"Selamat datang di San Marino, Abigail." Abigail menatap pemandangan kota kecil di bawah sana dengan takjub setelah mendengar seruan Dom di antara deru suara mesin helikopter yang membawa mereka membelah malam di langit San Marino. Memandangi lampu-lampu rumah penduduk bak permadani yang terhampar indah di sepanjang dataran tinggi. San Marino hanya berukuran 61 meter persegi, menurut panduan wisatawan yang pernah Abigail lihat. Salah satu negara terkecil yang independen dengan undang-undang yang mereka atur sendiri meski latak geografisnya dikelilingi oleh dataran Italia. Negara unik yang tidak memiliki tanah datar dan semua bangunannya berdiri di atas pegunungan dengan permukiman asli yang dibangun dari batu yang berasal dari abad pertengahan. Negara yang tenang dan damai. Tahulah Abi kenapa mereka harus menggunakan helikopter untuk sampai lebih cepat karena negara ini tidak memiliki bandaranya sendiri. "Kita akan segera sampai di landasan Borgo Maggiore dan menginap di rumah ya
Dom mendekat, duduk di sampingnya dan mengelus puncak kepalanya, menenangkan, "Aku akan melindungimu apapun yang terjadi tidak peduli jika aku yang harus mati. Kau tidak seharusnya masuk dalam kehidupan kelam seperti ini. Kau harus memiliki kehidupan yang lebih baik jauh dari semua hal menakutkan. Kau percaya padaku kan?" Tatapan Dom begitu lembut, terlihat begitu bisa dipercaya membuat Abigail tanpa sadar mengangguk hingga menciptakan seulas senyuman hangat di wajah Dom. "Tentu saja aku percaya padamu karena saat ini aku bergantung padamu, Dom." "Tapi aku tidak mau kau menganggapku seperti orang asing yang membuatmu tidak nyaman," lirih Dom. "Tidak!" sela Abigail, teringat dengan sikapnya yang menghindar tadi. "Bukan seperti itu." "Apa yang harus aku lakukan agar kau merasa nyaman padaku?" Abigail terdiam, melihat kesungguhan itu di mata Dom dan menghela napas. Meski ada keraguan tapi dia tidak mau Dom bersedih. Biar bagaimanapun, lelaki itu sudah melakukan hal sampai sejauh i
Hampir seminggu, Abigail dan Dom hidup di San Marino selayaknya orang normal meski mereka harus selalu waspada.Di sekitar penjuru rumah, Dom menyuruh beberapa penjaga mengawasi penuh. Abigail tidak tahu dari mana semua orang-orang itu dan siapa yang berada di belakang Dom hingga dia nampak tenang-tenang saja meski nyawa mereka terancam seakan-akan bantuan akan selalu datang untuknya entah dari mana.Abigail tidak pernah sekalipun bertanya tapi malam ini ketika besoknya mereka akan pergi menjauh dari dataran Italia, Abigail tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dom seperti memiliki koneksi kuat dengan seseorang yang membantunya kabur dari Lucca. Abigail yakin selalu ada alasan terselubung di baliknya."Dom...""Hmm."Abigail menoleh ke samping, jalan bersisian bersama Dom di jalanan San Marino yang lenggang saling bergandengan tangan setelah makan malam di salah satu restoran karena besok mereka sudah harus pergi. Selama seminggu ini, Dom memperlakukannya begitu baik hingga Abigail me
"Artur," pekik Abigail saat melihat lelaki berpakaian hitam dengan jubah panjang itu adalah Artur yang tersenyum padanya."Nona Abigail..." tubuhnya membungkuk, memberi hormat. "Syukurlah jika anda baik-baik saja.""Kau lolos dari Lucca?" tanya Dom."Apa kau terluka, Artur?" tanya Abigail, khawatir. Memperhatikan lekat sosok Artur yang nampak baik-baik saja."Saat saya membantu kalian melarikan diri hari itu, tuan Lucca berhasil menembak bahu saya dan saya melarikan diri untuk mencari penyembuhan. Saya baru bisa menyusul ke sini hari ini. Syukurlah kalian belum pergi lagi.""Sekalipun kita akan pergi, itu tidak ada urusannya denganmu!" bentak Dom."Dom, jangan berkata seperti itu padanya. Dia juga membantu kita."Dom berdecak, "Aku tidak bisa mempercayai orang lain Abi, terlebih itu salah satu anak buah Lucca meskipun dia memang membantu kita saat itu."Artur mendekat, memandangi Abigail lekat dan tersenyum meneduhkan lalu menatap tajam Dom, " Saya tidak peduli dengan apapun pendapat
"Shit!!" desis Dom. "Mereka memang mengincar kita untuk dilenyapkan.""Artur, beri kami jalan untuk sampai ke mobil. Ada helikopter yang sudah menunggu di Borgo Maggiore," perintah Dom."Baiklah."Sampai di samping rumah, suara tembakan terdengar lagi tapi kali ini begitu dekat. Beberapa kali Artur dan Dom melepaskan peluru mereka hingga beberapa orang berpakaian hitam tumbang begitu saja. Abigail hanya bisa ketakutan di antara keduanya yang menariknya pergi dengan linangan air mata.DOR!!"Itu Serafine."Abigail sontak melihat ke mana arah pandangan Artur dan terbelalak melihat Serafine yang berada cukup jauh dari mereka sedang melawan anak buah Dom."Habisi dia, Artur!!" desis Dom, saat mereka semakin mendekati mobil."Kau pikir aku tidak berniat melakukan hal itu," balas Artur sengit, menembak ke arah Serafine tapi tidak pernah berhasil melukainya. "Dia memiliki kemampuan menghindar yang luar biasa.""Tapi dia tetaplah wanita!!""Kalau kau begitu yakin bisa mengenainya, kenapa tida
Byurrrr...Abigail terkesiap kaget setelah merasakan siraman air di wajahnya dalam jumlah banyak. Memaksanya bangun dan menyadari sesuatu yang aneh sedang terjadi. Pundak belakangnya terasa sakit akibat hantaman seseorang. Dikerjapkan matanya berkali-kali untuk bisa melihat area sekitar saat tawa yang terdengar penuh ejekan itu menggema, memaksanya untuk sadar. Membuatnya menyadari tangannya terbelenggu oleh sesuatu dan dia duduk beralaskan lantai dingin dengan kedua kaki terlipat."Bangun, wanita jalang!!"Jambakannya terasa menyakitkan, seringaiannya begitu licik, memaksa wajah mereka saling berhadapan. Ada keterkejutan yang nyata di mata Abigail meski wanita yang berada begitu dekat dengannya ini nampak begitu senang."Kenapa kau melotot begitu padaku, hmm?" Cengkramannya makin kuat, terasa menyakitkan meski rasa bingung lebih dominan Abigail rasakan. "Tidak menyangka kalau aku akan berada di sini?"Satu-satunya hal yang bisa dipikirkan Abigail hanyalah, apakah dia tertangkap dan
Dua Minggu kemudian,Entah kenapa, dia masih hidup dan bernapas sampai detik ini meski rasanya penderitaannya tidak ada habisnya. Kendra benar-benar menyiksanya habis-habisan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mungkin dia memang harus pasrah menunggu kematian seperti yang selalu dikatakan Kendra untuk menakutinya."Kau terlihat berantakan."Abigail sontak mengangkat kepalanya dengan susah payah saat mendengar seruan seseorang yang sangat dikenalnya itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggema di dalam kepalanya meski yang dia lakukan saat ini hanya bergeming memandangi lelaki yang duduk di sofa merah maroon tidak jauh darinya sembari menyesap sebotol vodca dan memandanginya dengan tatapan yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukan tatapan hangat penuh janji manis menggiurkan yang dulu diberikan."Kau—" Abigail menelan salivanya dengan susah payah, berusaha untuk berbicara meski tenggorokannya terasa sakit. "Ternyata ka
Abigail mengeryit, Dom mengalihkan tatapannya ke arah lain dan diam memandangi sesuatu seperti sedang melamun."Malam itu di acara pesta Tuan muda Geovani, aku mengutus seseorang untuk menyelinap dan memberimu racun. Meski dosis kecil yang tidak akan sampai membunuhmu, tapi aku sangat ingin melihat reaksinya." Dom kembali menatapnya. "Hasilnya fantastis dan semakin menguatkan dugaanku. Lucca tanpa menyadari kekalutannya, yang sebelumnya mati-matian menghindarimu tanpa pikir panjang langsung menghampirimu. Kalau saja dia tidak melihat anak buahku yang lari, mungkin dia sendiri yang akan membawamu ke rumah sakit. Apa kau tahu kenapa dia menghilang setelah malam itu?" Abigail tercengang. "Dia memburu anak buahku sampai mendapatkannya, seperti srigala yang marah karena matenya terluka, memaksanya untuk berbicara dan berakhir membunuhnya dengan sadis karena tidak mendapatkan informasi apapun." Dom tersenyum miring. "Itulah yang disebut dengan kemarahan karena mencintai seseorang. Dia lebih