Abigail menatap gaunnya kemudian menatap Lucca yang memalingkan wajah dan membawa Grecie pergi. Abi menatap tidak percaya keduanya yang meninggalkannya begitu saja. "Kau tidak apa-apa," tanya Bastian, memberikan sapu tangannya agar Abi bisa membersihkan gaunnya. "Tidak apa-apa." "Dia berpura-pura tidak menganggapmu ada tapi dia peduli dengan keberadaanmu disini. Menarik." Abigail mendengkus, "Karena aku pelayannya." "Kemarilah." Bastian menariknya pergi mendekat di mana Lucca berada. "Tuan Rafael, bagaimana kabar anda hari ini?" Lucca kembali menatap Abigail yang berada dalam dekapan Bastian. "Aku dengar anda akan menyambut kelahiran putri ketiga." "Kau anak muda yang sibuk tapi masih sempat mendengar berita itu ya," ucap Lelaki tampan di depannya yang kemudian menatapnya. "Dia kekasih barumu?" Bastian tertawa, "Cantik sekali bukan? Doakan saja dia mau menjadi belahan jiwaku di masa depan." Abigail mengerjap, melirik sekilas Lucca yang meminum anggurnya sembari menatap ke ara
Tidak perlu mengonfirmasi di mana ia berada sesaat setelah terbangun dari tidurnya yang terasa melelahkan. Keluar dari kegelapan yang melingkupi seakan berada di antara ketiadaan. Yang terekam jelas dalam ingatannya berupa rasa sakit yang menjalar dalam perutnya yang terasa membakar. Sungguh sebentuk perasaan yang tidak ingin diingatnya lagi. Beruntung, dia masih bisa melihat dunia. Abigail menarik napas panjang, aroma obat-obatan terasa menguar dengan jelas di indra penciumannya, mencoba meredakan gemuruh dadanya yang berdetak cepat saat mengingat tatapan terkejut Lucca malam itu. "Thanks God." Seruan bernada penuh kelegaan itu menarik Abigail dari bayangan akan Lucca Alonzo. Ditolehkan kepalanya ke samping dan menemukan senyuman hangat Tuan muda Geovani. "Akhirnya, kau sadar juga Abigail." "Tuan muda." Geovani mendekatkan duduknya di samping ranjang Abigail, "Bagaimana keadaanmu?" Abigail melihat selang infus yang mengalirkan cairan bening ke tubuhnya sebelum menjawab, "Aku me
Abigail tersenyum miris, tahu dengan pasti kalau Lucca memang memiliki rencana terselubung mengumpankan dirinya, "Maaf jika aku mengecewakanmu, Tuan muda." "Tidak. Jangan minta maaf seperti itu. Seharusnya kau marah karena harus mengalami hal mengerikan seperti ini." Bagaimana Abigail bisa marah melihat tatapan menyesal di mata lelaki tampan itu. Abigail terdiam begitu juga Geovani sampai tatapan mata Alonzo yang terkejut dan gerak refleknya yang langsung terjun dari lantai atas terbayang kembali. "Apa Tuan Lucca yang membawaku ke sini?" tanyanya, entah kenapa penuh harap. "Lucca?" Geovani tersenyum tipis. "Tidak. Bastian yang menggendong dan membawamu ke rumah sakit bersamaku." Harapan itu langsung musnah seperti bunga yang layu. "Oh." Hanya itu yang bisa Abigail katakan. Diremasnya tangannya seraya menunduk. "Saat itu aku pikir melihatnya.." "Loncat dari atas?" Abigail mengangkat pandangan, menatap Geovani. "Dia memang melakukannya. Sampai lebih dulu di dekatmu sebelum aku
"Kau tahu ini apa?""Hmm, kue.""Pintar. Apa kue ini terlihat lezat bagimu?""Hmm—" Abigail menelengkan kepalanya memperhatian kue strawberry di tangan Bastian. "Sepertinya begitu.""Apa kau tahu fungsi kue ini untuk apa?"Abigail tidak tahu kenapa harus meladeni semua pertanyaan konyol Bastian yang tersenyum dengan alis terangkat naik di depannya. Menjelang sore, Bastian datang mengunjunginya membawa sekotak kue yang aromanya menggiurkan."Untuk dimakan.""Good. Kalau begitu—" Bastian menyendokkan seujung kue beserta potongan strawberrynya ke Abigail sembari membuka mulutnya. "Ayo di makan."Abigail nyengir, "Aku bisa memakannya sendiri Tuan Bastian yang terhormat.""No!” Bastian menjauhkan kue di tangannya. "Banyak wanita sebelum kau yang bahagia sekali saat aku membawakan kue ini terlebih saat aku menyuapi mereka. Apa kau sekarang mau menolakku?"Abigail tidak tahu harus menjawab apa sampai Bastian tertawa dan menyodorkan lagi kue itu yang mau tidak mau Abigail makan."Oh." Abigail
"Abigail jelas tidak mau hal itu terjadi. Biar bagaimanapun kalian nampak seperti pasangan yang serasi malam itu. Betulkan Abi?" Ada nada ancaman yang tersirat dikata-kata Lucca membuat Abigail langsung buka suara. "Tuan Bastian, bisa tinggalkan kami berdua?" Lucca memaikkan dagunya dengan senyuman miring, Bastian jelas menolak. "Tapi—" "Please.” Bastian bergeming, melihat tatapan memohon Abigail untuk sesaat kemudian menghunuskan tatapan tajamnya ke Lucca. "Berteriaklah jika dia melukaimu. Aku ada di luar," ucapnya. "Terima kasih." Bastian mengusap kepala Abigail lembut, melayangkan tatapan ancaman ke Lucca dan berbalik pergi meninggalkan mereka berdua. Setelahnya hanya ada keheningan yang menyesakkan bagi abigail yang diam sembari meremas selimut rumah sakit. Apakah dia salah menilai tatapan Lucca yang begitu terkejut dengan kondisinya malam itu? "Well, Abigail, secepat itu kau mendapatkan sekutu. Air matamu sepertinya berguna juga—" Lucca buka suara,sindirannya terasa menu
Abigail diam memandangi taman di luar dari jendela kamar inapnya setelah Nyonya Carla pulang setengah jam yang lalu setelah melihat keadaannya. Memikirkan permintaannya yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh Abigail. Meski begitu, harapan dalam tatapan matanya membuat Abigail hanya bisa diam dan berdoa semoga ada cara lain bagi beliau berdamai dengan keponakan yang dicintainya tapi terlalu buta untuk melihat karena diselimutii kebencian. Dua hari setelah kedatangan Lucca hari itu, Abigail tidak lagi mendengar kabar darinya. Kata Tuan muda Geovani, besok dia sudah bisa keluar dari rumah sakit dan akan tinggal sementara di hotel sampai Lucca muncul. Krekk.. Abigail menoleh mendengar suara pintu terbuka, melotot kaget saat melihat siapa yang berdiri menjulang di sana dengan senyuman hangatnya. "Dom," pekik Abigail, nampak senang sekali. "Hai." Dom mendekat, menarik Abigail dalam pelukannya yang erat. "Aku kaget sekali saat mendengar kau masuk rumah sakit. Aku nekat pergi dari mansio
"Dom, itu Lucca,” ucapnya dengan suara bergetar. "Aku tahu. Cepat juga pergerakannya." CIITTTTT!! CIITTTTT!! Abigail melihat mobil Lucca dikejauhan banting setir berbalik ke mereka membuat Dom reflek menekan remnya hingga berdecit dan mereka tersentak ke depan. Kedua mobil saling berhadapan meski berjarak cukup jauh. Abigail sudah merasa ketakutan sementara Dom seperti menunggu. Mata Abi membulat kala melihat Lucca keluar membawa senjata api di kedua tangannya dan membidiknya tepat ke arah mobil Dom. "Apa—" suaranya seperti terjepit. "Apa dia mau membunuh kita?" "Mungkin. Baginya nyawa kita ini tidak berharga, Abi." Abigail mencengkram seatbeltnya makin erat. "Apa yang harus kita lakukan?" Ucapnya dengan panik. "ABI, MERUNDUK!!" Teriak Dom. DOR!! "Aaarrgghh!!" Pekik Abi, reflek merunduk dan memegangi kepalanya. DOR!! DOR!! Tembakan yang dilepaskan Lucca memecah spion di sisi Dom, merusak bagian depan dan juga membuat kaca di depan Dom retak terkena beberapa peluru. Seakan
"Selamat datang di San Marino, Abigail." Abigail menatap pemandangan kota kecil di bawah sana dengan takjub setelah mendengar seruan Dom di antara deru suara mesin helikopter yang membawa mereka membelah malam di langit San Marino. Memandangi lampu-lampu rumah penduduk bak permadani yang terhampar indah di sepanjang dataran tinggi. San Marino hanya berukuran 61 meter persegi, menurut panduan wisatawan yang pernah Abigail lihat. Salah satu negara terkecil yang independen dengan undang-undang yang mereka atur sendiri meski latak geografisnya dikelilingi oleh dataran Italia. Negara unik yang tidak memiliki tanah datar dan semua bangunannya berdiri di atas pegunungan dengan permukiman asli yang dibangun dari batu yang berasal dari abad pertengahan. Negara yang tenang dan damai. Tahulah Abi kenapa mereka harus menggunakan helikopter untuk sampai lebih cepat karena negara ini tidak memiliki bandaranya sendiri. "Kita akan segera sampai di landasan Borgo Maggiore dan menginap di rumah ya