Dua Minggu kemudian,Entah kenapa, dia masih hidup dan bernapas sampai detik ini meski rasanya penderitaannya tidak ada habisnya. Kendra benar-benar menyiksanya habis-habisan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Mungkin dia memang harus pasrah menunggu kematian seperti yang selalu dikatakan Kendra untuk menakutinya."Kau terlihat berantakan."Abigail sontak mengangkat kepalanya dengan susah payah saat mendengar seruan seseorang yang sangat dikenalnya itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggema di dalam kepalanya meski yang dia lakukan saat ini hanya bergeming memandangi lelaki yang duduk di sofa merah maroon tidak jauh darinya sembari menyesap sebotol vodca dan memandanginya dengan tatapan yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukan tatapan hangat penuh janji manis menggiurkan yang dulu diberikan."Kau—" Abigail menelan salivanya dengan susah payah, berusaha untuk berbicara meski tenggorokannya terasa sakit. "Ternyata ka
Abigail mengeryit, Dom mengalihkan tatapannya ke arah lain dan diam memandangi sesuatu seperti sedang melamun."Malam itu di acara pesta Tuan muda Geovani, aku mengutus seseorang untuk menyelinap dan memberimu racun. Meski dosis kecil yang tidak akan sampai membunuhmu, tapi aku sangat ingin melihat reaksinya." Dom kembali menatapnya. "Hasilnya fantastis dan semakin menguatkan dugaanku. Lucca tanpa menyadari kekalutannya, yang sebelumnya mati-matian menghindarimu tanpa pikir panjang langsung menghampirimu. Kalau saja dia tidak melihat anak buahku yang lari, mungkin dia sendiri yang akan membawamu ke rumah sakit. Apa kau tahu kenapa dia menghilang setelah malam itu?" Abigail tercengang. "Dia memburu anak buahku sampai mendapatkannya, seperti srigala yang marah karena matenya terluka, memaksanya untuk berbicara dan berakhir membunuhnya dengan sadis karena tidak mendapatkan informasi apapun." Dom tersenyum miring. "Itulah yang disebut dengan kemarahan karena mencintai seseorang. Dia lebih
"Kau—" Abigail berlinang air mata. "Membiarkan Lucca membunuhnya?" Dom memalingkan wajah, di tegaknya vodkanya sampai habis tak bersisa dan membuangnya dengan kuat hingga membentur dinding dan pecah di lantai. Dom nampak penuh penyesalan dan menderita. "BAJINGAN LUCCA!!" teriaknya sarat putus asa. Abigail tidak sanggup berkata-kata. Pantas saja saat mereka bergelantungan di pinggir tebing, Brianna sama sekali tidak melihat ke arah Lucca tapi ke arahnya... atau lebihnya ke arah Dom yang menarik tangannya. Memberikan senyuman terakhirnya untuk lelaki yang dicintainya sampai akhir dan jatuh ke lautan luas bersama dengan perjuangan mereka yang sia-sia. Tatapan dan senyuman itu untuk Dom. Abigail benar-benar tidak berpikir sampai sejauh itu. "Kau—" Tiba-tiba Dom mencengkram dagunya dengan kuat hingga Abigail harus menahan rasa sakitnya. Tatapan kebencian itu menyelimuti matanya "Kau harus membantuku mendapatkan kebebasan atau perjuangan kekasihku akan sia-sia. Aku tidak mau kematianny
Serafine yang juga sempat terhempas, bangkit dan loncat dari atas untuk sampai ke bawah dan mendekati Dom yang tergeletak begitu saja lalu menekan kepalanya dengan kaki, nampak tidak berdaya. Namun dari semua itu, kedatangan sosok Lucca Alonzo yang memakai kaca mata hitam dan membawa senjata besar di punggung bersama anak buahnya yang langsung menyebar membuat Abigail tercengang. "Semuanya terkendali, Tuan," ucap serafine. Dom bergerak-gerak di bawah kakinya dan berdesis, "Sialan kau Lucca Alonzo!!" Lucca alonzo tersenyum miring, tidak sekalipun menatapnya, melempar senjata yang dia bawa ke salah satu bawahannya seraya mendekat ke Dom lalu menendang wajahnya hingga terlentang dan menginjak dadanya sembari merapikan jaketnya. "Kau bernyali juga, Dom. Kau pasti sudah tahu kalau aku selalu bisa membaca pergerakanmu tapi kenapa kau begitu nekat melakukan semua ini. Sampai harus melarikan diri ke Maroko seperti ini. Sudah bagus aku memeliharamu di mansion dan memberikan kehidupan yang
Abigail sama sekali tidak mengenali siapa lelaki yang berdiri dengan senyuman angkuh di atas sana selain namanya, Artur. Seseorang yang pernah dia selamatkan dari kemarahan Lucca, hingga dia berikrar akan menjadi penjaga Abigail dan itu memang dia buktikan beberapa kali dengan pernah menolongnya hingga harus melawan keinginan Tuannya. Bagi Abigail, lelaki itu dia anggap seperti teman. Memberikan sedikit rasa tenang di hatinya juga rasa percaya bahwa dalam dunia mafia, masih ada yang memiliki kebaikan hati berlandaskan balas budi meski nyawa taruhannya.Namun apa yang Abigail lihat saat ini, juga kenyataan mengejutkan tentang motif Dom sesungguhnya, seharusnya Abigail tidak boleh mempercayai siapapun. Tatapan arogan, dagu yang terangkat angkuh, sikap permusuhan yang terlihat, aura kepemimpinan yang nyata, sikap menantang yang frontal, tidak memiliki rasa takut terhadap The Black Rose dan memiliki tujuan yang terpampang jelas sangat berbeda dengan Artur yang pernah dikenalnya yang di
DOR!DOR!DOR!Artur membidik Lucca yang sigap menghindar. Masing-masing anak buah mereka saling menembak dan melumpuhkan beberapa. Namun anak buah Lucca dengan cepat bisa di atasi. Yang tertinggal hanya Lucca seorang yang berkelahi dengan anak buah Artur. "Lemahkan dia!!!" Perintah Artur ke lima anak buahnya yang masih tersisa dan maju mengitari Lucca sementara dia sendiri mundur dari medan perang dan menunggu."Kenapa tidak kau saja yang melakukannya sendiri, hmm?" Lucca masih nampak begitu kuat, bahkan berani menantang Artur padahal dia hanya sendirian. Abigail hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa takutnya sendiri."Aku memiliki anak buah yang terlatih di sini, untuk apa aku mengotori tanganku. Kita akan bertemu sebentar lagi—" ucapnya dengan seringaian iblis. "Diujung nyawamu.""Pengecut!” decih Lucca sebelum menghajar dua lelaki berjubah yang bergerak mendekat. Gerakan kaki dan tangannya selaras, lincah menghindar dan memberi pukulan untuk keduanya. Abigail melihat dengan
"Cepat lemahkan pertahanannya," perintah Artur. Abigail sekarang mengerti apa yang Artur tunggu sejak tadi, jika Lucca sudah tidak sanggup membalas lagi, maka itulah waktunya Artur untuk memberikan sentuhan terakhir, yaitu membunuh Lucca."Go to hell....." desis Lucca. Maju menyerang yang paling dekat, dengan sisa-sisa kekuatannya dia menghindari serangan lawan yang memegang pisau hingga melihat sebuah tembakan yang tergeletak di antara mereka. Dengan gerakan cepat dia maju tanpa gentar, begitu juga penyerangnya yang mengacungkan pisau dan berakhir saling bertabrakan hingga Lucca terhempas ke belakang bersama lelaki itu di atasnya.Abigail ternganga, tidak tahu siapa yang akhirnya terluka karena tidak bisa melihatnya dengan jelas sampai ceceran darah seseorang tergenang di lantai. Artur bahkan ikut berdiri tegak, memperhatikan dengan seksama. Keduanya sama-sama belum bergerak bangun karena Lucca sendiri terlihat kesakitan. Napasnya naik turun tidak beraturan membuat Abigail ketakutan
Setelah menghabisi semua musuhnya tanpa ampun dan belas kasihan, Lucca mengarahkan tatapan bengisnya ke Abigail yang ketakutan. Salahnya karena mempercayai Dom yang ingin membalaskan dendam dan menjadi umpan untuk menjebak Lucca. Wajar saja kalau lelaki itu marah besar. Meski seharusnya Lucca tidak perlu datang hingga mendapat luka tembak, luka tikam dan juga pukulan menyakitkan yang membuat kepala, tangan dan kakinya berdarah. Abigail mengatupkan bibir, menatap mata Lucca dengan linangan air mata, begitu sedih melihat keadaannya. Meski berjalan agak sempoyongan, lelaki itu tetap mendekat dan berdiri tidak jauh di depannya masih dengan senjata api di tangan. Abigail harus mendongak untuk melihat wajahnya lebih jelas, terlihat begitu murka dan menakutkan. Terbelalak saat Lucca mengarahkan mata pistolnya ke kepala. Apakah ini saatnya dia mati? Abigail tidak tahan melihat mata merah yang begitu dingin itu dan memilih menundukkan pandangan seraya memejamkan mata. "Aku akan selalu mend