Secretary sang CEO
Tatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah.
"Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya.
"Tapi aku ... aku hanya—"
"Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya.
Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi.
"Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu.
Anggi menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak. Terima kasih."
"Tidak masalah. Saya tidak suka hubungan yang tidak sehat sesama karyawan saya, kamu mau makan siang?"
Anggi kembali menganggukkan kepalanya tanpa menatap pria itu.
"Ayo, sama saya ...," ajak Aditya tiba-tiba yang sudah menarik tangan perempuan itu.
Anggi hanya terdiam dan membiarkan Aditya membawanya ke lobi utama di mana kantin kantor memang terletak di sekitar sana. Ia tak menyangka bahwa Adit akan membelanya di depan sekretarisnya itu. Perempuan itu juga bingung akan sikap Aditya yang tiba-tiba bersimpati kepadanya hingga mengajaknya untuk makan siang bersama.
Memang selama ini tekanan dari Sandra sangat menyesakkan, apalagi jika tidak berada di dekat Aditya, Sandra kerap kali menindas dirinya. Ingin rasanya ia keluar dari perusahaan Aditya, tetapi ia masih tak memperoleh data apa pun tentang Aditya dan tidak mungkin sanggup membayar uang sejumlah 50 juta sebagai ganti rugi nantinya.
Bertandangnya Aditya di kantin kantor menimbulkan bisik-bisik beberapa karyawan lainnya, sebab pria itu memang tak pernah menginjakkan kakainya di kantin kantor selama mendirikan perusahaan. Dan hari ini mereka takjub melihat sosok atasan mereka dan lebih takjubnya melihat Anggi yang kini berada si sampingnya bukan lagi Sandra yang biasa menemani pria itu.
"Kamu mau makan apa?" tanya Aditya dengan seramah mungkin.
Namun, yang ditanya justru masih terdiam. Anggi masih tidak menyangka sikap baik dan perhatian Aditya yang ditunjukkan padanya hari ini.
"Nggi, kamu mau makan apa?"
"Hah? Eh, itu ... terserah Pak Aditya saja, saya ikut aja, Pak."
Bukan hanya terpesona dengan sikap baik Aditya. Ia juga terpana dengan ruangan VIP kantin ini yang memang nampaknya di desain khusus untuk kalangan yang sederajat dengan Aditya. Namun, hari ini bahkan dirinya yang bukan termasuk dalam jajaran sederajat dengan Aditya bisa duduk di sofa mewah dan tatanan ruangan klasik yang elegant dengan pria tampan di depannya. Ia melirik ke sekitarnya, di mana beberapa pasang mata di luar ruangan transparan ini menatap ke arahnya dan sudah pasti hal itu akan menajdi gunjingan. Anggi sampai bingung harus merasa senang atau justru tidak enak hati.
"Pak, saya bisa makan sendiri dengan karyawan yang lain," cetus Anggi tiba-tiba.
"Kenapa memangnya?"
"Saya tidak enak dengan yang lain, Pak."
"Untuk apa kamu memikirkan pikiran orang lain? Mereka hanya penasaran bukan memikirkan ketidakenakanmu terhadap mereka. Sudahlah, lagi pula kamu itu sekretaris saya, terbiasalah menemani saya seperti ini."
Anggi hanya menganggukkan kepalanya pelan dan tak lagi membantah Aditya. Ucapan pria itu benar dan Anggi menyetujui itu. Hingga beberapa menit kemudian, makanan yang dipesan Aditya tepat berasa di depan Anggi dan pria itu. Sebuah steak daging dengan beberapa hidangan penutup dan entah apa lagi yang ada di meja itu. Anggi yang menatap seluruh makanan yang sama sekali tak pernah ia makan hanya terdiam.
Ia memang bukan dari kalangan berada yang terbiasa makan dengan makanan western tersebut. Bahkan lebih baik gajinya ia tabung daripada menghabiskan dengan makan steak dan lainnya yang pasti harganya mahal, seperti yang ia tahu di beberapa daftar harga ketika ia pergi ke restoran bersama Dimas dulu.
"Kenapa, Nggi? kamu nggak makan?" ucap Aditya yang sudah melahap salad yang ia pesan.
"Gimana makannya?" tanya Anggi polos.
Sontak Aditya berhenti dengan kegiatanya mencampur aduk saladnya. Ia menatap Anggi sebentar kemudian tawa renyah menyerang pria itu hingga ia tak sadar bahwa ia mengabaikan semuanya. Untung saja ruangan VIP itu tersekat oleh dinding kaca, jadi otomatis tak terlalu mengganggu sekitar.
"Are you seriously?"
Anggi menganggukkan kepala dan tersenyum kecut saat melihat pria itu tertawa tadi.
"Katanya tadi terserah, ya saya pesankan steak untuk kamu. Saya pikir kamu akan menyukainya." Masih, Aditya masih dengan tawa lepasnya.
"Ah, seperti itu, tapi saya tidak biasa makan makanan ini, Pak. Maaf ya, Pak," ucap Anggi.
Aditya justru tersenyum mendapati sikap Anggi. Ia lantas berdiri dan berjalan ke arahnya. Duduk di sebelah perempuan itu sembari menarik piring berisi steak daging yang nampak lezat. Aditya pun memotong beberapa potong daging dengan tekstur lembut itu untuk Anggi. Sebelumnya ia menuangkan brown sauce di atas dagingnya.
"Makanlah, cobain."
Anggi masih menatap Aditya dan mulai mengambil garpu dari tangan pria itu dan memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya.
"Gimana enak nggak?"
"Enak, Pak, wah ... saya baru pertama kali makan beginian. Ternyata enak," ucap Anggi dengan mata berbinar seolah tengah menemukan makanan terlezat di muka bumi ini.
"Makan saja, habiskan ya ...."
Anggi hanya tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Ia pun mengikuti cara Aditya yang tadi memotong daging dan mulai memasukkan potongan-potongan itu dalam mulutnya. Aditya hanya tersenyum menatap perempuan itu. Setidaknya, berada di sisi Anggi membuat hatinya menghangat setelah satu minggu lalu ia merasa sangat kehilangan.
"Pak Aditya kenyang makan sayuran begitu, Bapak mau daging punya Anggi nggak? Anggi bisa bagi punya Anggi," ucap perempuan itu.
Aditya menggelengkan kepalanya, ia memang tidak berniat makan siang. Hanya saja ia ingin menemani perempuan itu hari ini. Aditya hanya meminum minumannya sembari menunggu perempuan itu menyelesaikan makannya.
"Eh, kok saya jadi keasikan makan. Maaf ya, Pak, jadi malu-maluin," ucap Anggi yang meletakkan garpunya setelah santapan terakhirnya.
"Tidak masalah, saya senang kamu memakan pesanan saya."
Aditya pun menyandarkan dirinya di punggung sofa sejenak dan Anggi ingin menanyakan perihal sikapnya tadi pagi yang tak terkontrol itu. Namun, ia ragu untuk menanyakam hal tersebut pada sosok Aditya, tapi jika tidak ada pendekatan, juga tidak akan pernah mendapatkan informasi apa pun sesuai dengan tujuannya menjadi sekretaris Aditya.
"Emm, Bapak kenapa? Ada masalah ya, Pak?"
"Maksudmu?"
"Maaf jika saya ikut campur, tapi dari sikap Bapak tadi pagi, rasanya sangat berbeda. Bapak lebih emosional. Maaf jika saya salah menduga, Pak," ucap Anggi yang kemudian canggung.
Aditya menghela napas panjangnya. Sejenak tak menanggapi ucapan Anggi sampai akhirnya ia membuka suaranya.
"Anak saya meninggal satu minggu lalu."
Deg.
Pengakuan Aditya sontak saja membuat Anggi merasa bersalah atas pertanyaannya. Kini, ia menatap raut kesedihan yang sempat ia tangkap tadi pagi.
"Maaf, Pak Adit, saya tidak bermaksud—"
"It's okay, Nggi. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah mengembalikan nyawa anak saya."
Aditya menunduk, menaham rasa sesak di dadanya kembali saat mengingat mendiang anak perempuannya. Rasa penyesalan selalu saja membuatnya lemah, terlebih sudah dua kali ia menyesali kepergian seseorang. Tiba-tiba sebuah usapan lembut berada tepat di punggungnya, membuat pria itu menoleh ke arah Anggi yang justru melesungkan senyumnya pada Aditya.
"Bapak yang kuat, ya. Saya tahu Bapak pasti sangat kehilangan orang yang sangat Bapak sayangi. Tapi kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan, Pak, karena kalay Bapak terus seperti ini, anak Bapak juga nggak akan tenang di sana. Dia pasti sedih melihat ayahnya juga sedih terus menerus."
Kembali Aditya menundukkan kepala, Anggi benar, ia tak seharusnya terlarut terus menerus atas rasa kehilangan yang mendalam. Namun, tetap saja hal itu menyesakkan dadanya. Terlebih ia belum mampu menepati janjinya pada bocah kecil itu.
"Saya hanya menyesal, Nggi, kenapa saya jadi sosok ayah yang mengabaikan anak sendiri. Saya bahkan tidak tahu jika anak saya sakit, mantan istri saya pun tidak pernah membicarakan hal itu. Itu yang membuat saya menyesal kenapa saya tidak tahu apa-apa tentang anak saya."
Anggi masih mengusap lembut punggung pria itu. Empati perempuan itu mendadak menjadi sangat kuat
"Pak, yang dilakukan Bapak belum tentu gagal menurut anak Bapak. Bahkan justru Bapak sudah memberikan hal yang terbaik untuk dia. Saya yakin, anak Bapak bangga memiliki sosok orang tua seperti Pak Aditya. Kita doakan saja agar anak Pak Aditya di tempatkan di tempat terbaik di sisi Tuhan. Kalau Bapak rindu ... Pak Aditya bisa berkunjung ke makamnya bukan? Jadi ... tetap semangat ya, Pak," ucap Anggi.
Entah, ucapan Anggi seolah mengalirkan sesuatu kehangatan di hati Aditya. Sudah lama ia tak mendengar petuah yang sangat tulus seperti ini. Baru kali ini pula ia mampu mendengarkan ucapan orang lain dan membenarkan semuanya. Aditya lantas memegang telapak tangan perempuan itu.
"Terima kasih, Nggi. Terima kasih atas semangatnya, terima kasih kamu sudah mendengarkan keluh kesah saya. Maaf saya menyita waktumu dan maaf soal tadi," ujar Aditya.
"Tidak masalah, Pak Adit, saya hanya tidak ingin Pak Aditya terlarut dalam kesedihan."
Aditya menganggukkan kepala dan melemparkan senyumnya pada perempuan di sisinya. Begitu pun Anggi yang membalas senyum itu. Entah, sejak kapan ia peduli pada Aditya, selain memang tujuannya untuk mencari segala informasi penting dari pria itu. Di sisi lain ia bersimpati dengan kehidupam Aditya jika di lihat dari sisi berbeda.
Sementara, terdapat sepasang mata yang menyorot kedekatan mereka dengan tatapan benci. Sandra, yang kebetulan tengah melintas di kantin kantor itu melihat Aditya dan Anggi yang tengah berada di ruangan VIP kantin. Penasaran dengan hal itu membuat Sandra kembali diselimuti oleh rasa iri dan cemburu. Seharusnya ia yang berada di dekat atasannya itu, bukan Anggi yang notabene orang baru di kehidupan Aditya.
Perempuan itu mengepalkan tangannya dan berlalu begitu saja dengan rasa kesal meninggalkan kantin tersebut. Namun, belum sempat Sandra melangkah lebih jauh ia dikejutkan oleh kehadiran Marco.
"Marco," ucap Sandra.
"Sandra makan siang di sini?"
Sandra menggelengkan kepalanya cepat dan berlalu begitu saja tanpa memedulikan kehadiran Marco yang justru bertanya-tanya dengan sikap Sandra. Marco pun menilik di sekelilingnya dan mendapati sosok Aditya dan Anggi di ujung ruang VIP kantin itu. Ia menghela napasnya dan seolah sudah menemukan masalah dari sikap Sandra barusan.
******
Sandra masih melangkahkan kakinya menuju ke meja kerjanya. Mendaratkan dirinya dengan kasar di kursi itu dan meremat kepala yang terasa menyakitkan.
"Kenapa harus Anggi! Kenapa Aditya tidak melihatku sekarang! Argh! Sial!" umpatnya tertahan.
Nampak raut kebencian menyelimuti Sandra. Ia tidak terima jika Aditya lebih dekat dengan Anggi di banding dirinya. Rasa sukanya pada Aditya membuat perempuan itu tak rela jika sang atasan bersama yang lain selain dirinya.
"Aku harus berbuat sesuatu, Aditya tidak boleh berpaling dariku. Aku harus melakukan sesuatu," tekadnya.
Hingga, jam makan siang pun berakhir, semua kembali pada kesibukan maisng-masing Dan Sandra tengah memberikan sebuah tugas pada Anggi yang harus dikerjakan perempuan itu. Anggi pun tak keberatan, justru ia langsung mengiyakan titah Sandra karena tidak enak dengan perdebatan mereka tadi.
Sedangkan Sandra kini tepat di depan ruangan Aditya. Seolah ragu untuk masuk padahal biasanya ia tinggal keluar masuk ruangan itu tanpa izin Aditya.
"Permisi Pak Aditya," ujar Sandra.
"Ya, masuk saja," timpal Aditya.
Sandra pun masuk ke dalam ruangan Aditya dan segera menuju ke arah meja kerja Aditya. Duduk di kursi di depan pria itu dan masih menunggu Aditya menatap ke arahnya. Dan hal itu terbukti, saat Aditya meliriknya yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.
"Ada apa, Sandra?"
"Emm, aku mau minta maaf tentang tadi siang? Maaf aku—"
"Sudah tidak masalah, asal jangan kamu ulangi saja. Aku tidak suka ada keributan di kantor. Harusnya kamu tahu itu kan?"
Sandra menganggukkan kepalanya dan mulai bangkit, kemudian berjalan ke arah sisi Aditya. Menyentuh pundak hingga dada bidang pria yang masih setia menatap layar ipad yang ia pegang.
"Aku hanya tidak suka kamu terlalu dekat dengannya. Memangnya kamu sudah tidak membutuhkanku?"
"Sandra hentikan, aku sedang tidak ingin diganggu. Dan jika aku tidak membutuhkanmu lagi, untuk apa aku masih mempertahankanmu di perusahaan ini? Sudah jangan bicara yang tidak-tidak."
Sandra yang benar merasa sikap Aditya sudah berubah mendadak, kembali kesal dengan semuanya. Ia lantas menarik ipad yang sedari tadi Aditya oegang agar pria itu menatapnya.
"Kamu apa-apaan sih, San? Itu pekerjaanku! Kamu jangan sembarangan seperti itu!"
"Kamu sudah memandangku hanya sebatas pekerjaan saja? Jadi apa gunanya aku menemanimu selama ini? Itu tandanya kamu sudah tidak membutuhkanku kan? Atau kamu sudah berpaling dengan Anggi yang sama sekali belum kamu taklukan? Iya kan?"
Aditya yang mendengar ucapan tak sopan Sandra langsung berdiri menatap tajam ke arah permpuan itu. Sandra telah salah membangunkan sisi gelap pada Aditya sehingga kini ia meringis kesakitan akibat cekalan tangan kekar itu di lengannya.
"Tidak bisakah kamu lebih sopan padaku? Bagaimana pun aku tetap atasanmu di sini! Kamu tidak berhak mengatur urusan pribadiku? Dan sejak kapan aku menjajikan diriku sendiri untuk selalu bersamamu. Kamu yang selama ini merelakan waktumu untuk menemaniku tanpa ku minta. Lalu sekarang kamu menanyakam hal yang jelas-jelas sudah kamu ketahui jawabannya! Aku dekat dengan siapa pun ... kamu tidak berhak melarang! Kamu buka siapa-siapaku, Sandra!" gertak Aditya yang melepaskan lengan Samdea dengan keras.
Sandra yang syok dengan sikap Aditya hanya bisa mematung. Air matanya lolos begitu saja tanpa mampu terkendali. Pernyataan menohok Aditya benar-benar menyakiti hatinya walau ia juga sadar memang ia tak pernah bisa meriah hati pria itu.
"Aku ... aku seperti ini karena aku cinta sama kamu, Dit!"
Aditya tertawa tipis mendengarnya.
"Cinta? Kamu lupa kalau aku tidak akan pernah mencintai siapa pun. Harusnya kamu sadar, kalau apa yang kamu rasakan tidak akan pernah berbalas. Lebih baik kamu pergi sekarang, kemasi barangmu dari meja sekretarismu."
"Hah? Kamu memecatku?"
Aditya menggelengkan kepalanya. "Sekretaris Eksekutif itu jabatanmu sekarang. Silakan kemasi barangmu dan tempati ruangan barumu."
Tawaran menarik untuk siapa pun itu nyatanya tak membuat Sandra merasa sennag. Itu artinya ia tidak bisa dekat lagi dengan Aditya. Walaupun jabatan itu menggiurkan siapa pun, tapi bagi Sandra pria itu sudah mengusir dirinya dari kehidupannya. Harusnya Sandra sadar akan hal ini, tapi ia tidak akan menyerah sampai kapan pun.
'Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, Dit, lihat saja,' batin Sandra yang lantas pergi dari ruangan Aditya.
|To Be Continues|
Secretary sang CEOHari berganti hari hingga enam bulan lamanya, Anggi sudah melewati semua hari-harinya bersama Aditya. Ia sudah terbiasa menyiapkan semua keperluan pribadi sang atasan. Selama ia tinggal di rumah pria itu sedikit banyak ia tahu sifat atasannya seperti apa, tahu kesukaan Aditya dan mengerti segala hal tentang pria mapan itu. Entah, apakah Sandra juga mengerti Aditya atau tidak. Sejak kehadiran Anggi yang ternyata mampu dengan cepat mempelajari suatu hal, membuat Aditya merasa cukup.Sandra tidak lagi menjabat sebagai sekretaris pribadi Aditya, ia benar-benar telah di promosikan menjadi Sekretaris Eksekutif yang membawahi semua jajaran administrasi perusahaan. Keputusan Aditya tak mampu dibantah oleh perempuan yang sudah bertahun-tahun mengikutinya, walaupun sempat terjadi perdebatan pribadi antara Sandra dan Aditya, nyatanya hal itu tak merubah keputusan pria itu."Pak Aditya, saya sudah siapkan kemeja, jas kerja, d
Secretary sang CEOAditya yang sudah berada di dalam kamar mulai merebahkan diri di ranjang besarnya itu. Ia menghela napas panjang. Sedikit frustasi dengan masalah yang dihadapi kali ini. Sekali lagi ia telah menyakiti orang lain, membuat orang itu terluka dengan tangannya sendiri, lagi dan lagi.Benar apa yang dikatakan Violitta. Selama ini hidupnya memang tidak pernah tenang, ia masih saja dihantui rasa bersalah atas sisi gelapnya yang bahkan ia sendiri susah untuk mengontrolnya.Aditya tidak suka dengan pengkhianatan, ia paling benci dengan kebohongan. Hal yang membuat sisi lain Aditya muncul dengan sendirinya. Dikhianati berkali-kali membuat pria itu jatuh ke lembah yang menjadikannya sebagai sosok yang tidak punya perasaan lagi. Ingin mengakhiri, tetapi selalu saja ada yang sengaja membuat sisi gelap itu kembali."Gadis bodoh!" geram Aditya yang masih meruntuki kebodohan Violitta dan diam-diam mengkhawatirka
Secretary sang CEOSetelah peristiwa yang menyebabkan jantung Anggi seakan berhenti mendadak, akhirnya ia memutuskan untuk meyegarkan badan agar fungsi otak kembali berjalan dan berpikir positif. Walau memang, degup jantungnya masih berdetak kencang saat mengingat kejadian tadi pagi. Ditambah ekspresi Aditya yang sesantai itu justru membuatnya salah tingkah sendiri.Setelah hampir 15 menit ia pun telah menyelesaikan ritual mandinya tepat saat ponselnya berdering. Perempuan itu pun segera berjalan ke arah meja nakas di sisi ranjang dan menatap layar ponselnya. Seulas senyum tercetak di bibir saat nama Dimas tertera di sana dan ia pun langsung mengangkat panggilan itu."Morning juga Pak Dimas, ada apa, Pak?" sambut Anggi setelah menerima sapaan dari ujung panggilan itu."Ada waktu enggak nanti, makan siang misalnya? Saya ingin bicara denganmu.""Bisa, nanti waktu makan siang ya, Pak, di mana?" tanya Anggi.&nbs
Secretary sang CEOAnggi bergegas untuk segera meninggalkan kediaman Aditya. Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah atasannya itu. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah didapatkan dan sisanya akan dipikirkan nanti. Entah, kenapa ia bisa semarah ini dengan Aditya, ada rasa sakit di hatinya saat bentakan pria itu tertuju padanya. Padahal, bisa saja ia cuek dengan ucapan pria itu."Loh, Non Anggi mau ke mana?" tanya Bi Suin yang tiba-tiba mencegah pergerakan langkah Anggi. "Saya mau pergi, Bi. Saya tidak enak tinggal di rumah Pak Adit terus. Saya ingin balik ke kos saya aja, Bi, biar saya gak ngerepotin Bibi juga, makasih ya Bi untuk semuanya.""Tapi kan, apa Non Anggi sudah bilang sama Tuan Aditya? Jangan pergi, Non, Bibi nggak ngerasa di repotin kok sama Non Anggi, justru Bibi seneng Non Anggi di sini," cegah Bi Suin lagi.Anggi lantas memeluk pembantu Aditya itu. Jujur, memang dirinya juga sudah seperti memiliki keluarga
Secretary sang CEOSenja di ufuk barat mulai menebarkan pesonanya. Jam di tangan Aditya juga sudah menunjukkan waktu jam kerja berakhir. Ia yang sedari tadi berkutat dengan pekerjaannya bahkan sedikit terganggu dengan insiden penolakan Anggi atas perasaanya dan ucapan Sandra atas penghianatan Anggi. Ia pun menghela napasnya saat melihat perempuan itu tengah merapikan meja kerjanya dan ia masih percaya terhadap Anggi."Anggi," sapa Aditya saat menghampiri meja kerjanya."Eh, eh iya, Pak Adit. Ada yang perlu saya siapkan?"Aditya menggeleng. "Tidak. Saya hanya ... emm, bertahanlah di sini sebentar sampai kamu menemukan sekretaris baru untuk saya. Bisa?"Anggi tertegun sejenak, lalu ia tersenyum kepada Aditya. Seolah-olah kejadian tadi pagi tak pernah terjadi di antara mereka meskipun dari masing-masing hati merasakan suatu kehampaan."Bisa, Pak. Saya akan segera mencarikan sekretaris baru untuk Pak Adit,
Secretary sang CEOKeesokan harinya, tepat pukul enam pagi Aditya mulai mengerjapkan mata. Dirasakan pusing masih menjalar di kepalanya hingga belum sanggup untuk sekedar membuka mata. Namun, ia tetap terduduk di ranjang itu dan belum menyadari bahwa dirinya tak berada di kediamannya."Sudah bangun, Dit?" tegur seseorang.Sontak saja Aditya menghentikan aktifitasnya yang tengah memijit kepalanya sendiri. Netranya langsung terbuka saat suara yang tak asing ia dengar menyapa pagi-pagi seperti ini. Ia langsung menyapu seluruh ruangan yang nampak asing dan tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang tengah berkutat di area dapur kecil di dalam kamar itu. Sosok yang jelas ia kenal seluk beluknya."Sandra, kamu—""Sudah jangan memikirkan apa-apa dulu. Aku membuatkan teh jahe untukmu. Minumlah, bisa mentralkan mabuk beratmu semalam." Perempuan itu mulai melangkah menuju ke ranjang Aditya dan memberikan sege
~~~~~"Kebetulan sekali. Kita juga ingin makan siang. Kita bisa cari restoran bersama jika mau. Dan Pak Aditya, saya minta maaf atas kejadian tempo lalu dan makan siang hari ini sebagai permintaan maaf saya. Bagaimana?"Tawaran yang terdengar di telinga Aditya seolah hanyalah sebuah alasan klise seseorang di depannya untuk membuat hatinya semakin tak karuan. Aditya menelan salivanya perlahan dan masih mencerna tawaran tersebut. Bola matanya menatap perlahan ke arah Dimas dan Anggi secara bergantian."Setuju, kita ke restoran di ujung sana," titah Aditya menunjuk salah satu restoran di mall tersebut.Sandra yang mendapati sikap Aditya sontak saja terkejut. Tidak biasanya Aditya semudah itu menerima tawaran untuk sekedar bercengkerama dengan orang asing seperti ini jika bukan klien bisnisnya. Dimas pun hanya melesungkan senyumnya dan menyetujui ucapan Aditya. Nampak mereka berempat berjalan menuju ke arah restoran tersebut. Di mana Aditya dan
~~~~~Tepat pukul enam pagi bunyi ponsel Aditya sudah sibuk berbunyi membangunkan sang tuannya. Beberapa kali Aditya menghiraukannya, beberapa kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal tetap saja bunyi ponselnya tidak kunjung berhenti. Bukannya pria itu tidak ingin menjawab panggilan, hanya saja matanya masih berat karena semalaman tidak bisa tertidur dan alhasil begadang hingga pukul lima pagi.Dan bukan tanpa sebab, lagi dan lagi ia hanya memikirkan satu nama. Satu nama yang berhasil menyita seluruh pikirannya. Satu nama yang entah akan memikirkannya atau justru menertawakannya saat ini. Namun, bunyi ponsel itu lebih menyebalkan saat ini daripada begadangnya semalam."Siapa sih! Berisik!" gerutu Aditya, tapi tangannya masih saja meraih ponsel yang terletak di atas meja nakas.Dengan bermalas-malasan ia menyabet benda pipih itu dan mengangkat panggilan dengan asal. Ia bersumpah jika panggilan kali ini tidak penting gawai canggih itu akan
~~~~~~~~Tepat satu minggu kemudian~Pagi yang cerah sudah menyambut Aditya dengan pesonanya. Burung-burung dengan merdu mengeluarkan nyanyian pagi pendamai suasana. Hari ini tepat di mana janji pernikahan Aditya dan Anggi akan dilangsungkan.Anggi sudah bersiap-siap sedari tadi pagi. Gaun yang sudah terpesan sejak lama itu kini ia pakai dengan anggunnya. Tampilan riasan dari MUA berkelas pun telah merubahnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik hari ini. Bahkan tanpa riasan yang mencolok Anggi tetap terlihat berbeda, sangat berbeda. Aura positif terpancar dari Anggi. Ia sudah siap untuk mendengarkan janji pernikahan yang akan disebutkan Aditya nanti."Anggi, sudah siap?" tanya Kevin tiba-tiba"Sudah."Sontak saja Kevin tertegun dengan kecantikan yang di miliki Anggi. Gaun pengantin dengan model shoulder off yang melekat di tubuh perempuan itu benar-benar sangat cocok
~~~~~~~~~"Adit! Nak, kamu sudah sadar? Renoo, panggil dokter!" titah Andini kala melihat sang anak mulai mengerjapkan mata.Segera Reno yang semula duduk di sofa ruangan VIP rumah sakit itu melangkah keluar guna memanggil dokter untuk memeriksa sang kakak. Beberapa saat kemudian sang dokter segera menuju ke ruangan Aditya dan memeriksa kondisi vital pria itu.Dokter pun menurunkan stetoskopnya dan lantas tersenyum ke arah ibu Aditya dan adiknya, "Semuanya baik-baik saja. Hanya jangan dulu membuat Aditya berpikir terlalu keras atau pun melakukan apa pun terlalu berat. Kami akan lakukan observasi kondisinya setelah ini. Ada lagi yang ditanyakan? Kalau tidak ada, saya permisi dulu.""Iya, Dok. Terima kasih banyak ...," ucap Ibu Andini. Ia lantas melirik ke arah anak lelakinya dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Syukurlah, Nak, kamu sudah sadar akhirnya. Mama khawatir sama kamu, beberapa hari kondisi kamu turun terus."Aditya
~~~~~~~~~~Seperti biasa, Aditya dan Anggi dilibatkan dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan Kota Jakarta di setiap jam-jam tertentunya. Namun, kali ini tidak menjadi masalah bagi Aditya. Pria itu pun mengarahkan mobilnya menuju ke suatu tempat sesuai apa yang ia janjikan tadi.Sementara Anggi yang sedari tadi memerhatikan Aditya, agak sedikit heran dan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya karena Aditya mengarahkan mobilnya ke sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta. Hingga, beberapa saat kemudian, Aditya menghentikan mobil tepat di tepi jalan pemakaman.Pria itu kini terdiam sejenak dan mengeratkan genggaman di setir mobil. Menghela napas panjang kemudian turun dari mobilnya di ikuti oleh Anggi yang sedari tadi menyimpan pertanyaan pada tujuan pria itu. Namun, seperti biasa ia tidak bisa mengungkapkan karena di lihatnya Aditya hanya terdiam ketika memasuki lokasi pemakaman itu. "Ayo, Nggi. Saya akan a
~~~~~~~~Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke apartemen Aditya. Dengan penuh canda tawa mengiringi perjalanan, Anggi tetap menggenggam tangan Aditya dengan erat, hingga tepat berada di depan unit apartemen pria itu. Aditya pun mempersilahkan Anggi untuk masuk terlebih dahulu. Perempuan itu menganggukkan kepala dan melangkahkan kaki ke dalam apartemen Aditya sembari melepas heelsnya."Anggi," panggil Aditya.Sontak Anggi langsung menoleh ke arah Aditya. "Iya, Mas," sahutnya.Tanpa aba-aba yang jelas, Aditya langsung mendorong tubuh Anggi hingga menyentuh dinding di belakangnya. Sebuah pagutan lembut kembali membungkam sejenak segala ucapan yang ada, hingga tiba-tiba Aditya melepas ciumannya begitu saja. Menunduk dalam dan segera berlalu dari Anggi menuju ke kamar mandinya. Hal itu sontak membuat Anggi bingung atas sikap Aditya. "Sialan!" gerutu Aditya saat tetesan darah itu mengalir begitu sa
~~~~~~~~~Beberapa hari kemudian, Marco terdiam cukup lama saat tahu Aditya tidak berbicara sama sekali. Pria itu melirik ke arah arlojinya, sudah tiga puluh menit yang lalu bahkan dirinya tidak tahu mengapa sang atasan memanggil. Ia berulang kali melihat Aditya tampak cemas tak seperti biasanya. Tiap kali ingin berbicara selalu saja tertunda dan begitu seterusnya selama Marco berada di ruang Aditya."Maaf, Tuan, sebenarnya anda ini kenapa?""Saya ...." Aditya mulai mengatur duduknya lagi dan kini kedua lengan itu bertumpu pada meja kerjanya. "Saya mau melamar seseorang," ujarnya.Marco terdiam mendengar penuturan Aditya, tapi detik berikutnya ia tersenyum nyaris tertawa. "Jadi Tuan terlihat seperti ini hanya karena ingin melamar seseorang?" tanya Marco meyakinkan pendengarannya."Hei, apa yang lucu?" tanya Aditya yang merasa tersindir dengan raut wajah tangan kanannya."Maaf, Tuan, tapi bukannya ini berita yang sangat bagus?
~~~~~~~~~~Beberapa menit kemudian Anggi mulai mengerjapkan matanya. Kesadarannya berangsur-angsur pulih. Ia menyapu pandangannya dan berhenti pada sosok Aditya yang tampak menelungkupkan kedua tangan di wajahnya."Mas Adit," panggil Anggi lirih.Sontak Aditya menoleh ke sumber suara itu dengan segera."Anggi, kamu sudah sadar? Syukurlah, mana yang sakit? Apakah ada yang luka? "Anggi menggelengkan kepalanya, ia berusaha duduk."Kamu mau ngapain? kamu tidur saja dulu, istirahat.""Aku sudah nggak kenapa-kenapa, Mas."Anggi langsung memeluk Aditya yang berada di sisinya, menenggelamkan dirinya ke dasa pria itu. Ia menangis lagi di pelukkan Aditya kala mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Mas, aku takut. Aku takut sama Pak Dimas," lirih Anggi. "Kamu tenang saja ya, Nggi. Dimas sudah diamankan, dia tidak akan mengganggumu lagi. Saya akan lebih melindungimu
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p