Setelah menghabisi semua musuhnya tanpa ampun dan belas kasihan, Lucca mengarahkan tatapan bengisnya ke Abigail yang ketakutan. Salahnya karena mempercayai Dom yang ingin membalaskan dendam dan menjadi umpan untuk menjebak Lucca. Wajar saja kalau lelaki itu marah besar. Meski seharusnya Lucca tidak perlu datang hingga mendapat luka tembak, luka tikam dan juga pukulan menyakitkan yang membuat kepala, tangan dan kakinya berdarah. Abigail mengatupkan bibir, menatap mata Lucca dengan linangan air mata, begitu sedih melihat keadaannya. Meski berjalan agak sempoyongan, lelaki itu tetap mendekat dan berdiri tidak jauh di depannya masih dengan senjata api di tangan. Abigail harus mendongak untuk melihat wajahnya lebih jelas, terlihat begitu murka dan menakutkan. Terbelalak saat Lucca mengarahkan mata pistolnya ke kepala. Apakah ini saatnya dia mati? Abigail tidak tahan melihat mata merah yang begitu dingin itu dan memilih menundukkan pandangan seraya memejamkan mata. "Aku akan selalu mend
Flashback On Lucca POV Roma, Italia Seharusnya mudah saja bagi Lucca untuk melenyapkan Dom saat masih berada di mansionnya. Sejak menjadi tawanan akibat kesepakatan, Lucca tidak pernah mempercayai laki-laki itu sekalipun dia tidak pernah melakukan hal yang membahayakan nyawanya. Namun sikap Dom selama ini justru dianggap Lucca seperti duri dalam daging yang sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman yang mematikan bagi dirinya. Dendam itu pasti ada di dalam hatinya dan Lucca yakin, selama bertahun-tahun, Dom pasti memikirkan cara agar dia bisa bebas darinya dan kembali ke kehidupan mafia yang selama ini telah mengasingkannya. Sama seperti Dom, Lucca juga melihat kesempatan untuk membongkar kedoknya lewat sosok Abigail. Lucunya, pemicu hal itu karena Dom merasa yakin jika Abigail adalah sosok wanita yang berbeda di matanya. Padahal Lucca sama sekali tidak melihatnya seperti itu. Wanita lemah itu tidak boleh mempengaruhi pikirannya. Namun dia biarkan saja Dom mengira jika memang begitulah
Namun di sisi lain, ada kemarahan yang tidak bisa dijelaskan Lucca pada dirinya sendiri hingga sampai memburu lelaki bajingan yang menyamar itu dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Lucca menarik keluar kertasnya dan terdiam membeku. Dibuangnya amplopnya begitu saja dan matanya menyusuri barisan-barisan kalimat yang ada di sana dengan fokus hingga sampai pada hasil diagnosa yang membuat amarahnya menggelegak tanpa bisa dia tahan. "BRENGSEK, DOMINIC!" Tanpa sadar mulutnya memaki begitu saja dengan kedua tangan mengepal penuh amarah hingga membuat kertas hasil pemeriksaan menyeluruh Abigail terlipat menjadi dua. ******* Napoli,Italia "Mereka ada di San Marino." Lucca bergeming mendengar informasi yang diberikan Serafine, duduk di balik meja kerjanya di mansion, menegak whiskeynya tanpa henti sembari mengamati foto-foto yang tersebar di atas mejanya yang sengaja dikirimkan seseorang entah untuk tujuan apa, Foto-foto yang lebih banyak menampilkan wajah Abigail dari berbagai
San Marino, Italia Entah apa yang membawa kakinya sampai ke San Marino sendirian tanpa anak buahnya mengetahui, bahkan Serafine yang dia utus untuk menangkap Dom juga Abigail. Meski rumah besar di puncak bukit itu berpengawal cukup banyak, mudah saja bagi Lucca untuk sampai di balkon salah satu kamar yang rencananya akan dia gunakan untuk masuk dan mengintai. Dia sendiri tidak tahu apa tujuan dia melakukan hal itu tapi saat mendapatkan kembali akal sehatnya, dia sudah berada begitu dekat dengan tempat di mana Abigail berada. Dia berada di persimpangan yang mengharuskan dia memilih. Akal sehatnya atau perasaan tidak diundang yang entah sejak kapan muncul di dalam dirinya. Meski pada akhirnya, setelah perang batin yang membuatnya seperti lelaki lemah, saat mengetahui Serafine sudah dekat, tubuhnya sudah berada di balik salah satu pintu balkon. Batapa ironis dan menyedihkannya dirinya yang tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya sendiri. Lucca bergeming di balik
Dua minggu kemudian, Napoli, Italia "Tuan..." "Aku tidak mau mendengar berita apapun tentang Abigail!" Serafine bungkam saat Lucca menatapnya tajam penuh ancaman agar tidak meneruskan laporannya. Setelah dari San Marino dan menyadari ada yang salah dengan dirinya, Lucca memilih untuk tidak mempedulikan apapun. Lebih tepatnya, berusaha untuk menganggap Abigail bukanlah siapa-siapa. Dia tidak mau dipengaruhi tanpa sadar seperti waktu itu hingga membuatnya melakukan hal-hal yang menentang akal sehatnya. "Dimana Dom?" "Maroko." Lucca menghempaskan tubuhnya di kursi besarnya dengan tangan saling terkait di depan dada. "Kau sudah tahu siapa sekutu yang membantunya?" "Belum. Kendra menghilang dari mansion dan mata-mata kita mengatakan jika dia bersama dengan Dom." "Bunuh wanita itu jika kau bertemu dengannya di sana. Dia sama penjahatnya dengan mereka," sela Lucca. "Baik Tuan." "Lalu, dimana Artur?" "Belum ada informasi apapun. Dia menghilang sejak di San Marino dan tidak ikut den
Lucca memenjamkan mata, membiarkan Rosetta mendominasi permainan mereka. Mengecupi leher dan dadanya dengan sensual dan penuh gairah. Seharusnya hal itu mampu membuat Lucca menghilangkan segala pikirannya dan menikmati permainan sampai akhir. Namun sekarang berbeda... Dalam pandangannya yang gelap, Lucca melihat seraut wajah yang tersenyum bahagia. Senyuman yang seketika membuat hatinya menghangat dan jiwanya bergejolak ingin memeluk wanita itu dan membawanya pergi untuk dirinya sendiri. Lucca mencoba menggapainya namun wanita itu menjauh, menggenggam tangan seseorang yang lain tanpa sekalipun menghiraukannya dan berbalik pergi begitu saja. Sesuatu yang menyakitkan itu menggoresnya tanpa ampun. Perih yang tidak menimbulkan darah tapi membuat tubuhnya mati rasa. Dia tidak rela wanita itu tidak bisa menjadi miliknya. Tanpa sadar Lucca mendorong Rosetta menjauh hingga membuatnya terkejut. "Tuan...." Wanita itu nampak terluka dengan penolakannya tapi Lucca tidak mempedulikannya da
Beberapa amplop di atas mejanya mengganggu pikirannya. Seharusnya Serafine tahu jika dia tidak mau melihat apapun foto yang dikirimkan oleh bajingan itu untuk memprovokasinya. Tidak peduli mungkin di dalam sana, Abigail tengah tersenyum suka cita sembari menggandeng tangan Dom. Diabaikannya begitu saja amplop itu dan duduk di balik meja kerjanya. Sudah beberapa hari, Lucca mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tidak boleh membiarkan diirnya jatuh hati pada siapapun karena itu bisa membuat pertahanannya melemah karena yang akan dia pedulikan bukan lagi tentang keselamatannya tapi wanita yang dicintainya dan bersedia mati bahkan berkorban untuknya. Lucca mencoba mengenyahkan perkataan Rosetta malam itu yang menganggu pikirannya dan mulai sibuk kembali dengan beberapa urusan yang belum diselesaikan sampai dia menemukan satu foto tercecer di tumpukan berkasnya dalam keadaan terbalik. Lucca menggeram marah, terlebih saat melihat tulisan Dom di belakang foto itu. Lihatnya wajah w
Lucca mengamatinya seksama. Memberinya kesempatan untuk balik memandangi Lucca dan melihat kalau lelaki itu baik-baik saja meski bekas memar di wajahnya masih terlihat. Diarahkan tatapannya ke tubuh Lucca dan melihat dari sela-sela kaos hitam yang dikenakannya ada perban yang melingkar di bahunya akibat luka tembak. Tanpa bisa dicegah, tangannya terulur sendiri menyentuh permukaan perban itu dengan sangat hati-hati dan meringis seperti bisa ikut merasakan peluru itu menembus lapisan kulitnya hingga tidak menyadari Lucca menikmati ekspresi khawatirnya. "Panggilkan dokter Alice kemari," ucapnya pada Serafine dan menurunkan ponselnya membuat Abigail tersentak dan menarik tangannya menjauh. Merutuki kebodohannya sendiri. Apa dokter itu yang akan mendapatkan kemarahan Lucca? Pikiran takutnya membuatnya tidak sadar diam saja saat Lucca menarik tangannya hingga terduduk di pangkuan Lucca membuatnya terkejut setengah mati. "Apa yang kau—" "Aku ingin sekali tahu apa yang sedang kau pikirka