SANTET PAKAIAN DALAM 13 "Iman manusia itu naik turun. Kadang kenceng, kadang kendur, sedih, gelisah, malas, marah." Pak Ustad menarik napas, kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi. "Sedangkan setan adalah makhluk Allah yang paling rajin. Rajin menghasut, rajin memprovokasi manusi dan paling sabar juga, setan akan menunggu dengan sabar sampai mendapatkan titik lemahnya manusia. Di situlah Setan itu kalau sudah mendapatkan celah, lewat mana saja dia akan masuk. Tidak tanggung-tanggung dan tidak mau gagal. Dia akan menembus semua lapisan keimanan manusia agar mereka terjerumus. Siapa saja bisa terkena santet. Karena Iblis itu nggak akan berhenti sampai berhasil merusak manusia." Kali ini Ustad Ilham tampak sangat serius. "Ke dua adalah ujian. Semua orang akan mendapatkan ujian dari Allah SWT. Jamila dan Nining adalah salah satunya, mereka wanita pilihan. Dunia adalah tempatnya ujian Allah. Seorang mukmin akan biasa diuji Allah baik dengan ujian berupa kesempitan hidup, atau kela
SANTET PAKAIAN DALAM 14 Galih menarik gas motornya, segera menyusul Aji sebelum Aji sampai di rumah Mbah Harjo. Tak peduli jalan berlubang, ia terjang. "Gal, itu sepertinya mobil Pak Herman, mobil yang biasa di sewa oleh Mas Aji," tunjuk Raga. Ia sudah hafal betul mobil berwarna putih milik Pak Herman tersebut, karena memang mobil itu sudah biasa disewakan. "Kamu benar, Ga!" Galih semakin ngebut mengejar lampu merah. Sial, mobil itu melaju melewati lampu merah terlebih dahulu, sedangkan Galih tak bisa mengejarnya karena harus berhenti sejenak di lampu merah selama empat puluh detik. Lima.Empat.Tiga.Dua.Satu."Gas, Gal!" Raga menepuk bahu Galih. Galih pun menarik Gas, berusaha menyusul mobil Aji. Mereka sudah tertinggal cukup jauh. Mobil itu sudah meninggalkan jalan utama berbelok ke arah kiri menuju ke rumah Mbah Harjo. "Buruan, Gal. Belok kiri." Jalan yang tidak rata membuat mobil yang ditumpangi Aji. berjalan pelan. Sedangkan Galih dan Raga masih bisa mengendalikan moto
SANTET CELANA DALAM 15 Aji di sambut oleh Mbok Kasih. Wanita sepuh yang tugasnya membersihkan padepokan. Tubuh ringkih wanita itu membuatnya berjalan sedikit membungkuk. "Nggih mari masuk, ajak pasien ke kamar saja langsung," kata Mbok Kasih yang sudah tahu betul apa yang harus dilakukannya. Nining dipapah oleh Aji dan Danang, dibawa ke sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter persegi. Aji menaruh tas milik Nining berisi beberapa potong pakaian. Kamar itu langsung menghadap ke taman belakang padepokan yang dikelilingi tembok dengan tinggi dua meter. Aji mengedarkan pandangannya ke seluruh bangunan. Ada beberapa kamar di sana yang semuanya menghadap ke arah taman. "Ada berapa orang pasien Mbah Harjo yang melakukan tiras, Mbok?" tanya Aji. "Sementara ini ada empat orang termasuk Eneng, ini," jawab Mbok Kasih. Ia merapikan tempat tidur Nining, dengan memasang sprei dan sarung bantal bermotif bunga-bunga. "Sudah rapi," kata Mbok Kasih. "Apakah semuanya perempuan, Mbok?" tanya Aj
SANTET CELANA DALAM 16 Setelah mengantar Erna ke kamarnya, Mbok Kasih membereskan meja, membersihkan bekas minuman yang mengotori meja menggunakan kain lap dengan posisi berjongkok."Imam mana, Mbok?" tanya Mbah Harjo. Imam adalah putra Mbok Kasih yang memiliki gangguan mental sejak ayahnya meninggal. Ia tak sanggub menerima kepergian ayahnya, sejak itu Imam berhenti bicara kepada siapapun, bahkan dengan Ibunya. Imam menjadi bisu sejak saat itu. Saat ia berusia sepuluh tahun. "Imam lagi di dapur Mbah, dia lagi merebus singkong yang tadi diambilnya dari kebun. Ibu yang nyuruh Imam ngambil singkong," jawab Mbok Kasih tanpa melihat wajah Mbah Harjo.Mbah Harjo mengangguk. "Mbok, setelah ini pindahkan pasien baru tadi ke kamar belakang," perintah Mbah Harjo."Ke kamar belakang?" Mbok Kasih mengulangi ucapan Mbah Harjo. "Iya," jawab Mbah Harjo tegas."Baik," jawab Mbok Kasih. Ia pun buru-buru meninggalkan ruang tamu menuju ke dapur. Di sana ada Imam yang sibuk mengeluarkan singkong ya
SANTET CELANA DALAM 17 Erna dan lelaki itu sama-sama panik saat mendengar suara langkah kaki menuju ke sana. Lelaki itu mengintip dari lubang kunci diikuti Erna. Ia kemudian memegang ke dua pundak Erna. Ia menunjuk dirinya dan bawah tempat tidur. Erna mengerti, lelaki itu ingin bilang bahwa dia akan bersembunyi di bawah tempat tidur. Erna pun mengangguk. Mereka kemudian mengambil posisi masing-masing. Erna naik ke tempat tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, sedangkan lelaki tadi bersembunyi di bawah tempat tidurnya."Ga, Mbah Harjo datang," kata Erna memberi laporan. Ia menyelipkan ponselnya kembali di bawah bantal.Langkah kaki itu semakin mendekat, sampai terdengar suara anak kunci yang diputar dua kali. Pintu pun berderit, kemudian daun pintu ditutup kembali.Di ujung telepon, Raga dan Galih terus mendengarkan apa yang terjadi di sana. "Apa kita ke sana sekarang?" tanya Galih. "Ya, untuk jaga-jaga," ucap Raga. *** Mbah Harjo berjalan pelan mendekati Erna yang
SANTET CELANA DALAM 18Pyaar! Seketika semua terkejut, gelas di atas nampan pun jatuh pecah berserak. "Innalilahi Nduk, ati-ati," seru Sumini. "Maaf," ujar Ita tanpa berani memandang wajah Ustad Ilham. Wajah Ita seketika pucat pasi. Sumini pun membantu Ita memunggut pecahan beling, menaruhnya di atas nampan. "Awas, tajam," kata Sumini kawatir. Danang gegas ke belakang mengambil keset kain untuk mengeringkan lantai. Usai membersihkan lantai, Ita kembali ke dapur untuk membuat teh lagi. "Ayo, Ibu bantu," ucap Sumini. Ia menyiapkan gelas di atas nampan dan menuangkan dua sendok teh gula. "Kamu kenapa, Nduk? Kamu pucat sekali, kamu sakit, Nak?"" tanya Sumini."Nggak papa, Bu," jawab Ita."Kalau sakit, sebaiknya kamu pulang istirahat saja, biar Ibu yang bawa teh nya ke depan," kata Sumini. Ia memegang kening putrinya. "I-iya Bu, Ita memang sedikit pusing," akunya. Sebenarnya Ita bisa saja pulang untuk menghindari Ustad Ilham, tetapi ia tidak ingin melewatkan apapun tentang Ni
SANTET CE LA NA DALAM 19Ustad Ilham menggenggam buntalan itu beberapa saat, tangganya gemetar saat mencoba menarik kekuatan jahat dari buntalan itu. Allaahumma innaa nastahfidhuka wa nastaudi'uka diinanii wa anfusanaa wa ahlanaa wa aulaadanaa wa amwaalanaa wa kulla syai'in a'thaitanaa. "Ya Allah, kami memohon penjagaan kepada-Mu dan kami menitipkan kepada-Mu agama kami, diri kami, keluarga kami, anak-anak kami, dan segala sesuatu yang Engkau berikan kepada kami."Ustad Ilham mengusap wajahnya. Semuanya terdiam, fokus kepada Ustad Ilham.Ustad Ilham kemudian bangkit, ia menolah ke bingkai pintu di mana semuanya menatap tegang Ustad Ilham tak terkecuali Ita. Apalagi Ustad Ilham menatap lurus ke arahnya. Ita semakin panik saat Ustad Ilham berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di depan Ita. Ita tak berani bergerak sampai Ustad Ilham bilang, "Tolong ambilkan kantung kresek!" Tanpa menjawab Ita langsung berlari ke dapur, di sana ia bisa melepaskan napasnya yang sempat tertahan. "Apa U
SANTET CELANA DALAM 20 Ita mondar-mandir di kamarnya, di kepalanya terlintas banyak tanya. Apakah benar Ustad Ilham tak mengetahui bahwa dialah pelakunya? Atau Ustad Ilham hanya berpura-pura tak tahu? Aku harus apa? Ustad Ilham membawa buntalan itu, apakah dia akan ... Ita membuang diri di tempat tidur, menenggelamkan wajahnya di bantal. "Nduk, Ita?" Sumini memanggil anaknya, seharian itu Ita tidak keluar kamar sama sekali. Sumini takut terjadi apa-apa padanya, apalagi Ita mengeluh sakit. "Iya, Bu," jawab Ita setelah membuka pintu. "Kamu nggak makan? Makan, Nak, nanti kamu malah tambah sakit." "Nanti aja, Bu. Ita sudah enakkan kok," jawab Ita. Ia kemudian mengunci pintu kamarnya kembali. Ita duduk di depan meja riasnya, menatap wajahnya baik-baik. "Sekarang aku harus apa? Sudah ada Ustad Ilham yang akan melindungi Nining. Aku harus segera menemui Ki Darma. Aku harus meminta pertolongan darinya. Ya, aku harus segera ke sana!" tekad Ita. Matahari telah kembali keperaduannya,