Secretary sang CEO
~~~~~
Satu bulan kemudian ~
Pria berusia 45 tahun itu kini tengah merasa senang, sebab kabar terbaru yang ia dengar adalah ketidak stabilan kondisi keponakannya dan parahnya Aditya sudah satu bulan tidak sadarkan diri. Ia tersenyum miring di depan kaca ruang ICU yang menunjukkan tubuh Aditya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis di tubuhnya. Beberapa kali ia melihat bahwa kondisi Aditya benar-benar mengkhawatirkan dan hal itu jelas membuatnya semakin bahagia.
'Lihatlah dirimu, kamu begitu lemah Aditya! Bodoh!' umpat Alexander Juan dalam hati.
Senyum di bibirnya semakin lebar, hingga suara ponsel memekikkan telinga untuk beberapa detik membuyarkan atensinya. Ia pun segera merogoh ponsel itu dan melihat nama yang tercetak di layar benda pipih itu .
Sandra is calling ...
Alexander menatap nama itu dengan malas, tetapi tetap mengangkat panggilan Sandra. Ia pun menempelkan ponsel itu masih dengan menatap tubuh keponakannya.
"Ada apa?"
"Maaf, Pak, sebentar lagi akan ada pertemuan dengan Pak Diego, harap kedatangannya segera," jelas Sandra.
"Ya, saya segera datang," timpal Alexander yang langsung memutuskan panggilan itu sepihak.
Alexander pun melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit tersebut. Hingga, beberapa menit kemudian, Alexander tepat berada di depan sebuah hotel di mana acara dengan klien perusahaan akan diadakan di sana. Ia pun segera melangkahkan kaki panjangnya menuju ke sebuah restoran yang ditunjuk untuk acara pertemuan itu.
"Selamat siang, Pak Diego," sapa Alexander sembari mengulurkan tangan untuk menjabat lawan bicaranya.
"Selamat siang, Pak Alexander."
Sandra yang mendampingi Alexander nampak tidak terbiasa dengan kehadiran sosok pria tersebut. Ia justru cemas pertemuan yang biasanya Aditya handle sendiri kini ditangani langsung oleh sang Paman. Namun, yang dicemaskan nampak percaya diri dengan dirinya yang seolah-olah berperan sebagai pemilik perusahaan.
"Saya dengar Pak Aditya masuk rumah sakit karena kecelakaan, bagaimana keadannya?" ucap Diego membuka obrolan.
"Tidak baik, bahkan saya juga tidak dapat memastikan untuk kedepannya. Ya kita berdoa saja yang terbaik. Jadi, untuk proyek ini ya saya yang menanganinya, mau bagaimana lagi kasihan keponakan saya jika Pak Diego tidak jadi bukan?"
"Haha, tidak mungkin Pak Alex. Saya dan Pak Aditya sudah sering bekerja sama. Hari ini saya ingin mengajak Artha Group di proyek besar pembangunan apartemen elit di daerah Kemayoran."
Alexander yang mendengar penuturan Diego nampak tergiur dengan proyek baru yang akan mereka tangani. Kesempatan emas untuk meraup cukup dana ada di depan mata Alexander. Ia tak akan menyia-nyiakan project besar ini.
"Tapi ... saya meminta dana 50 persen di awal, bagaimana, Pak Diego?"
Diego yang terkejut hanya bisa tercengang beberapa detik dengan permintaan Alexander. Biasanya Aditya tidak memutuskan kesepakatan langsung seperti itu, tapi Alexander nampaknya memiliki penilaian lain.
"Oh, tapi biasanya saya dan Pak Aditya tidak seperti ini perjanjiannya. Apa Pak Alexander tidak butuh dokumen kami? Dan biasanya Pak Aditya hanya meminta 20-25 persen dahulu, lalu setelah bangunan berjalan barulah dana berikutnya bisa diserahkan," jelas Diego.
"Ya itu kan dengan Aditya, sekarang saya yang menentukan. Jika Pak Diego tidak berkenan, saya akan pulang."
Dan, Diego pun akhirnya menyetujui walau ada sedikit raut wajah yang berubah. Hal itu di sadari oleh Sandra yang juga terkejut dengan keputusan buru-buru Alexander. Bahkan Sandra pun belum mengetahui bentukan MoU yang diberikan perusahaan Diego pada perusahaan Aditya.
"Jika begitu, minggu depan sekretaris saya akan mengantarkan beberapa berkas perjanjian ke Artha Group ya Pak Alexander. Kita akan bertemu lagi di pertemuan berikutnya, kebetulan saya ada meeting sebentar lagi. Saya pamit terlebih dahulu."
"Terima kasih Pak Diego kerja samanya." Alexander mengikuti Diego berdiri dan menjabat tangannya.
Setelah Diego berlalu, Sandra langsung menginterupsi Alexander. Ia tidak sependapat dengan pria itu dalam hal seperti ini.
"Maaf, Pak Alex, bukannya sebaiknya kita lihat dulu MoU-nya, Pak? Kenapa Bapak langsung menyetujui untuk kerja sama?" tanya Sandra.
"Sudahlah, kamu meragukan saya? Saya juga pernah memegang perusahaan. Jadi tidak mungkin saya membuat perusahaan rugi. Paham!" ucap Alexander dengan nada mengintimidasi.
Sandra hanya bisa terdiam tidak bisa berbuat apa pun. Dan sejak hari itu, Alexander semakin tak wajar dalam memimpin perusahaan. Banyak perjanjian yang ia setujui tanpa melihat proposal terlebih dahulu dan membuat bagian lainnya terdampak dengan perjanjian yang tak ter-filter terlebih dahulu. Seolah kini bekerja sama dengan Artha Group menjadi lebih mudah dan tak mementingkan siapa yang mengajak kerja sama. Banyak beberapa bidang yang pontang-panting menangani berbagai proyek baru dan hal itu tidak akan terjadi jika Aditya yang memimpin.
đđđ
Beberapa bulan kemudian ~
Tuhan seakan masih memberikan kesempatan hidup untuk Aditya. Setelah satu bulan lebih mengalami tidur panjang yang mampu mengkhawatirkan seluruh pihak keluarga, kini ia tengah duduk di kursi yang semestinya ia tempati setiap hari. Memandang beberapa pasang mata yang justru tak berani menatapnya, tetapi sejujurnya mereka lega jika Aditya kembali memimpin perusahaan.
"Siapa pelakunya?" tanya Aditya dengan tenang, tetapi nada yang terdengar para karyawannya selalu nada mengintimidasi.
Beberapa pasang mata saling lirik tanpa mampu memberikan jawaban pasti pada Aditya. Sudah tiga hampir empat bulan lamanya memang Aditya tak menunjukkan dirinya di kantor untuk memimpin langsung. Pemulihan akibat patahnya tulang rusuk membuatnya benar-benar harus istirahat total dan tidak boleh melakukan pekerjaan terlebih dahulu. Namun, hari ini ia terpaksa kembali ke kantor karena mendengar beberapa hal yang tidak beres di perusahaannya.
Korupsi! Hal yang paling di benci Aditya. Baru kali ini pria itu mendengar kasus yang sama sekali tak pernah terjadi di perusahaannya. Namun, yang semakin membuat pria itu geram saat semuanya terdiam dan tak ada yang mengaku sama sekali.
Brak!
"Saya beri waktu sampai nanti siang!" Aditya melangkah pergi dari ruangan meeting setelah berhasil mengagetkan seluruh jajaran penting perusahaannya dengan gebrakan meja.
Aditya pun kembali ke arah ruangannya sebelum ia berhenti melangkahkan kaki karena ucapan Marco. Tangan kanan Aditya itu pun membisikan sesuatu pada atasannya dan beberapa detik kemudian emosi Aditya tersulut begitu saja, sebab ternyata pelaku korupsi sudah ditemukan. Ditambah sebuah dokumen yang memperlihatkan kebenaran atas ucapan Marco tercetak jelas di indra pengelihatan pria itu. Dengan langkah cepat, Aditya menuju ke salah satu ruangan bertuliskan 'ruang manager keuangan'.
Sebuah gebrakan di meja kerja pria berusia 45 tahun itu mampu membuat seluruh karyawan Artha Group bergerombol penasaran dengan apa yang terjadi. Semua pegawai di kantor itu tahu bahwa ruangan tersebut milik Alexander Juan yang notabene masih kerabat pemilik perusahaan Artha Group. Hal itu membuat para pegawai di lantai delapan sangat penasaran dengan perihal kemarahan Aditya pada pamannya.
"Anda! Berani - beraninya ingin menghancurkan bisnis saya! Kemasi barang-barang anda dan keluar dari kantor saya!" tunjuk Aditya pada Alexander dengan murka.
"Maksud kamu apa?" tanya Alexander pura-pura tak mengetahui perihal kemarahan Aditya.
"Cepat pergi atau urusan ini akan saya naikkan ke ranah hukum!"
Alexander yang sudah kepalang basah akhirnya tak lagi berpura-pura tak mengetahuinya. Sialnya, ia lupa bahwa keponakannya bisa saja mengakses apa pun dan dari mana pun walau tiga bulan ke belakang perusahaan ia ambil alih sementara. Kini, di depan matanya ia tertampar oleh sikap tak sopan Aditya yang mempermalukannya di hadapan karyawan lain di balik jendela besar ruangannya.
"Tuâtunggu. Adit bukan begitu, Paman tidak bermaksud begitu, tolong lah Paman Adit ... Paman hanya ingin yang terbaik untuk bisnis kamu," ucap Alexander mencoba siasat memelas kembali.
Aditya hanya memiringkan senyumnya saat penjelasan yang sangat tak asing ia dengar kembali, muncul dari mulut-mulut bedebah seperti pamannya. Alasan klasik untuk membela diri ketika terbukti bersalah menjadi makanan sehari-hari Aditya untuk mengetahui bahwa orang yang di depannya memang lah seorang pembual.
"Cih bedebah! Tidak akan ada lagi kesempatan untuk anda! Saya tidak peduli hubungan anda dengan Papa saya! Pergi dari sini! Saya tidak butuh orang picik seperti anda! Anda pikir saya tidak tahu bahwa anda menggelapkan keuangan perusahaan untuk membuka bisnis lain? Masihkah anda merasa suci berbicara seperti itu pada saya?"
"Adit, tapiâ"
"Pergi!" bentak Aditya.
Sontak, Alexander syok saat Aditya langsung menunjuknya dengan sederet bukti yang ada. Kejahatan yang dipendam oleh Alexander Juan terbongkar dengan mudah oleh Aditya. Ia beringsut kesal dan menaruh dendamnya terhadap Aditya. Tanpa mampu berkata lagi, kejahatan pun sudah terbongkar dengan sendirinya, Alexander segera meninggalkan kantor Artha Group.
Nampaknya rencana pertama untuk mencelakai Aditya gagal dengan pulihnya kondisi keponakannya itu secara cepat. Bahkan ia sempat senang Aditya mengalami koma panjang selama sebulan. Dan selama itu pula ia mengajukan diri untuk mengatur segala urusan kantor di bawah naungan nama keluarga Aditya. Tak ada yang bisa melawan, sekalipun Sandra masih bertugas jika tidak ada Aditya maka keputusan satu-satunya adalah keluarga dari pria itu.
Ketidak beresan mulai nampak sejak perusahaan berjalan di atas nama Alexander, walaupun ia hanya memegang kendali beberapa bulan namun tindakannya berbuah petaka bagi kelangsungan perusahaan Aditya. Korupsi yang terjadi ternyata berasal dari keluarganya sendiri dan Aditya tak peduli akan garis keturunan jika memang siapa pun bersalah padanya.
"Usut semua tentang Alexander!" titah Aditya pada Marco.
"Baik, Tuan."
Dan semenjak itu, Aditya kembali berupaya membangun kepercayaan kolega-koleganya dan memperbaiki cita perusahaan yang hampir di hancurkan oleh keluarganya sendiri. Hingga beberapa bulan berlalu, perusahaan Aditya mampu kembali berjaya dan bersaing dengan perusahaan bonafit lainnya.
"Dit, sabotase kendaraanmu waktu itu dalangnya benar-benar dia," ujar Devan-sahabat Aditya- yang bertandang ke kantor pria itu.
Aditya mengamati sebuah foto dan beberapa dokumen pendukung lainnya yang di bawa oleh Devan. Sedangkan Devan masih bercerita tentang bagaimana ia menyelidiki kasus tersebut.
"Sial, apa-apaan ini! Beraninya dia bermain-main denganku!"
"Kamu harus berhati-hati, Dit, aku tidak tahu bagaimana karakter Pamanmu, tapi yang aku tahu dia berbahaya."
"Aku mengerti, Van, beberapa waktu lalu dia bahkan menggelapkan uang perusahaan dan benar saja uang itu mengalir ke rekening pribadinya, aku hanya tidak menyangka bahwa di sekitarku masih banyak pengkhianat!"
Devan hanya mengangguk. Selain ia mengenal bagaimana Aditya dengan segala tingkah lakunya. Ia juga memahami jika Aditya sudah berkata demikian pasti suatu hari akan ada korban yang harus membayar kemarahan Aditya.
đđđđ
Satu tahun berlalu, seorang perempuan berusia 25 tahun tengah berjalan cepat lebih tepatnya setengah berlari menuju ke arah ruangan Aditya. Tanpa permisi lagi dan menepiskan kesopanan ia membuka pintu ruangan itu di mana tepat Aditya dan Marco tengah berdiskusi.
"Pak Adit!"
Aditya menatap sekretarisnya itu dengan tatapan heran. Nampak raut tak menyenangkan dari wajah Sandra pagi itu. Sandra berjalan ke arah Aditya sembari membawa koran dan beberapa majalah.
Brug!
"Pak Alexander tewas? Katanya dibunuh? Ini benar?" tanya Sandra penasaran.
Sontak saja Aditya melayangkan pandangan biasa saja dengan kabar tersebut. Justru saat ini mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Bersandar pada sofa di ruang kerjanya sembari menatap berita-berita yang tercetak di beberapa media cetak.
"Oh jadi dia mati?"
"Hah? Tunggu, kenapa ekspresi Pak Aditya biasa saja? Ini kan keluarga Bapak?"
"Bukan! Dia bukan keluarga saya, tidak ada hubungan darah antara saya dengan dia, kalo dia mati ya mungkin sudah takdirnya," ucap Aditya santai.
Sandra hanya tercengang mendengar penuturan santai atasannya tanpa keterkejutan sama sekali. Bahkan Aditya sama sekali tak berekpresi seperti kehilangan salah satu keluarga atau pun lainnya.
"Marco, kembalilah kerjakan yang lain. Saya rasa diskusi kita sudah selesai."
"Baik, Tuan, saya permisi dulu." Marco pun beranjak dari ruangan Aditya meninggalkan atasannya dan Sandra yang masih tak percaya dengan berita kematian Alexander.
Di saat Sandra masih membaca beberapa artikel tentang berita tersebut justru Aditya muak dengan semuanya.
"Bukan kamu kan pembunuhnya?" tanya Sandra menatap Aditya curiga.
Aditya menatap Sandra sejenak, mematikan rokoknya dan meminum minuman yang sedari tadi berada di meja dengan santai. "Jika aku pembunuhnya, otomatis aku sudah ada di penjara sekarang bukan duduk di sini dan menjabat sebagai pemilik perusahaan."
Sandra membenarkan ucapan Aditya, namun ia bukan menuduh Aditya cuma-cuma. Ia pun mengetahui sisi gelap Aditya dan penghianatan Alexander terhadap perusahaan juga tak main-main. Bisa jadi Aditya yang tidak terima diam-diam membalaskan semua perbuatan Alexander dengan menghilangkan nyawa pria paruh baya itu.
"Kamu kenapa? Masih memikirkan orang mati itu?" tanyanya yang kini berada di samping perempuan itu.
"Bukan ... aku hanya kaget saja."
Aditya tersenyum tipis lalu memegang dagu perempuan cantik itu untuk menghadap ke arahnya. Seulas senyum kembali Aditya berikan pada sekretarisnya itu. "Aku bukan pembunuhnya Sandra, untuk apa aku mengurusi penghianat seperti dia. Lebih baik aku ...," Aditya tak melanjutkan ucapannya namun ia mendekatkan dirinya pada sekretarisnya itu dan mencium bibir ranum Sandra. "Bermain-main denganmu," lanjutnya.
"Taâtapi, Dit, ini di kantor," ucap Sandra.
"Siapa yang berani masuk ke ruanganku Sandra? Atau sekarang kamu sudah pandai membantahku?"
Sandra menggelengkan kepalanya.
"Aku harap kamu tidak terlibat dengan masalah ini lagi, Dit," ucap Sandra yang kini mengusap pipi Aditya dan mencium bibir tipis Aditya.
Pesona Aditya terlalu membuat akal sehat Sandra tumpul. Mengagumi Aditya selama beberapa tahun ke belakang membuat ia rela melakukan apa pun untuk pria itu. Ia hanya ingin satu, tetap berada di sisi Aditya dengan perhatian pria itu. Hingga ia tidak sadar bahwa Aditya hanya memanfaatkan tubuhnya saja tanpa bisa menyerahkan hatinya.
Beberapa jam kemudian ~~
"Sandra, aku rasa kamu membutuhkan satu rekan lagi untuk membantumu. Sebagai tangan kananku kamu juga butuh fokus yang tinggi, jadi lebih baik kamu butuh rekan untuk membantu meng-handle hal-hal kecil," ujar Aditya sembari merapikan kembali kemejanya.
"Maksudmu?"
"Carikan aku sekretaris baru ...," titah Aditya.
Sandra yang masih mencoba menyerap ucapan Aditya nampak ternganga dengan titah itu. Memang, terkadang ia merasa sangat lelah dengan pekerjaannya yang semakin lama semakjn berat. Menjadi tangan kanan Aditya berarti menambah tanggung jawabnya atas apa pun titah Aditya. Perusahaan yang semakin berjaya membuat Sandra sedikit kewalahan untuk beberapa kondisi. Banyaknya proyek-proyek besar membuat perempuan itu tidak mampu beristirahat tenang. Namun, ia sama sekali tak menginginkan posisinya di ganti oleh siapa pun.
"Tapi aku bisa mengatur semuanya, Dit."
Aditya tersenyum tipis, bahkan ia tak meragukan kemampuan managemen waktu Sandra. "Segera lakukan perintahku."
| To Be Continues |
Secretary sang CEO~~~~Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana, menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia 22 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post"."Terima kasih, Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru."Waduh, Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan."Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah."Wah terima kasih, Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu."Perempuan itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik berambut panjang hitam kecokelatan yang selalu ia ikat meru
Secretary sang CEOAnggi terkejut mendengar titah Aditya kepada kedua tangan kanannya. Itu artinya ia akan berdua dengan Aditya saja. Ia sudah gugup sedari tadi dan berharap tidak ada yang meninggalkannya, tapi harapannya tidak terwujud dengan langkah kaki kedua tangan kanan pria itu menjauh meninggalkan ruangan ini. Ia masih tidak enak hati dengan kejadian di lobi utama tadi dan membuatnya terdiam di depan Aditya."Emm ... Pak Adit, jika ada hal yang perlu dibicarakan dengan Anggi terkait pekerjaan biar sama saâ""Tidak perlu. Biar saya sendiri yang memberitahunya ...," potong Adit menolak tawaran Sandra yang sedari tadi terus menatap ke arah Anggi.Sontak saja, Sandra merasa perhatian Aditya sudah teralihkan oleh sosok Anggi. Dengan perasaan kesal yang ia tutupi sempurna ia keluar dari ruangan Aditya. Perempuan itu masih mengingat bagaimana tatapan serta senyum tipis pria itu pada Anggi. Setelah ia tutup pintu ruangan
Secretary Sang CEO(beberapa scene terdapat konten18+)Senja di ufuk barat telah lama tenggelam dan langit yang menggelap telah tiba. Sekitar pukul tujuh malam yang tercetak jelas di jam tangannya, Anggi mendecak dengan kesal karena selepas makan siang ia sama sekali tak melakukan hal yang membuatnya banyak gerak. Perempuan itu sangat lelah jika harus menunggu tanpa melakukan kegiatan apa pun, hanya saja ia harus menunggu Aditya hingga pria itu menyelesaiakan pekerjaannya.Sudah beberapa jam Anggi hanya duduk di depan meja kerja Aditya sebab perintah pria itu benar-benar tidak bisa ditentangnya. Ia sangat lelah dan matanya mulai mengantuk. Perempuan itu pun meletakkan kepalanya di atas meja kerja Aditya dengan berbantal tangan, berharap sang atasan tidak peduli dengan tingkah tidak sopannya kali ini.Selang beberapa menit kemudian, Aditya pun melirik perempuan itu dan seulas senyum muncul begitu saja di bibirnya. Ia kemudian menutup dokumen
Secretary sang CEOHari semakin larut, rasa lelah yang Aditya rasakan sama sekali tidak lagi terasa dan digantikan dengan rasa cemas. Pria itu sedari tadi hanya bisa mondar-mandir di depan ruang ICUâsetelah sebelumnya anaknya berada di IGDâguna menanti kabar yang mampu melegakan semua kecemasan. Ia khawatir dengan kondisi Aurelâanak perempuannya dari Sabrinaâ yang tak ia ketahui penyebabnya sampai detik ini. Bahkan Sabrina seakan bungkam dan tak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Aditya. Beberapa jam telah ia lewati hingga bunyi decit yang ditimbulkan pintu ruang ICU dan lantai membuat Aditya langsung bergerak menemui dokter yang keluar dari ruangan tersebut."Keluarga Aurel Kavindra," panggil pria yang bertitle dokter itu."Saya Papanya. Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"Begini, Pak. Saya Dokter Erwin yang menangani anak Bapak beberapa bulan terakhir ini. Jadi, menurut hasil pemeriksaan kami, kanker Aurel sudah
Secretary sang CEOWaktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan.Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuat
Secretary sang CEOTatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah."Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya."Tapi aku ... aku hanyaâ""Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi."Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.Anggi menggelengkan kepalanya. "Tida
Secretary sang CEOHari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi sang atasan. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal, membuat Aditya merasa cukup.Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu dibantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya, walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu."Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, d
Secretary sang CEOAditya yang sudah berada di dalam kamar mulai merebahkan diri di ranjang besarnya itu. Ia menghela napas panjang. Sedikit frustasi dengan masalah yang dihadapi kali ini. Sekali lagi ia telah menyakiti orang lain, membuat orang itu terluka dengan tangannya sendiri, lagi dan lagi.Benar apa yang dikatakan Violitta. Selama ini hidupnya memang tidak pernah tenang, ia masih saja dihantui rasa bersalah atas sisi gelapnya yang bahkan ia sendiri susah untuk mengontrolnya.Aditya tidak suka dengan pengkhianatan, ia paling benci dengan kebohongan. Hal yang membuat sisi lain Aditya muncul dengan sendirinya. Dikhianati berkali-kali membuat pria itu jatuh ke lembah yang menjadikannya sebagai sosok yang tidak punya perasaan lagi. Ingin mengakhiri, tetapi selalu saja ada yang sengaja membuat sisi gelap itu kembali."Gadis bodoh!" geram Aditya yang masih meruntuki kebodohan Violitta dan diam-diam mengkhawatirka
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p