Nyonya Carla mengangguk, menepuk lengannya dan berbalik pergi menuju pintu. Geovani langsung bergerak mendekati ibunya dan merangkulnya, "Aku akan menemaninya ke bawah. Kau tinggallah bersama Obelia dan Caroline dulu sini." Abigail mengangguk, menatap punggung wanita paruh baya itu yang masih cantik dan gusar karenanya. Ada sesuatu yang begitu mendesak ingin dia tanyakan tapi merasa tidak pantas menanyakannya. Abigail meremas tangannya dengan kuat dan berperang dengan dirinya sendiri. "Nyonya Carla," ucapnya saat Tuan Muda Geovani membuka pintu, membuat keduanya kembali berbalik menatap Abigail yang bergerak mendekat. "Maaf saya begitu lancang, tapi apa boleh saya bertanya sesuatu?" "Apa itu? Kalau aku bisa menjawabnya maka aku akan menjawab." "Nyonya Carla sangat mirip dengan mendiang Nyonya Rose. Apa kalian kembar dan itu sebabnya Tuan Lucca tidak mau bertemu dengan anda karena akan mengingatkanya pada ibunya?" Abigail mendengar seseorang terkesiap, tapi dia tidak terlalu mempe
Bastian tersenyum dan mengulurkan tangan mengajak berdansa. Abigail menelan salivanya, mengulurkan tangan meski takut dan terkesiap kaget saat Bastian menariknya maju hingga dia terdorong ke depan sementara dia pindah posisi ke tempatnya tadi hingga Abigail bisa bertatapan begitu dekat dengan Lucca Alonzo yang balik menatapnya. Dengan tangan lainnya yang bebas, Abigail berusaha menggapai Lucca tapi tautan tangannya dengan Bastian menariknya kembali dan memaksanya berpaling dari Lucca hingga masuk dalam pelukan Bastian yang memegang erat pinggangnya dan mereka berdansa di sana."Apa sebenarnya yang kalian harapkan dariku?" Tanya Abigail."Sedikit petunjuk." Bastian mengeratkan pelukannya, mengecup bahu Abi yang bebas masih sambil berdansa. "Sedikit harapan terselubung bagi Geovani.""Aku tidak mengerti.""Lucca Alonzo adalah orang yang sangat Geovani kagumi. Dia sudah lama berharap, saudaranya itu bisa keluar dari masa lalunya. Mungkin rasa bersalah yang membuatnya tidak bisa benar-ben
Abigail menatap gaunnya kemudian menatap Lucca yang memalingkan wajah dan membawa Grecie pergi. Abi menatap tidak percaya keduanya yang meninggalkannya begitu saja. "Kau tidak apa-apa," tanya Bastian, memberikan sapu tangannya agar Abi bisa membersihkan gaunnya. "Tidak apa-apa." "Dia berpura-pura tidak menganggapmu ada tapi dia peduli dengan keberadaanmu disini. Menarik." Abigail mendengkus, "Karena aku pelayannya." "Kemarilah." Bastian menariknya pergi mendekat di mana Lucca berada. "Tuan Rafael, bagaimana kabar anda hari ini?" Lucca kembali menatap Abigail yang berada dalam dekapan Bastian. "Aku dengar anda akan menyambut kelahiran putri ketiga." "Kau anak muda yang sibuk tapi masih sempat mendengar berita itu ya," ucap Lelaki tampan di depannya yang kemudian menatapnya. "Dia kekasih barumu?" Bastian tertawa, "Cantik sekali bukan? Doakan saja dia mau menjadi belahan jiwaku di masa depan." Abigail mengerjap, melirik sekilas Lucca yang meminum anggurnya sembari menatap ke ara
Tidak perlu mengonfirmasi di mana ia berada sesaat setelah terbangun dari tidurnya yang terasa melelahkan. Keluar dari kegelapan yang melingkupi seakan berada di antara ketiadaan. Yang terekam jelas dalam ingatannya berupa rasa sakit yang menjalar dalam perutnya yang terasa membakar. Sungguh sebentuk perasaan yang tidak ingin diingatnya lagi. Beruntung, dia masih bisa melihat dunia. Abigail menarik napas panjang, aroma obat-obatan terasa menguar dengan jelas di indra penciumannya, mencoba meredakan gemuruh dadanya yang berdetak cepat saat mengingat tatapan terkejut Lucca malam itu. "Thanks God." Seruan bernada penuh kelegaan itu menarik Abigail dari bayangan akan Lucca Alonzo. Ditolehkan kepalanya ke samping dan menemukan senyuman hangat Tuan muda Geovani. "Akhirnya, kau sadar juga Abigail." "Tuan muda." Geovani mendekatkan duduknya di samping ranjang Abigail, "Bagaimana keadaanmu?" Abigail melihat selang infus yang mengalirkan cairan bening ke tubuhnya sebelum menjawab, "Aku me
Abigail tersenyum miris, tahu dengan pasti kalau Lucca memang memiliki rencana terselubung mengumpankan dirinya, "Maaf jika aku mengecewakanmu, Tuan muda." "Tidak. Jangan minta maaf seperti itu. Seharusnya kau marah karena harus mengalami hal mengerikan seperti ini." Bagaimana Abigail bisa marah melihat tatapan menyesal di mata lelaki tampan itu. Abigail terdiam begitu juga Geovani sampai tatapan mata Alonzo yang terkejut dan gerak refleknya yang langsung terjun dari lantai atas terbayang kembali. "Apa Tuan Lucca yang membawaku ke sini?" tanyanya, entah kenapa penuh harap. "Lucca?" Geovani tersenyum tipis. "Tidak. Bastian yang menggendong dan membawamu ke rumah sakit bersamaku." Harapan itu langsung musnah seperti bunga yang layu. "Oh." Hanya itu yang bisa Abigail katakan. Diremasnya tangannya seraya menunduk. "Saat itu aku pikir melihatnya.." "Loncat dari atas?" Abigail mengangkat pandangan, menatap Geovani. "Dia memang melakukannya. Sampai lebih dulu di dekatmu sebelum aku
"Kau tahu ini apa?""Hmm, kue.""Pintar. Apa kue ini terlihat lezat bagimu?""Hmm—" Abigail menelengkan kepalanya memperhatian kue strawberry di tangan Bastian. "Sepertinya begitu.""Apa kau tahu fungsi kue ini untuk apa?"Abigail tidak tahu kenapa harus meladeni semua pertanyaan konyol Bastian yang tersenyum dengan alis terangkat naik di depannya. Menjelang sore, Bastian datang mengunjunginya membawa sekotak kue yang aromanya menggiurkan."Untuk dimakan.""Good. Kalau begitu—" Bastian menyendokkan seujung kue beserta potongan strawberrynya ke Abigail sembari membuka mulutnya. "Ayo di makan."Abigail nyengir, "Aku bisa memakannya sendiri Tuan Bastian yang terhormat.""No!” Bastian menjauhkan kue di tangannya. "Banyak wanita sebelum kau yang bahagia sekali saat aku membawakan kue ini terlebih saat aku menyuapi mereka. Apa kau sekarang mau menolakku?"Abigail tidak tahu harus menjawab apa sampai Bastian tertawa dan menyodorkan lagi kue itu yang mau tidak mau Abigail makan."Oh." Abigail
"Abigail jelas tidak mau hal itu terjadi. Biar bagaimanapun kalian nampak seperti pasangan yang serasi malam itu. Betulkan Abi?" Ada nada ancaman yang tersirat dikata-kata Lucca membuat Abigail langsung buka suara. "Tuan Bastian, bisa tinggalkan kami berdua?" Lucca memaikkan dagunya dengan senyuman miring, Bastian jelas menolak. "Tapi—" "Please.” Bastian bergeming, melihat tatapan memohon Abigail untuk sesaat kemudian menghunuskan tatapan tajamnya ke Lucca. "Berteriaklah jika dia melukaimu. Aku ada di luar," ucapnya. "Terima kasih." Bastian mengusap kepala Abigail lembut, melayangkan tatapan ancaman ke Lucca dan berbalik pergi meninggalkan mereka berdua. Setelahnya hanya ada keheningan yang menyesakkan bagi abigail yang diam sembari meremas selimut rumah sakit. Apakah dia salah menilai tatapan Lucca yang begitu terkejut dengan kondisinya malam itu? "Well, Abigail, secepat itu kau mendapatkan sekutu. Air matamu sepertinya berguna juga—" Lucca buka suara,sindirannya terasa menu
Abigail diam memandangi taman di luar dari jendela kamar inapnya setelah Nyonya Carla pulang setengah jam yang lalu setelah melihat keadaannya. Memikirkan permintaannya yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh Abigail. Meski begitu, harapan dalam tatapan matanya membuat Abigail hanya bisa diam dan berdoa semoga ada cara lain bagi beliau berdamai dengan keponakan yang dicintainya tapi terlalu buta untuk melihat karena diselimutii kebencian. Dua hari setelah kedatangan Lucca hari itu, Abigail tidak lagi mendengar kabar darinya. Kata Tuan muda Geovani, besok dia sudah bisa keluar dari rumah sakit dan akan tinggal sementara di hotel sampai Lucca muncul. Krekk.. Abigail menoleh mendengar suara pintu terbuka, melotot kaget saat melihat siapa yang berdiri menjulang di sana dengan senyuman hangatnya. "Dom," pekik Abigail, nampak senang sekali. "Hai." Dom mendekat, menarik Abigail dalam pelukannya yang erat. "Aku kaget sekali saat mendengar kau masuk rumah sakit. Aku nekat pergi dari mansio
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj