Seminggu kemudian, Mansion Alonzo, Napoli, Italia Tidak pernah terbayangkan dalam benak Abigail akan sampai di titik ini, di mana pernikahannya sudah berada di depan mata setelah semua hal tidak mengenakkan yang dia alami dan sebentar lagi harus mengucap janji setia selamanya dengan lelaki yang bukan berasal dari kalangan biasa. Setiap wanita pasti memimpikan bagaimana pernikahannya akan terlaksana. Lelaki yang mencintainya, keluarga yang datang untuk mendoakan, gaun pengantin berwarna putih yang mengembang cantik, sahabat yang selalu ada untuk mendukung, dekorasi yang menakjubkan dan perasaan bahagia tidak terkira. Begitu juga dengan Abigail yang harus membuang semua bayangan itu dalam sekejap. Abigail memegang kuat buket bunga cantik di tangannya perpaduan antara mawar hitam dan putih yang dihiasi dengan emas di setiap sisinya. Berdiri tidak jauh di depan pintu masuk kapel mansion Lucca Alonzo yang di hias dengan perpaduan serupa, dihiasi mawar putih. Tidak menyangka jika Lu
Abigail tersenyum saat Lucca selesai memainkan lagunya. Berjalan mendekat dengan tatapan intens dan berhenti di depan altar menghadapnya. "Kau harus mengingat apa yang aku lakukan tadi karena aku tidak akan lagi mengulanginya untuk yang kedua kali." Abigail mengusap air matanya sembari tersenyum lucu. Menahan napas saat Lucca berjalan mendekat. "Anggap saja ini untuk mengganti lamaranku yang tidak sesuai dengan keinginanmu." Abigail mengangguk membuat Lucca tersenyum dan berdiri tepat di depannya. "Mungkin selamanya, aku akan berada di sisi yang gelap karena begitulah takdirku sementara kau, akan selalu aku jaga agar tetap bersinar meski aku sudah mematahkan sayapmu, menahanmu di sini dan bergantung padaku. Gaun hitam dibalik gaun putihmu ini sebagai lambang kalau kau bersedia bersamaku, menjadi penyeimbang. Hidupku sekarang adalah kau, Abigail." Lucca mundur dan mengulurkan tangannya, "Menikahlah denganku." Abigail mengulurkan tangannya tanpa keraguan, Lucca tersenyum dan membaw
Abigail tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya sendiri saat langkah kaki Lucca semakin mendekati pintu kamar mansion pribadinya. Sementara Lucca sendiri, tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya sejak membawanya pergi, nampak begitu tenang tanpa keraguan sedikitpun. Abigail sama sekali tidak tahu kalau dia harus menghadapi Lucca di tempat tidur secepat ini bahkan dalam hitungan menit sejak mengucapkan ikrar pernikahan di depan altar. Biasanya selalu ada perayaan seperti ucapan selamat juga makan malam bersama tapi Lucca malah langsung membawanya ke kamar. Abigail dengan wajah merona memandangi wajah suaminya dari samping. Begitu tampan, tangguh dan berkharisma. Saat pertama kali bertemu dengannya di dermaga hari itu, tidak pernah terbayangkan kalau lelaki jelmaan devil setampan angel ini akan menjadi suaminya. "Kau akan melihat wajahku setiap hari, Abigail," ucapnya tiba-tiba, mengerling ke Abigail yang kepergok memandanginya dalam diam, membuat rona wajahnya makin tidak terk
"Lucca......" Nama itu yang malam ini berkali-kali keluar dari bibir Abigail yang merekah sembari menekan kedua telapak kaki ke lembutnya tempat tidur yang lututnya tertekuk di setiap sisi tubuh Lucca."Teriakkan namaku, Abi. Berteriaklah yang kencang agar aku bisa mendengarnya." Ditelengkan kepalanya ke samping saat Lucca menghisap lapisan kulit lehernya disertai bisikan lembut. "Kau sangat sexy."Perasaan yang diberikan Lucca tidak bisa Abigail tanggung sepenuhnya. Hanya dalam hitungan detik setelah melepas garternya, Lucca memberikan perasaan terbakar di seluruh tubuhnya yang membuatnya memekik kencang disertai jambakan rambut yang Abigail jadikan pegangan akibat rasa sakit yang semakin lama semakin membuatnya tidak lagi memiliki kendali diri, terlonjak seirama dengan gerakan Lucca yang merengkuh tubuh mungilnya di balik badan besarnya yang kokoh.Diantara suara rancauannya sendiri,geraman yang keluar dari bibir suaminya menciptakan lonjakan emosi yang mempengaruhinya sedemikian
Abigail membuka mata, melihat wajah Lucca tidak jauh darinya yang masih terpejam. Semalam mereka seperti berniat menghancurkan tempat tidur yang mungkin sudah tidak berbentuk lagi. Lucca tidak selembut sebelumnya tadi juga tidak kasar. Abigail bisa menerimanya bahkan menikmatinya. Mengikuti Lucca yang mencoba banyak gaya erotis yang melenakannya. "Lucca...." Mungkin karena besar di dunia yang berbahaya, kepekaan Lucca lebih dari orang biasa. Panggilan lirih Abi langsung membuatnya terjaga sekalipun tadi dia nampak begitu lelap. "Hai," sapanya, menyingkirkan rambut Abigail yang menutupi bibirnya. "Jam berapa ini?" "Sepertinya sudah pagi, entahlah," jawabnya seadanya. "Sudah berapa lama kita di sini?" Abigail mengganti pertanyaanya. "Entahlah. Siapa yang peduli?" Lucca menarik tubuhnya ke atas, mendekati Abigail dan menariknya dalam pelukan. "Kau lapar?" "Tidak. Aku hanya ingin tahu apa aku masih di bumi." Lucca terkekeh, "Kau masih bersamaku." "Kita seperti orang tidak punya
"Maaf menunggu lama." Abigail berjalan dengan senyuman menyambut tamunya di samping Lucca yang memegang satu tangannya dengan erat bahkan dengan kedua tangan. Menggenakan baju lengan panjang untuk menutupi kebringasan Lucca di tubuhnya meski bercak merah di lehernya tercetak jelas. "Abigail." Tuan muda Geovani, Carolina dan Obelia berdiri dari duduknya. Abigail memeluk mereka satu persatu dengan sikap hangat, menganggap mereka seperti keluarga baginya. "Uugh, bekas merah mengerikan itu pasti tidak akan hilang dengan mudah," sindir Geovani. Abigail merona dan malu sendiri membuat ketiganya terkekeh. "Jangan dengarkan bajingan itu!!!" Lucca menariknya mundur, duduk di sofa empuk dengan Abigail di pangkuannya dan memandangi keluarganya dengan tatapan tajam. "Cepat katakan yang perlu kalian katakan." Butuh waktu bagi Abigail untuk terbiasa duduk di sana. "Hei, kami menunggu selama lima hari, apa kau tidak bisa sopan sedikit pada tamu," protes Geovani. "Tidak ada yang menyuruh kal
Dua bulan setelahnya, "Silahkan dinikmati tehnya, Nyonya Lucca." "Terima kasih." Panggilan itu masih terasa asing baginya meski pernikahan sudah berjalan selama dua bulan tanpa masalah. Memasuki bulan Desember, atmosfir natal mungkin sudah mulai terasa di luar sana. Nyatanya, menjadi istri Lucca tidak serta merta bisa melakukan hal semaunya. Meski sekarang dia begitu dilindungi oleh Lucca sendiri tapi Abigail masih merasakan sesuatu yang begitu mengganggu. Abigail merasakan semilir angin membelai wajahnya, tidak pernah membayangkan bisa duduk tanpa perlu khawatir di bunuh oleh Lucca karena menikmati segarnya pagi dengan secangkir teh herbal di bangku taman bunga mawar hitam memandangi patung wanita bersayap yang begitu indah. Membangkitkan kenangan akan mimpi yang dia dapatkan saat awal-awal tinggal di manison. Sentuhan Lucca yang terasa bukan hanya halusinasinya belaka. Namun berkali-kalipun dia berpikir, sentuhan itu tetaplah seperti mimpi baginya sebelum ini. Sekarang, setia
"Bagaimana keadaan Nyonya dua bulan belakangan ini?""Baik-baik saja meski kadang-kadang aku merasa cepat lelah."Dokter Alice memeriksa tekanan darahnya, "Kau harus mengurangi kegiatan yang menguras energi."Bagaimana bisa dia mengatakan jika Luccalah yang lebih sering membuatnya lelah setiap malam."Terima kasih. Aku akan mengingat hal itu." Tiba-tiba Abigail teringat dengan sesuatu. "Oh ya Dok, mengenai hasil kesehatanku, apakah memang sama sekali tidak ada masalah?"Dokter Alice menatapku lekat, "Bukankah kau sudah membaca rekam medismu sendiri?""Ya memang sih, tapi aku hanya ingin yakin kalau memang tidak ada apa-apa.""Tidak ada masalah." Dokter Alice meletakkan alat-alatnya di meja dan fokus berbicara dengannya. "Katakan saja padaku apa yang kau resahkan sebenarnya?""Aku—" Abigail meremas tangannya sendiri, "Kau tahu sendiri aku pernah keracunan. Apakah itu tidak mempengaruhi rahimku ataupun organ yang lain?""Tidak ada masalah dengan rahim dan organ lainnya meski aku harus m