Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya.
"Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?"
"Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.
Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya.
"Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya.
"Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~Dua tahun sebelumnya ...,Beberapa majalah bisnis yang mencatut nama perusahaanya tercetak dan beredar di seluruh Ibukota. Berita-berita ekonomi dan bisnis menyuarakan namanya dan mengagungkan perusahaannya. Bahkan media elektronik juga tak luput memberitakan tentangnya.Perkembangan Artha Group semakin melesat menembus kejayaan yang di impikan Aditya. Menempati jajaran sepuluh perusahaan properti yang merajai industri pembangunan di Indonesia, membuat pria itu nampak bangga dengan hasil yang ia peroleh dari tahun ke tahun.Tak tanggung-tanggung, jumlah aset yang sudah dimiliki perusahaan Aditya sampai detik ini berkisar 58,76 trilliun dan hal itu terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 57,65 trilliun. Hal ini membuat perusahaannya menjadi salah satu perusahaan yang di rekomendasikan dalam pembangunan apa pun di beberapa wilayah. Selain itu, nampaknya kejayaan Aditya tak hanya di Indonesia. Perusahaan cabang yan
Secretary sang CEO~~~~Dua buah brankar terdorong dengan cepat hingga menimbulkan suara decitan di setiap gesekan roda dan lantai rumah sakit. Begitu pun langkah Devan—sahabat Aditya— yang menemukan pria itu sudah tak sadarkan diri beserta mobil yang sudah hancur dan sosok Marco yang juga sama kondisinya, turut menyamai langkah para medis yang akan membawa tubuh Aditya ke IGD. Beruntung, ia mengangkat panggilan dari Aditya malam itu dan bentuk keterdiaman tak mendapat jawaban setelah disapa berkali-kali, membuat Devan segera melacak keberadaan sahabatnya itu."Maaf, Mas, silakan anda menunggu di luar selama pemeriksaan dokter." Seorang perawat mulai menutup pintu IGD setelah dua brankar masuk ke dalam ruangan itu.Meskipun Devan memang tak pernah turut campur masalah pekerjaan Aditya, tetapi apa pun kondisi Aditya di saat seperti ini pastilah ia selalu ada. Menjadi sahabat pria itu selama beberapa tahun ke belakang membuat Devan sudah
Secretary sang CEO~~~~~Satu bulan kemudian ~Pria berusia 45 tahun itu kini tengah merasa senang, sebab kabar terbaru yang ia dengar adalah ketidak stabilan kondisi keponakannya dan parahnya Aditya sudah satu bulan tidak sadarkan diri. Ia tersenyum miring di depan kaca ruang ICU yang menunjukkan tubuh Aditya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis di tubuhnya. Beberapa kali ia melihat bahwa kondisi Aditya benar-benar mengkhawatirkan dan hal itu jelas membuatnya semakin bahagia.'Lihatlah dirimu, kamu begitu lemah Aditya! Bodoh!' umpat Alexander Juan dalam hati.Senyum di bibirnya semakin lebar, hingga suara ponsel memekikkan telinga untuk beberapa detik membuyarkan atensinya. Ia pun segera merogoh ponsel itu dan melihat nama yang tercetak di layar benda pipih itu .Sandra is calling ...Alexander menatap nama itu dengan malas, tetapi tetap mengangkat panggilan Sandra. Ia pun menempelkan po
Secretary sang CEO~~~~Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana, menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia 22 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post"."Terima kasih, Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru."Waduh, Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan."Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah."Wah terima kasih, Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu."Perempuan itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik berambut panjang hitam kecokelatan yang selalu ia ikat meru
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p