"Abigail jelas tidak mau hal itu terjadi. Biar bagaimanapun kalian nampak seperti pasangan yang serasi malam itu. Betulkan Abi?" Ada nada ancaman yang tersirat dikata-kata Lucca membuat Abigail langsung buka suara. "Tuan Bastian, bisa tinggalkan kami berdua?" Lucca memaikkan dagunya dengan senyuman miring, Bastian jelas menolak. "Tapi—" "Please.” Bastian bergeming, melihat tatapan memohon Abigail untuk sesaat kemudian menghunuskan tatapan tajamnya ke Lucca. "Berteriaklah jika dia melukaimu. Aku ada di luar," ucapnya. "Terima kasih." Bastian mengusap kepala Abigail lembut, melayangkan tatapan ancaman ke Lucca dan berbalik pergi meninggalkan mereka berdua. Setelahnya hanya ada keheningan yang menyesakkan bagi abigail yang diam sembari meremas selimut rumah sakit. Apakah dia salah menilai tatapan Lucca yang begitu terkejut dengan kondisinya malam itu? "Well, Abigail, secepat itu kau mendapatkan sekutu. Air matamu sepertinya berguna juga—" Lucca buka suara,sindirannya terasa menu
Abigail diam memandangi taman di luar dari jendela kamar inapnya setelah Nyonya Carla pulang setengah jam yang lalu setelah melihat keadaannya. Memikirkan permintaannya yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh Abigail. Meski begitu, harapan dalam tatapan matanya membuat Abigail hanya bisa diam dan berdoa semoga ada cara lain bagi beliau berdamai dengan keponakan yang dicintainya tapi terlalu buta untuk melihat karena diselimutii kebencian. Dua hari setelah kedatangan Lucca hari itu, Abigail tidak lagi mendengar kabar darinya. Kata Tuan muda Geovani, besok dia sudah bisa keluar dari rumah sakit dan akan tinggal sementara di hotel sampai Lucca muncul. Krekk.. Abigail menoleh mendengar suara pintu terbuka, melotot kaget saat melihat siapa yang berdiri menjulang di sana dengan senyuman hangatnya. "Dom," pekik Abigail, nampak senang sekali. "Hai." Dom mendekat, menarik Abigail dalam pelukannya yang erat. "Aku kaget sekali saat mendengar kau masuk rumah sakit. Aku nekat pergi dari mansio
"Dom, itu Lucca,” ucapnya dengan suara bergetar. "Aku tahu. Cepat juga pergerakannya." CIITTTTT!! CIITTTTT!! Abigail melihat mobil Lucca dikejauhan banting setir berbalik ke mereka membuat Dom reflek menekan remnya hingga berdecit dan mereka tersentak ke depan. Kedua mobil saling berhadapan meski berjarak cukup jauh. Abigail sudah merasa ketakutan sementara Dom seperti menunggu. Mata Abi membulat kala melihat Lucca keluar membawa senjata api di kedua tangannya dan membidiknya tepat ke arah mobil Dom. "Apa—" suaranya seperti terjepit. "Apa dia mau membunuh kita?" "Mungkin. Baginya nyawa kita ini tidak berharga, Abi." Abigail mencengkram seatbeltnya makin erat. "Apa yang harus kita lakukan?" Ucapnya dengan panik. "ABI, MERUNDUK!!" Teriak Dom. DOR!! "Aaarrgghh!!" Pekik Abi, reflek merunduk dan memegangi kepalanya. DOR!! DOR!! Tembakan yang dilepaskan Lucca memecah spion di sisi Dom, merusak bagian depan dan juga membuat kaca di depan Dom retak terkena beberapa peluru. Seakan
"Selamat datang di San Marino, Abigail." Abigail menatap pemandangan kota kecil di bawah sana dengan takjub setelah mendengar seruan Dom di antara deru suara mesin helikopter yang membawa mereka membelah malam di langit San Marino. Memandangi lampu-lampu rumah penduduk bak permadani yang terhampar indah di sepanjang dataran tinggi. San Marino hanya berukuran 61 meter persegi, menurut panduan wisatawan yang pernah Abigail lihat. Salah satu negara terkecil yang independen dengan undang-undang yang mereka atur sendiri meski latak geografisnya dikelilingi oleh dataran Italia. Negara unik yang tidak memiliki tanah datar dan semua bangunannya berdiri di atas pegunungan dengan permukiman asli yang dibangun dari batu yang berasal dari abad pertengahan. Negara yang tenang dan damai. Tahulah Abi kenapa mereka harus menggunakan helikopter untuk sampai lebih cepat karena negara ini tidak memiliki bandaranya sendiri. "Kita akan segera sampai di landasan Borgo Maggiore dan menginap di rumah ya
Dom mendekat, duduk di sampingnya dan mengelus puncak kepalanya, menenangkan, "Aku akan melindungimu apapun yang terjadi tidak peduli jika aku yang harus mati. Kau tidak seharusnya masuk dalam kehidupan kelam seperti ini. Kau harus memiliki kehidupan yang lebih baik jauh dari semua hal menakutkan. Kau percaya padaku kan?" Tatapan Dom begitu lembut, terlihat begitu bisa dipercaya membuat Abigail tanpa sadar mengangguk hingga menciptakan seulas senyuman hangat di wajah Dom. "Tentu saja aku percaya padamu karena saat ini aku bergantung padamu, Dom." "Tapi aku tidak mau kau menganggapku seperti orang asing yang membuatmu tidak nyaman," lirih Dom. "Tidak!" sela Abigail, teringat dengan sikapnya yang menghindar tadi. "Bukan seperti itu." "Apa yang harus aku lakukan agar kau merasa nyaman padaku?" Abigail terdiam, melihat kesungguhan itu di mata Dom dan menghela napas. Meski ada keraguan tapi dia tidak mau Dom bersedih. Biar bagaimanapun, lelaki itu sudah melakukan hal sampai sejauh i
Hampir seminggu, Abigail dan Dom hidup di San Marino selayaknya orang normal meski mereka harus selalu waspada.Di sekitar penjuru rumah, Dom menyuruh beberapa penjaga mengawasi penuh. Abigail tidak tahu dari mana semua orang-orang itu dan siapa yang berada di belakang Dom hingga dia nampak tenang-tenang saja meski nyawa mereka terancam seakan-akan bantuan akan selalu datang untuknya entah dari mana.Abigail tidak pernah sekalipun bertanya tapi malam ini ketika besoknya mereka akan pergi menjauh dari dataran Italia, Abigail tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dom seperti memiliki koneksi kuat dengan seseorang yang membantunya kabur dari Lucca. Abigail yakin selalu ada alasan terselubung di baliknya."Dom...""Hmm."Abigail menoleh ke samping, jalan bersisian bersama Dom di jalanan San Marino yang lenggang saling bergandengan tangan setelah makan malam di salah satu restoran karena besok mereka sudah harus pergi. Selama seminggu ini, Dom memperlakukannya begitu baik hingga Abigail me
"Artur," pekik Abigail saat melihat lelaki berpakaian hitam dengan jubah panjang itu adalah Artur yang tersenyum padanya."Nona Abigail..." tubuhnya membungkuk, memberi hormat. "Syukurlah jika anda baik-baik saja.""Kau lolos dari Lucca?" tanya Dom."Apa kau terluka, Artur?" tanya Abigail, khawatir. Memperhatikan lekat sosok Artur yang nampak baik-baik saja."Saat saya membantu kalian melarikan diri hari itu, tuan Lucca berhasil menembak bahu saya dan saya melarikan diri untuk mencari penyembuhan. Saya baru bisa menyusul ke sini hari ini. Syukurlah kalian belum pergi lagi.""Sekalipun kita akan pergi, itu tidak ada urusannya denganmu!" bentak Dom."Dom, jangan berkata seperti itu padanya. Dia juga membantu kita."Dom berdecak, "Aku tidak bisa mempercayai orang lain Abi, terlebih itu salah satu anak buah Lucca meskipun dia memang membantu kita saat itu."Artur mendekat, memandangi Abigail lekat dan tersenyum meneduhkan lalu menatap tajam Dom, " Saya tidak peduli dengan apapun pendapat
"Shit!!" desis Dom. "Mereka memang mengincar kita untuk dilenyapkan.""Artur, beri kami jalan untuk sampai ke mobil. Ada helikopter yang sudah menunggu di Borgo Maggiore," perintah Dom."Baiklah."Sampai di samping rumah, suara tembakan terdengar lagi tapi kali ini begitu dekat. Beberapa kali Artur dan Dom melepaskan peluru mereka hingga beberapa orang berpakaian hitam tumbang begitu saja. Abigail hanya bisa ketakutan di antara keduanya yang menariknya pergi dengan linangan air mata.DOR!!"Itu Serafine."Abigail sontak melihat ke mana arah pandangan Artur dan terbelalak melihat Serafine yang berada cukup jauh dari mereka sedang melawan anak buah Dom."Habisi dia, Artur!!" desis Dom, saat mereka semakin mendekati mobil."Kau pikir aku tidak berniat melakukan hal itu," balas Artur sengit, menembak ke arah Serafine tapi tidak pernah berhasil melukainya. "Dia memiliki kemampuan menghindar yang luar biasa.""Tapi dia tetaplah wanita!!""Kalau kau begitu yakin bisa mengenainya, kenapa tida