Dua minggu kemudian, Napoli, Italia "Tuan..." "Aku tidak mau mendengar berita apapun tentang Abigail!" Serafine bungkam saat Lucca menatapnya tajam penuh ancaman agar tidak meneruskan laporannya. Setelah dari San Marino dan menyadari ada yang salah dengan dirinya, Lucca memilih untuk tidak mempedulikan apapun. Lebih tepatnya, berusaha untuk menganggap Abigail bukanlah siapa-siapa. Dia tidak mau dipengaruhi tanpa sadar seperti waktu itu hingga membuatnya melakukan hal-hal yang menentang akal sehatnya. "Dimana Dom?" "Maroko." Lucca menghempaskan tubuhnya di kursi besarnya dengan tangan saling terkait di depan dada. "Kau sudah tahu siapa sekutu yang membantunya?" "Belum. Kendra menghilang dari mansion dan mata-mata kita mengatakan jika dia bersama dengan Dom." "Bunuh wanita itu jika kau bertemu dengannya di sana. Dia sama penjahatnya dengan mereka," sela Lucca. "Baik Tuan." "Lalu, dimana Artur?" "Belum ada informasi apapun. Dia menghilang sejak di San Marino dan tidak ikut den
Lucca memenjamkan mata, membiarkan Rosetta mendominasi permainan mereka. Mengecupi leher dan dadanya dengan sensual dan penuh gairah. Seharusnya hal itu mampu membuat Lucca menghilangkan segala pikirannya dan menikmati permainan sampai akhir. Namun sekarang berbeda... Dalam pandangannya yang gelap, Lucca melihat seraut wajah yang tersenyum bahagia. Senyuman yang seketika membuat hatinya menghangat dan jiwanya bergejolak ingin memeluk wanita itu dan membawanya pergi untuk dirinya sendiri. Lucca mencoba menggapainya namun wanita itu menjauh, menggenggam tangan seseorang yang lain tanpa sekalipun menghiraukannya dan berbalik pergi begitu saja. Sesuatu yang menyakitkan itu menggoresnya tanpa ampun. Perih yang tidak menimbulkan darah tapi membuat tubuhnya mati rasa. Dia tidak rela wanita itu tidak bisa menjadi miliknya. Tanpa sadar Lucca mendorong Rosetta menjauh hingga membuatnya terkejut. "Tuan...." Wanita itu nampak terluka dengan penolakannya tapi Lucca tidak mempedulikannya da
Beberapa amplop di atas mejanya mengganggu pikirannya. Seharusnya Serafine tahu jika dia tidak mau melihat apapun foto yang dikirimkan oleh bajingan itu untuk memprovokasinya. Tidak peduli mungkin di dalam sana, Abigail tengah tersenyum suka cita sembari menggandeng tangan Dom. Diabaikannya begitu saja amplop itu dan duduk di balik meja kerjanya. Sudah beberapa hari, Lucca mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tidak boleh membiarkan diirnya jatuh hati pada siapapun karena itu bisa membuat pertahanannya melemah karena yang akan dia pedulikan bukan lagi tentang keselamatannya tapi wanita yang dicintainya dan bersedia mati bahkan berkorban untuknya. Lucca mencoba mengenyahkan perkataan Rosetta malam itu yang menganggu pikirannya dan mulai sibuk kembali dengan beberapa urusan yang belum diselesaikan sampai dia menemukan satu foto tercecer di tumpukan berkasnya dalam keadaan terbalik. Lucca menggeram marah, terlebih saat melihat tulisan Dom di belakang foto itu. Lihatnya wajah w
Lucca mengamatinya seksama. Memberinya kesempatan untuk balik memandangi Lucca dan melihat kalau lelaki itu baik-baik saja meski bekas memar di wajahnya masih terlihat. Diarahkan tatapannya ke tubuh Lucca dan melihat dari sela-sela kaos hitam yang dikenakannya ada perban yang melingkar di bahunya akibat luka tembak. Tanpa bisa dicegah, tangannya terulur sendiri menyentuh permukaan perban itu dengan sangat hati-hati dan meringis seperti bisa ikut merasakan peluru itu menembus lapisan kulitnya hingga tidak menyadari Lucca menikmati ekspresi khawatirnya. "Panggilkan dokter Alice kemari," ucapnya pada Serafine dan menurunkan ponselnya membuat Abigail tersentak dan menarik tangannya menjauh. Merutuki kebodohannya sendiri. Apa dokter itu yang akan mendapatkan kemarahan Lucca? Pikiran takutnya membuatnya tidak sadar diam saja saat Lucca menarik tangannya hingga terduduk di pangkuan Lucca membuatnya terkejut setengah mati. "Apa yang kau—" "Aku ingin sekali tahu apa yang sedang kau pikirka
Lucca mengaitkan jemarinya di depan dada, terlihat sekali menikmati ekspresinya yang agak kesal. "Aku hanya akan memiliki satu wanita di mansion, jika kau mau tahu." "Kau akan membunuhnya?" ucapnya spontan, membuat kengerian itu tercetak jelas di wajahnya. "Kau pikir aku sekeji itu membunuhnya tanpa alasan," Lucca menekan kalimatnya membuat Abigail terdiam. "Begitukah menurutmu?" "Lalu bagaimana?" "Tadinya aku akan melepaskannya begitu saja." "Tadinya?" Abigail mengeryit heran. "Dua hari yang lalu aku mendapatkan kabar jika dia melarikan diri dari mansion dan sampai saat ini orangku belum bisa menemukannya." "Apa orang-orang di mansion sudah tahu kalau kita akan menikah?" "Tentu saja belum." Abigail mengatupkan bibirnya, mencoba memikirkan alasan kepergian Rosetta yang diam-diam seperti itu padahal wanita itu sangat mencintai Lucca Alonzo. Kenapa dia kabur begitu saja? Apa alasannya? "Aku tidak tahu alasan dia melakukan hal itu tapi aku akan memberimu pilihan." Abigail menga
"Kalau ini bukan untuk kesehatanmu, aku juga tidak akan mengizinkannya. Lakukan saja!" Kata-kata Lucca tidak bisa dibatah. Abigail merasa heran tapi memiringkan juga tubuhnya dan suster langsung menaikkan sedikit celana pasiennya hingga area pinggulnya terlihat. Abigail memandangi Lucca yang juga sedang memandanginya dan mengeryit saat merasakan jarum itu menembus permukaan kulitnya. "Jika ada keluhan, silahkan panggil saya datang. Semoga anda selalu sehat. Kami permisi." Abigail duduk, masih merasakan nyeri di pinggulnya saat dokter itu mundur dan keluar dari kamarnya. "Siapkan keperluan kita untuk pulang," perintah Lucca pada Serafine sebelum wanita itu juga ikut keluar. "Baik Tuan." "Apa kondisi kesehatanku baik-baik saja?" tanya Abigail, harap-harap cemas. Ekspresi wajah Lucca berubah drastis. Lelaki itu menghela napas dalam, nampak tidak senang dengan sesuatu hal membuat Abigail jadi bertanya-tanya, apakah ada yang serius. "Kau baik-baik saja meskipun efek racun dan juga l
Seminggu kemudian, Mansion Alonzo, Napoli, Italia Tidak pernah terbayangkan dalam benak Abigail akan sampai di titik ini, di mana pernikahannya sudah berada di depan mata setelah semua hal tidak mengenakkan yang dia alami dan sebentar lagi harus mengucap janji setia selamanya dengan lelaki yang bukan berasal dari kalangan biasa. Setiap wanita pasti memimpikan bagaimana pernikahannya akan terlaksana. Lelaki yang mencintainya, keluarga yang datang untuk mendoakan, gaun pengantin berwarna putih yang mengembang cantik, sahabat yang selalu ada untuk mendukung, dekorasi yang menakjubkan dan perasaan bahagia tidak terkira. Begitu juga dengan Abigail yang harus membuang semua bayangan itu dalam sekejap. Abigail memegang kuat buket bunga cantik di tangannya perpaduan antara mawar hitam dan putih yang dihiasi dengan emas di setiap sisinya. Berdiri tidak jauh di depan pintu masuk kapel mansion Lucca Alonzo yang di hias dengan perpaduan serupa, dihiasi mawar putih. Tidak menyangka jika Lu
Abigail tersenyum saat Lucca selesai memainkan lagunya. Berjalan mendekat dengan tatapan intens dan berhenti di depan altar menghadapnya. "Kau harus mengingat apa yang aku lakukan tadi karena aku tidak akan lagi mengulanginya untuk yang kedua kali." Abigail mengusap air matanya sembari tersenyum lucu. Menahan napas saat Lucca berjalan mendekat. "Anggap saja ini untuk mengganti lamaranku yang tidak sesuai dengan keinginanmu." Abigail mengangguk membuat Lucca tersenyum dan berdiri tepat di depannya. "Mungkin selamanya, aku akan berada di sisi yang gelap karena begitulah takdirku sementara kau, akan selalu aku jaga agar tetap bersinar meski aku sudah mematahkan sayapmu, menahanmu di sini dan bergantung padaku. Gaun hitam dibalik gaun putihmu ini sebagai lambang kalau kau bersedia bersamaku, menjadi penyeimbang. Hidupku sekarang adalah kau, Abigail." Lucca mundur dan mengulurkan tangannya, "Menikahlah denganku." Abigail mengulurkan tangannya tanpa keraguan, Lucca tersenyum dan membaw
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj