Hampir dua minggu, Lucca tidak berada di mansion. Laki-laki itu tidak juga menghubunginya sama sekali meski Abigail tahu kalau dia selalu berkomunikasi dengan Serafine. Abigail mencoba mengabaikan perasaan kecewa dalam hatinya dan berusaha bersikap biasa saja. Mencoba menjalani harinya yang membosankan di mansion Lucca karena tetap tidak diperbolehkan keluar hanya untuk berjalan-jalan hingga membuatnya kesal sekali. "Unbeliveble." Seruan itu membuat Abigail mengangkat pandangan dari adonan kue browniesnya. Mengeryit memelihat seorang lelaki Italia berbadan besar berdiri di dekat pintu dapur. Rambutnya coklat, tatapan matanya tajam, ekspresinya bengis dan tidak ada senyuman yang terukir di sana. Auranya yang mengintimidasi mengingatkannya akan sosok Lucca meski tidak setampan suaminya. Mereka serupa. "Sialan Lucca Alonzo!" Decaknya, mendekat tanpa ragu. "Dia bahkan tidak mengundangku saat acara pernikahannya. Brengsek memang!" Umpatannya menggema, Abigail mengedarkan pandangan menc
Sesaat setelah keluar dari pintu mansion utama, sebuah mobil Range Rover berhenti tidak jauh darinya. Abigail terdiam, menunggu sampai sosok itu turun dari sana dan berjalan menghampirinya sembari tersenyum. Abigail terpaku pada sosok Lucca Alonzo yang rupawan,hingga tersentak kaget saat tubuhnya terdorong masuk dalam dekapan Lucca. "Halo, Nyonya Lucca," bisiknya lembut. "Merindukanku?" "Tidak." Lucca melepas pelukannya dengan alis terangkat, "Seharusnya aku kesal dengan penolakan itu tapi lupakan saja karena kita harus pergi." "Kemana?" Tanyanya sembari mengikuti Lucca yang merangkulnya menuju pintu penumpang dan mendorongnya masuk, merunduk untuk memakaikan seatbelt dan kembali berdiri tegak. "Melihat Napoli dalam suasana natal agar kau tidak menyamakan dirimu dengan pelacur-pelacur itu. Sungguh, aku marah sekali saat mendengar hal itu, Abigail." Lucca mengecup bibirnya sebelum mundur dan menutup pintu mobil. "Kau tahu kenapa aku mengatakan hal seperti itu. Nasibku sama sepert
Abigail mengangguk, tersenyum melihat Lucca yang berbalik dan terburu-buru masuk ke dalam restoran. Abigail bergegas mendekati salah satu stan dagangan dan mengambil sepasang kaus kaki bertema natal yang lucu. Tidak ada yang istimewa sebenarnya tapi entah kenapa, Abigail ingin membelinya sekaligus dua pasang. Setelah membayar, dipegangnya erat-erat bungkusan di tangannya dan bergegas mencari Lucca sebelum lelaki itu marah ketika sudut matanya melihat sesuatu yang lain. Di salah satu gang meski jaraknya lumayan jauh dan sepi karena agak kotor, ada seorang wanita yang berlutut di depan dua orang lelaki bertampang begis terlihat sedang memohon-mohon. Abigail terkesiap saat salah satu lelaki itu yang memakai topi mencengkram rambut panjangnya, menyeretnya semakin menjauhi kerumunan masuk ke dalam gang, membuat kaki Abigail otomatis mengikuti meski dengan was-was."Bitch,”Hanya itu yang Abigail dengar, bersembunyi di balik dinding rumah dan melihat lelaki itu beberapa kali memukul wajah
BUKKK!! Satu lelaki yang memegangi tangannya terhempas keras ke jalanan. Abigail menoleh, melihat Lucca dengan auranya yang menakutkan maju dengan tatapan bengis ke arah empat lelaki yang lain. Ditendangnya lagi lelaki yang memegangi Abigail hingga bisa terbebas dan mundur menjauh digantikan sosok Lucca. "Kalian mencari gara-gara di sini," geramnya. "Orang asing yang beraninya mengganggu wilayahku." "Siapa kau?" desis lelaki bertopi yang nampak keras berpikir. "Jangan ikut campur!!" Lucca tersenyum miring penuh kekejian, mengepalkan salah satu tangannya di tangan yang lain. "Sial sekali kalian terlihat olehku hari ini terlebih lagi menyakiti istriku. Aku tidak akan memberikan pengampunan sedikitpun untuk kalian. Matilah kalian semua!!" Keempatnya maju sekaligus. Lucca menendang dua yang lainnya, memberikan pukulan telak di wajah untuk lelaki bertopi dan hantaman siku ke punggung lelaki gondrong. Dihempasnya begitu saja dengan tangan, kayu yang hendak dihantamkan ke wajahnya, be
"Kotamu, indah sekali."Abigail tidak bisa mengalihkan tatapannya dari kota Naples di kejauhan. Bersinar terang disinari matahari sore yang memancar ke segala arah. Kota dengan ciri khas bangunan tuanya semakin membuat keindahannya menyilaukan. Tidak bisa menyembunyikan ketakjuban di matanya saat melihat pemandangan yang terpampang di depannya. Duduk di pangkuan Lucca yang mendekapnya erat di atas speedboat yang terombang ambing pelan di lautan.Berusaha keras mengabaikan tatapan intens Lucca padanya, Abigail menengadahkan kepala, melihat banyaknya burung berterbangan di langit, asyik memutari cakrawala bersama kawanannya diiringi kicauannya yang membaur bersama suara gemuruh laut.Semua hal yang dilihatnya perlahan-lahan membuat pikirannya rileks, sekejap melupakan kejadian yang terjadi di daratan tadi. "Aku tumbuh di kota ini sepanjang hidupku." Abigail menoleh, memandangi Lucca yang nampak setengah melamun sembari menatap kota Naples. "Sebelumnya aku pikir, hidupku akan tetap sama
Mungkin benar apa yang pernah dia simpulkan dulu, jika seorang lelaki bersikeras mempercayai jika cinta itu hanyalah bullshit belaka, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya melakukan apapun untuk wanita yang menyentuh hatinya pertama kali bahkan rela mengorbankan nyawa yang dulu menjadi prioritas utamanya untuk hidup hingga mengabaikan apapun. Abigail hanya tidak percaya bahwa dialah yang bisa menyentuh sisi lain Lucca hingga membuatnya seperti ini. "Hmmm..." erangan tertahannya terdengar, Lucca mendaratkan ciumannya di area leher dan perlahan semakin turun ke bawah yang Abigail yakini akan berbekas nantinya. Selalu begitu, seperti sengaja memperlihatkan tanda kepemilikan yang mutlak hingga membuat Abigail malu jika pelayan di mansion melihatnya. Namun Lucca tidak akan bisa dihentikan begitu saja. "Pizza,” Ucap Abigail. "Aku mau makan pizzanya." Lucca menghentikan ciuman di dadanya, mengangkat kepalanya yang langsung bertatapan dengan Abigail. "Kau lapar?" "Tentu saja ak
DOR!! DOR!! DOR!! "Lucca.” Abi ketakutan, mencengkram baju Lucca dengan erat yang melindunginya dari sasaran tembakan yang untungnya tidak kena. "Jangan takut, Abi. Aku di sini." Lucca mengedarkan pandangan, mengulurkan tangan ke arah laci kapal dan mengeluarkan dua senjata api yang entah sejak kapan ada di sana. "Sialan! Mereka mau balas dendam ternyata." DOR!! DOR!! DOR!! Lucca menembakkan beberapa kali pelurunya sembari berdiri, begitu juga Abigail. "Berlindung di balik badanku," ucapnya, yang langsung Abigail lakukan dan mengkeret di sana sembari mencengkram pinggang Lucca. Dilihatnya ada beberapa kapal kecil yang menjaga jarak dengan kapal mereka dan menyebar di sisi kanan dan kiri. Lucca merentangkan lengan dengan dua tembakan di masing-masing tangannya, menembakkan beberapa kali ke arah mereka hingga Abigail harus menutup mata. "Apa kau bisa mengemudikan speedboat?" tanyanya. "Hah?" "Speedboat.” "Bisa," suaranya bergetar. "Arsen pernah mengajariku mengemudikannya.
Tiga minggu penuh ketenangan di mansion, sebaliknya Abigail merasa sesak akan hal itu. Tangannya masih tetap bergetar meski ekspresinya begitu tenang. Dengan cekatan mengusapkan handuk hangat ke wajah suaminya yang belum sadarkan diri sejak insiden di laut itu meski keadaanya sudah melewati masa kritis. Berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir, karena dia lelah menangis. Seharusnya dia tidak perlu membuang-buang tenaganya untuk menangisi lelaki yang sudah biasa berada dalam kondisi seperti ini. Tertidur selama berhati-hari dengan perban yang membalut lukanya. Namun tetap saja, dia menangis. Abigail memperhatikan badan Lucca yang dibiarkan tanpa baju setelah mengganti perban lukanya. Ada banyak luka serupa yang membuat Abigail bergidik. Perlahan dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bekas luka yang terlihat sudah cukup lama dan air matanya tidak bisa bertahan hingga mengalir begitu saja. "Kenapa?" suaranya bergetar. "Kenapa kau harus hidup seperti ini, Lucca?" Tangann