya itu, sementara otaknya langsung mengingat kejadian saat pertama kali dirinya ada di rumah Aditya.
Anggi langsung tersadar dan tidak ingin hal serupa terjadi pada dirinya. Ia sudah mendengar rumor bahwa Aditya senang bermain-main dengan banyak wanita. Sedangkan Aditya semakin penasaran dengan penolakan Anggi. Baru kali ini, ada penolakan dari perempuan terhadapnya.
"Kenapa?" tanya Aditya.
"Pak ... Pak Adit mau ngapain?"
"Bersenang-senang ... denganmu."
Posisi Aditya yang sama sekali tidak menguntungkan di pihak Anggi, nampaknya membuat perempuan itu langsung memahami arti bersenang-senang yang tercetus pada ucapan Aditya. Dan ia kembali menahan dada bidang itu agar tak semakin mendekati dirinya.
"Ja—jangan, Pak, saya tidak mau. Jangan lakukan apa pun," ucap Anggi memohon.
Aditya tidak menghiraukan ucapan Anggi, ia justru menangkap lengan mungil yang sedari tadi menahan tubuhnya dan dengan sigap mencium bibir ranum Anggi. Anggi yang terkejut dengan hal itu segera mendorong tubuh Aditya untuk menjauhi dirinya.
Ke—kenapa harus sama Pak Aditya, sih? Batin Anggi.
Ia mencoba menahan Aditya agar tidak berusaha berbuat lebih pada dirinya meskipun Aditya berhasil membuka kancing blazer yang ia kenakan. Tidak mungkin ia melepas apa yang dia jaga selama ini hanya untuk kesenangan Aditya sesaat. Tidak akan.
Lagipula ini di kantor, yang benar saja— pikirnya. Namun, nampaknya hal itu tidak ada dalam pikiran Aditya. Ia bisa melakukan apa pun sesuai keinginannya bahkan jika itu masih berada di wilayah kantor. Ia dengan cepat memegang kedua tangan Anggi dan berhasil menyusup ke ceruk leher jenjang perempuan itu.
Anggi berusaha melepaskan diri dari perlakuan Aditya karena baru pertama kali ia diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Namun, tenaganya benar-benar kalah dengan Aditya sehingga ia tidak tahu lagi harus mencegah atasannya itu dengan apa. Walaupun sesekali ia pun tergoda dengan wangi maskulin Aditya, tapi ia sadar pria itu tidak boleh melanjutkan niatnya.
"Ja—jangan, Pak Adit, sa—saya mohon," ucap Anggi terbata-bata karena Aditya seolah kehilangan akal sehatnya dan berusha membuat Anggi menuruti keinginannya. Bahkan ia merasakan deru napas pria itu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Aditya tersenyum tipis, ia suka penolakan Anggi. Ia semakin ingin menaklukan perempuan itu. Namun, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka begitu saja. Sandra ada di sana, ia tercekat mendapati Aditya yang tengah mencumbu Anggi. Bukan kali pertama ia melihat Aditya dengan perempuan lain, tetapi dengan Anggi membuat emosinya mendidih. Sedangkan Aditya segera menoleh ke arah Sandra dengan kesal.
"Kamu ini! Sudah hilang kesopananmu! Tidak bisa kamu ketuk pintu itu sebelum masuk sembarangan ke ruangan saya! Hah!" bentak Aditya yang mulai bangkit dari tubuh Anggi.
Di sisi lain, Anggi merasa lega dengan kedatangan Sandra. Seakan doanya terkabulkan agar Aditya tak berbuat lebih padanya.
"Ma—maaf, Pak. Tapi saya membawa laporan ini seperti yang Bapak perintahkan."
Aditya pun menuju ke arah Sandra dan mengambil dokumen itu dengan kasar. Tatapan tajam dan sifat antagonis kembali ditampakkan oleh Sandra ke arah Anggi. Sedangkan Anggi tak berani menatap mata Sandra, ia kembali membereskan blazer dan kancing kemejanya yang berantakan akibat ulah Aditya.
Setelah itu Anggi tidak dapat berkata sepatah kata pun, rasa syok masih menjalari naluri. Sedangkan Aditya langsung mampu bersikap seperti tidak terjadi apa-apa dan kembali fokus di depan laptopnya. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya sesekali dibantu oleh Anggi. Walaupun perempuam itu justru masih terjebak dengan ingatan akan ciuman Aditya yang merupakan ciuman pertama baginya. Namun, perempuan itu juga menyorot ke arah perempuan di sebrangnya. Anggi tahu tatapan Sandra sangat tidak suka kepadanya karena kejadian tadi. Namun, Anggi berusaha tidak memikirkannya, ia berusaha seprofesional mungkin dalam pekerjaannya membantu Aditya, walau rasa takut masih ada.
Beberapa saat kemudian, jam menunjukkan jam makan siang. Akhirnya ia terbebas juga dari Aditya. Perempuan itu pun melangkahkan kakinya menyusuri koridor lantai sembilan menuju ke arah lift. Namun, tanpa ia duga tangannya di tahan oleh seseorang. Ia menoleh ke arah siapa yang memegang tangannya dan mendapati Sandra sudah berdiri di sampingnya.
"Kak Sandra, mau apa? Ada perlu?" tanya Anggi dengan nada seramah mungkin.
"Kamu! Sudah berapa kali ku peringatkan jangan menggoda Pak Aditya!"
"Bu—bukan saya, Kak, saya sama sekali tidak —"
"Bohong! Jangan kamu kira aku tertipu dengan wajah polosmu itu! Jalang!" bentak Sandra.
Mendapati kata terakhir Sandra membuat Anggi tak terima dengan sebutan itu. Ia sama sekali tak berpikiran menggoda Aditya apalagi bisa berbuat macam-macam dengan atasannya itu. "Saya tidak menggoda Pak Aditya!" ucap Anggi dengan nada tinggi.
Air matanya sudah meleleh karena baru kali ini ia dibentak seseorang dan seolah tersudut dengan sesuatu yang bahkan ia tak berniat melakukannya. Namun, Sandra tak peduli, ia yang teramat kesal dengan Anggi sedari tadi dan tak bisa melampiaskannya karena Anggi ada bersama Aditya. Hingga akhirnya memuncak tepat ketika perempuan itu tak lagi berada di sisi Aditya. Sandra yang sudah terbawa emosi pun berniat menampar Anggi hingga sebuah tangan kekar memegang lengannya dan menggantung di udara.
"Adit!" ucap Sandra terkejut.
| To Be Continues |
Secretary sang CEOTatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah."Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya."Tapi aku ... aku hanya—""Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi."Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.Anggi menggelengkan kepalanya. "Tida
Secretary sang CEOHari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi sang atasan. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal, membuat Aditya merasa cukup.Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu dibantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya, walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu."Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, d
Secretary sang CEOAditya yang sudah berada di dalam kamar mulai merebahkan diri di ranjang besarnya itu. Ia menghela napas panjang. Sedikit frustasi dengan masalah yang dihadapi kali ini. Sekali lagi ia telah menyakiti orang lain, membuat orang itu terluka dengan tangannya sendiri, lagi dan lagi.Benar apa yang dikatakan Violitta. Selama ini hidupnya memang tidak pernah tenang, ia masih saja dihantui rasa bersalah atas sisi gelapnya yang bahkan ia sendiri susah untuk mengontrolnya.Aditya tidak suka dengan pengkhianatan, ia paling benci dengan kebohongan. Hal yang membuat sisi lain Aditya muncul dengan sendirinya. Dikhianati berkali-kali membuat pria itu jatuh ke lembah yang menjadikannya sebagai sosok yang tidak punya perasaan lagi. Ingin mengakhiri, tetapi selalu saja ada yang sengaja membuat sisi gelap itu kembali."Gadis bodoh!" geram Aditya yang masih meruntuki kebodohan Violitta dan diam-diam mengkhawatirka
Secretary sang CEOSetelah peristiwa yang menyebabkan jantung Anggi seakan berhenti mendadak, akhirnya ia memutuskan untuk meyegarkan badan agar fungsi otak kembali berjalan dan berpikir positif. Walau memang, degup jantungnya masih berdetak kencang saat mengingat kejadian tadi pagi. Ditambah ekspresi Aditya yang sesantai itu justru membuatnya salah tingkah sendiri.Setelah hampir 15 menit ia pun telah menyelesaikan ritual mandinya tepat saat ponselnya berdering. Perempuan itu pun segera berjalan ke arah meja nakas di sisi ranjang dan menatap layar ponselnya. Seulas senyum tercetak di bibir saat nama Dimas tertera di sana dan ia pun langsung mengangkat panggilan itu."Morning juga Pak Dimas, ada apa, Pak?" sambut Anggi setelah menerima sapaan dari ujung panggilan itu."Ada waktu enggak nanti, makan siang misalnya? Saya ingin bicara denganmu.""Bisa, nanti waktu makan siang ya, Pak, di mana?" tanya Anggi.&nbs
Secretary sang CEOAnggi bergegas untuk segera meninggalkan kediaman Aditya. Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah atasannya itu. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah didapatkan dan sisanya akan dipikirkan nanti. Entah, kenapa ia bisa semarah ini dengan Aditya, ada rasa sakit di hatinya saat bentakan pria itu tertuju padanya. Padahal, bisa saja ia cuek dengan ucapan pria itu."Loh, Non Anggi mau ke mana?" tanya Bi Suin yang tiba-tiba mencegah pergerakan langkah Anggi. "Saya mau pergi, Bi. Saya tidak enak tinggal di rumah Pak Adit terus. Saya ingin balik ke kos saya aja, Bi, biar saya gak ngerepotin Bibi juga, makasih ya Bi untuk semuanya.""Tapi kan, apa Non Anggi sudah bilang sama Tuan Aditya? Jangan pergi, Non, Bibi nggak ngerasa di repotin kok sama Non Anggi, justru Bibi seneng Non Anggi di sini," cegah Bi Suin lagi.Anggi lantas memeluk pembantu Aditya itu. Jujur, memang dirinya juga sudah seperti memiliki keluarga
Secretary sang CEOSenja di ufuk barat mulai menebarkan pesonanya. Jam di tangan Aditya juga sudah menunjukkan waktu jam kerja berakhir. Ia yang sedari tadi berkutat dengan pekerjaannya bahkan sedikit terganggu dengan insiden penolakan Anggi atas perasaanya dan ucapan Sandra atas penghianatan Anggi. Ia pun menghela napasnya saat melihat perempuan itu tengah merapikan meja kerjanya dan ia masih percaya terhadap Anggi."Anggi," sapa Aditya saat menghampiri meja kerjanya."Eh, eh iya, Pak Adit. Ada yang perlu saya siapkan?"Aditya menggeleng. "Tidak. Saya hanya ... emm, bertahanlah di sini sebentar sampai kamu menemukan sekretaris baru untuk saya. Bisa?"Anggi tertegun sejenak, lalu ia tersenyum kepada Aditya. Seolah-olah kejadian tadi pagi tak pernah terjadi di antara mereka meskipun dari masing-masing hati merasakan suatu kehampaan."Bisa, Pak. Saya akan segera mencarikan sekretaris baru untuk Pak Adit,
Secretary sang CEOKeesokan harinya, tepat pukul enam pagi Aditya mulai mengerjapkan mata. Dirasakan pusing masih menjalar di kepalanya hingga belum sanggup untuk sekedar membuka mata. Namun, ia tetap terduduk di ranjang itu dan belum menyadari bahwa dirinya tak berada di kediamannya."Sudah bangun, Dit?" tegur seseorang.Sontak saja Aditya menghentikan aktifitasnya yang tengah memijit kepalanya sendiri. Netranya langsung terbuka saat suara yang tak asing ia dengar menyapa pagi-pagi seperti ini. Ia langsung menyapu seluruh ruangan yang nampak asing dan tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang tengah berkutat di area dapur kecil di dalam kamar itu. Sosok yang jelas ia kenal seluk beluknya."Sandra, kamu—""Sudah jangan memikirkan apa-apa dulu. Aku membuatkan teh jahe untukmu. Minumlah, bisa mentralkan mabuk beratmu semalam." Perempuan itu mulai melangkah menuju ke ranjang Aditya dan memberikan sege
~~~~~"Kebetulan sekali. Kita juga ingin makan siang. Kita bisa cari restoran bersama jika mau. Dan Pak Aditya, saya minta maaf atas kejadian tempo lalu dan makan siang hari ini sebagai permintaan maaf saya. Bagaimana?"Tawaran yang terdengar di telinga Aditya seolah hanyalah sebuah alasan klise seseorang di depannya untuk membuat hatinya semakin tak karuan. Aditya menelan salivanya perlahan dan masih mencerna tawaran tersebut. Bola matanya menatap perlahan ke arah Dimas dan Anggi secara bergantian."Setuju, kita ke restoran di ujung sana," titah Aditya menunjuk salah satu restoran di mall tersebut.Sandra yang mendapati sikap Aditya sontak saja terkejut. Tidak biasanya Aditya semudah itu menerima tawaran untuk sekedar bercengkerama dengan orang asing seperti ini jika bukan klien bisnisnya. Dimas pun hanya melesungkan senyumnya dan menyetujui ucapan Aditya. Nampak mereka berempat berjalan menuju ke arah restoran tersebut. Di mana Aditya dan
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p