"Kotamu, indah sekali."Abigail tidak bisa mengalihkan tatapannya dari kota Naples di kejauhan. Bersinar terang disinari matahari sore yang memancar ke segala arah. Kota dengan ciri khas bangunan tuanya semakin membuat keindahannya menyilaukan. Tidak bisa menyembunyikan ketakjuban di matanya saat melihat pemandangan yang terpampang di depannya. Duduk di pangkuan Lucca yang mendekapnya erat di atas speedboat yang terombang ambing pelan di lautan.Berusaha keras mengabaikan tatapan intens Lucca padanya, Abigail menengadahkan kepala, melihat banyaknya burung berterbangan di langit, asyik memutari cakrawala bersama kawanannya diiringi kicauannya yang membaur bersama suara gemuruh laut.Semua hal yang dilihatnya perlahan-lahan membuat pikirannya rileks, sekejap melupakan kejadian yang terjadi di daratan tadi. "Aku tumbuh di kota ini sepanjang hidupku." Abigail menoleh, memandangi Lucca yang nampak setengah melamun sembari menatap kota Naples. "Sebelumnya aku pikir, hidupku akan tetap sama
Mungkin benar apa yang pernah dia simpulkan dulu, jika seorang lelaki bersikeras mempercayai jika cinta itu hanyalah bullshit belaka, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya melakukan apapun untuk wanita yang menyentuh hatinya pertama kali bahkan rela mengorbankan nyawa yang dulu menjadi prioritas utamanya untuk hidup hingga mengabaikan apapun. Abigail hanya tidak percaya bahwa dialah yang bisa menyentuh sisi lain Lucca hingga membuatnya seperti ini. "Hmmm..." erangan tertahannya terdengar, Lucca mendaratkan ciumannya di area leher dan perlahan semakin turun ke bawah yang Abigail yakini akan berbekas nantinya. Selalu begitu, seperti sengaja memperlihatkan tanda kepemilikan yang mutlak hingga membuat Abigail malu jika pelayan di mansion melihatnya. Namun Lucca tidak akan bisa dihentikan begitu saja. "Pizza,” Ucap Abigail. "Aku mau makan pizzanya." Lucca menghentikan ciuman di dadanya, mengangkat kepalanya yang langsung bertatapan dengan Abigail. "Kau lapar?" "Tentu saja ak
DOR!! DOR!! DOR!! "Lucca.” Abi ketakutan, mencengkram baju Lucca dengan erat yang melindunginya dari sasaran tembakan yang untungnya tidak kena. "Jangan takut, Abi. Aku di sini." Lucca mengedarkan pandangan, mengulurkan tangan ke arah laci kapal dan mengeluarkan dua senjata api yang entah sejak kapan ada di sana. "Sialan! Mereka mau balas dendam ternyata." DOR!! DOR!! DOR!! Lucca menembakkan beberapa kali pelurunya sembari berdiri, begitu juga Abigail. "Berlindung di balik badanku," ucapnya, yang langsung Abigail lakukan dan mengkeret di sana sembari mencengkram pinggang Lucca. Dilihatnya ada beberapa kapal kecil yang menjaga jarak dengan kapal mereka dan menyebar di sisi kanan dan kiri. Lucca merentangkan lengan dengan dua tembakan di masing-masing tangannya, menembakkan beberapa kali ke arah mereka hingga Abigail harus menutup mata. "Apa kau bisa mengemudikan speedboat?" tanyanya. "Hah?" "Speedboat.” "Bisa," suaranya bergetar. "Arsen pernah mengajariku mengemudikannya.
Tiga minggu penuh ketenangan di mansion, sebaliknya Abigail merasa sesak akan hal itu. Tangannya masih tetap bergetar meski ekspresinya begitu tenang. Dengan cekatan mengusapkan handuk hangat ke wajah suaminya yang belum sadarkan diri sejak insiden di laut itu meski keadaanya sudah melewati masa kritis. Berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir, karena dia lelah menangis. Seharusnya dia tidak perlu membuang-buang tenaganya untuk menangisi lelaki yang sudah biasa berada dalam kondisi seperti ini. Tertidur selama berhati-hari dengan perban yang membalut lukanya. Namun tetap saja, dia menangis. Abigail memperhatikan badan Lucca yang dibiarkan tanpa baju setelah mengganti perban lukanya. Ada banyak luka serupa yang membuat Abigail bergidik. Perlahan dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bekas luka yang terlihat sudah cukup lama dan air matanya tidak bisa bertahan hingga mengalir begitu saja. "Kenapa?" suaranya bergetar. "Kenapa kau harus hidup seperti ini, Lucca?" Tangann
6 bulan kemudian, Sejak statusnya berubah menjadi satu-satunya nyonya rumah, pintu bangunan salah satu mansion terkunci dengan rantai besi. Meskipun dibiarkan kosong tanpa penghuni, namun keberadaanya akan tetap diingat oleh siapapun yang ada di mansion. Lucca melarangnya untuk mendekati tempat itu apapun alasannya, namun Abigail selalu ingin pergi kesana. Sekedar ingin melihat juga memahami, kenapa wanita itu memilih menyerah akan cintanya dan pergi begitu saja. Abigail belum bisa melupakan perihal Rosetta meski sudah berlalu begitu saja. Abigail memasuki satu-satunya kamar dalam bangunan itu yang dulu pernah dia datangi. Keadaanya masih tetap sama meski nampak berdebu. Rosetta meninggalkan barang-barangnya begitu juga lukisan Lucca. Entah apa yang dibawanya saat kabur dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi hingga detik ini. Tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Lucca belum bisa menemukannya. Saat ingin memeriksa beberapa laci di dekat tempat tidur, tiba-tiba tubuhnya t
Sejak setengah jam yang lalu, Lucca nampak resah setelah anak buahnya melaporkan sesuatu padanya. Abigail yang sedang menikmati pastanya di salah satu restoran di Napoli jadi bertanya-tanya, kenapa Lucca nampak tidak tenang seperti itu. Saat ini memang sedang diadakan festival tahunan Naples hingga keadaan di luar begitu ramai. "Hei.” Abigail mengenggem jemari suaminya. "Apa terjadi sesuatu?" "Tidak. Habiskan saja makananmu." "Tapi ekspresimu begitu gusar." Lucca menghabiskan wine-nya, "Hanya kedatangan tamu tidak diundang." "Tamu?" Abigail menelengkan kepalanya. "Tamu penting?" "Tidak!" Lucca berdiri dari duduknya dan mengecup pipinya membuatnya bingung. "Kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan membereskannya." Tamu yang sangat penting. Abigail tahu itu dari ekspresi Lucca dan sikapnya yang turun tangan sendiri. Abigail menatap punggung suaminya melalui dinding kaca yang perlahan menjauh dan menghilang di balik bayang-bayang bangunan. Menunggu selama beberapa saat hingga dia
"Mereka sudah pergi." Lucca bergeming di sampingnya, sama-sama memandangi lautan di kejauhan. Membiarkan saja tangannya yang satu digenggam erat oleh suaminya yang nampak gusar akan sesuatu. "Aku harap mereka tidak pernah kembali lagi kemari." "Aldrick sahabatmu, right?" "Dulu." Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara keduanya hingga Lucca terlihat marah jika membicarakannya. "Itu dulu." Lucca berbalik menghadapnya dengan tatapan menyelidik. "Apa yang kau bicarakan dengan Zafier?" "Tentang Mama dan adikku. Mereka baik-baik saja." Abigail menatap jauh ke arah cakrawala. "Memberiku sedikit rasa tenang karena mengetahui kepastian kabar mereka." "Aku ikut senang." "Tidak bisakah kau membiarkan aku pergi sebentar menemui mereka?" "Apa kau akan kembali jika aku mengizinkan?" Mereka saling menatap dalam diam. Tatapan Lucca mengunci manik matanya dan memenuhinya dengan anggapan bahwa sekalipun ke ujung dunia dia menghilang, lelaki itu akan mencarinya sampai ketemu. "Jika aku memang
"Mereka mencarimu ke seluruh kota." Abigail memalingkan wajah dari para pejalan kaki di luar dan membiarkan tirai jendelanya tertutup lalu menghampiri seorang wanita yang duduk di kursi meja makan. "Cepat atau lambat, mereka pasti akan segera menemukanmu." Pelafalan bahasa inggrisnya yang baku dengan logat Italianya yang kental, menjadi penghubung komunikasi mereka berdua sejak pelariannya seminggu yang lalu."Aku tahu." Abigail tersenyum. "Aku harus secepatnya pergi dari sini.""Tanpa surat-surat?" Nada suaranya terdengar khawatir. "Itu akan sulit."Siapa yang sangka, dia sedikit beruntung dalam pelariannya saat ini. Setelah keluar dari mobil box yang berhenti di belakang salah satu restoran untuk menurunkan bahan makanan, Abigail berkelana sendirian mencari penginapan. Akan lebih baik baginya untuk diam di dalam ruangan tertutup sembari memikirkan rencana selanjutnya dari pada berkeliaran di jalan yang beresiko ditemukan anak buah Lucca. Namun, tidak ada satupun tempat penginapan ya
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj