Secretary sang CEO
Aditya yang sudah berada di dalam kamar mulai merebahkan diri di ranjang besarnya itu. Ia menghela napas panjang. Sedikit frustasi dengan masalah yang dihadapi kali ini. Sekali lagi ia telah menyakiti orang lain, membuat orang itu terluka dengan tangannya sendiri, lagi dan lagi.
Benar apa yang dikatakan Violitta. Selama ini hidupnya memang tidak pernah tenang, ia masih saja dihantui rasa bersalah atas sisi gelapnya yang bahkan ia sendiri susah untuk mengontrolnya.
Aditya tidak suka dengan pengkhianatan, ia paling benci dengan kebohongan. Hal yang membuat sisi lain Aditya muncul dengan sendirinya. Dikhianati berkali-kali membuat pria itu jatuh ke lembah yang menjadikannya sebagai sosok yang tidak punya perasaan lagi. Ingin mengakhiri, tetapi selalu saja ada yang sengaja membuat sisi gelap itu kembali.
"Gadis bodoh!" geram Aditya yang masih meruntuki kebodohan Violitta dan diam-diam mengkhawatirka
Secretary sang CEOSetelah peristiwa yang menyebabkan jantung Anggi seakan berhenti mendadak, akhirnya ia memutuskan untuk meyegarkan badan agar fungsi otak kembali berjalan dan berpikir positif. Walau memang, degup jantungnya masih berdetak kencang saat mengingat kejadian tadi pagi. Ditambah ekspresi Aditya yang sesantai itu justru membuatnya salah tingkah sendiri.Setelah hampir 15 menit ia pun telah menyelesaikan ritual mandinya tepat saat ponselnya berdering. Perempuan itu pun segera berjalan ke arah meja nakas di sisi ranjang dan menatap layar ponselnya. Seulas senyum tercetak di bibir saat nama Dimas tertera di sana dan ia pun langsung mengangkat panggilan itu."Morning juga Pak Dimas, ada apa, Pak?" sambut Anggi setelah menerima sapaan dari ujung panggilan itu."Ada waktu enggak nanti, makan siang misalnya? Saya ingin bicara denganmu.""Bisa, nanti waktu makan siang ya, Pak, di mana?" tanya Anggi.&nbs
Secretary sang CEOAnggi bergegas untuk segera meninggalkan kediaman Aditya. Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah atasannya itu. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah didapatkan dan sisanya akan dipikirkan nanti. Entah, kenapa ia bisa semarah ini dengan Aditya, ada rasa sakit di hatinya saat bentakan pria itu tertuju padanya. Padahal, bisa saja ia cuek dengan ucapan pria itu."Loh, Non Anggi mau ke mana?" tanya Bi Suin yang tiba-tiba mencegah pergerakan langkah Anggi. "Saya mau pergi, Bi. Saya tidak enak tinggal di rumah Pak Adit terus. Saya ingin balik ke kos saya aja, Bi, biar saya gak ngerepotin Bibi juga, makasih ya Bi untuk semuanya.""Tapi kan, apa Non Anggi sudah bilang sama Tuan Aditya? Jangan pergi, Non, Bibi nggak ngerasa di repotin kok sama Non Anggi, justru Bibi seneng Non Anggi di sini," cegah Bi Suin lagi.Anggi lantas memeluk pembantu Aditya itu. Jujur, memang dirinya juga sudah seperti memiliki keluarga
Secretary sang CEOSenja di ufuk barat mulai menebarkan pesonanya. Jam di tangan Aditya juga sudah menunjukkan waktu jam kerja berakhir. Ia yang sedari tadi berkutat dengan pekerjaannya bahkan sedikit terganggu dengan insiden penolakan Anggi atas perasaanya dan ucapan Sandra atas penghianatan Anggi. Ia pun menghela napasnya saat melihat perempuan itu tengah merapikan meja kerjanya dan ia masih percaya terhadap Anggi."Anggi," sapa Aditya saat menghampiri meja kerjanya."Eh, eh iya, Pak Adit. Ada yang perlu saya siapkan?"Aditya menggeleng. "Tidak. Saya hanya ... emm, bertahanlah di sini sebentar sampai kamu menemukan sekretaris baru untuk saya. Bisa?"Anggi tertegun sejenak, lalu ia tersenyum kepada Aditya. Seolah-olah kejadian tadi pagi tak pernah terjadi di antara mereka meskipun dari masing-masing hati merasakan suatu kehampaan."Bisa, Pak. Saya akan segera mencarikan sekretaris baru untuk Pak Adit,
Secretary sang CEOKeesokan harinya, tepat pukul enam pagi Aditya mulai mengerjapkan mata. Dirasakan pusing masih menjalar di kepalanya hingga belum sanggup untuk sekedar membuka mata. Namun, ia tetap terduduk di ranjang itu dan belum menyadari bahwa dirinya tak berada di kediamannya."Sudah bangun, Dit?" tegur seseorang.Sontak saja Aditya menghentikan aktifitasnya yang tengah memijit kepalanya sendiri. Netranya langsung terbuka saat suara yang tak asing ia dengar menyapa pagi-pagi seperti ini. Ia langsung menyapu seluruh ruangan yang nampak asing dan tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang tengah berkutat di area dapur kecil di dalam kamar itu. Sosok yang jelas ia kenal seluk beluknya."Sandra, kamu—""Sudah jangan memikirkan apa-apa dulu. Aku membuatkan teh jahe untukmu. Minumlah, bisa mentralkan mabuk beratmu semalam." Perempuan itu mulai melangkah menuju ke ranjang Aditya dan memberikan sege
~~~~~"Kebetulan sekali. Kita juga ingin makan siang. Kita bisa cari restoran bersama jika mau. Dan Pak Aditya, saya minta maaf atas kejadian tempo lalu dan makan siang hari ini sebagai permintaan maaf saya. Bagaimana?"Tawaran yang terdengar di telinga Aditya seolah hanyalah sebuah alasan klise seseorang di depannya untuk membuat hatinya semakin tak karuan. Aditya menelan salivanya perlahan dan masih mencerna tawaran tersebut. Bola matanya menatap perlahan ke arah Dimas dan Anggi secara bergantian."Setuju, kita ke restoran di ujung sana," titah Aditya menunjuk salah satu restoran di mall tersebut.Sandra yang mendapati sikap Aditya sontak saja terkejut. Tidak biasanya Aditya semudah itu menerima tawaran untuk sekedar bercengkerama dengan orang asing seperti ini jika bukan klien bisnisnya. Dimas pun hanya melesungkan senyumnya dan menyetujui ucapan Aditya. Nampak mereka berempat berjalan menuju ke arah restoran tersebut. Di mana Aditya dan
~~~~~Tepat pukul enam pagi bunyi ponsel Aditya sudah sibuk berbunyi membangunkan sang tuannya. Beberapa kali Aditya menghiraukannya, beberapa kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal tetap saja bunyi ponselnya tidak kunjung berhenti. Bukannya pria itu tidak ingin menjawab panggilan, hanya saja matanya masih berat karena semalaman tidak bisa tertidur dan alhasil begadang hingga pukul lima pagi.Dan bukan tanpa sebab, lagi dan lagi ia hanya memikirkan satu nama. Satu nama yang berhasil menyita seluruh pikirannya. Satu nama yang entah akan memikirkannya atau justru menertawakannya saat ini. Namun, bunyi ponsel itu lebih menyebalkan saat ini daripada begadangnya semalam."Siapa sih! Berisik!" gerutu Aditya, tapi tangannya masih saja meraih ponsel yang terletak di atas meja nakas.Dengan bermalas-malasan ia menyabet benda pipih itu dan mengangkat panggilan dengan asal. Ia bersumpah jika panggilan kali ini tidak penting gawai canggih itu akan
~~~~~~Waktu pun berlalu begitu cepat dan malam telah tiba. Tepat pukul tujuh malam Aditya sudah bersiap-siap untuk datang ke acara sahabatnya itu. Saat ini ia nampak tampil sempurna, atasan blazer hitam dengan kemeja dark grey serta celana jeans berwarna senada. Setelan sederhana seperti itu saja masih membuat aura tampan Aditya memancar begitu saja.Ia pun melangkahkan kaki menyusuri tangga menuju ke ruang tamu dan menunggu Anggi yang memang hari ini ikut dengannya ke rumah, sebab Aditya sudah mempersiapkan segalanya untuk Anggi di rumah. Pria itu pun duduk di sofa dan tengah memasang sepatu kulitnya.Di saat pria itu tengah fokus ke arah sepatu, tiba-tiba suara langkah kaki mengarah padanya dan berhenti beberapa meter di depannya. Sontak saja ia menoleh ke sumber suara itu. Dan Aditya benar-benar takjub, ia terpesona dengan kecantikan Anggi malam ini. Gaun dengan bagian bahu terbuka yang sangat pas di badannya dan tatanan rambut
~~~~~~~~Pagi yang cerah mengawali hari libur kali ini. Tanggal merah yang tercetak jelas di kalender membuat siapa saja pasti melanjutkan untuk tertidur kembali. Namun, tidak bagi Anggi, semilir hawa dingin dari AC yang ada di kamar itu nampak membuat Anggi mengerjapkan mata perlahan. Dirasakan kepalanya yang masih terasa pusing dengan memejamkan kembali matanya. Tubuhnya pun ikut bereaksi menuntut sang tuannya untuk berisitirahat sejenak. Ia pun menyipitkan pandangan dan mulai mengamati suasana kamar itu, kamar yang tidak asing, tetapi jelas ini bukan kamar di kosannya.Ia pun mulai mengarahkan posisi tidurnya ke arah kiri dan langsung terkejut bukan main saat netranya yang baru setengah terbuka mendapati sosok pria tertidur di sampingnya. Detak jantungnya seakan mendadak berhenti berdenyut dan suasana mencekam seolah menghantui. Ia menelan saliva sampai ia lihat Aditya mulai mengerjapkan mata dan mendapati dirinya yang ada di sisinya. Namun, buka
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p