Mungkin benar apa yang pernah dia simpulkan dulu, jika seorang lelaki bersikeras mempercayai jika cinta itu hanyalah bullshit belaka, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya melakukan apapun untuk wanita yang menyentuh hatinya pertama kali bahkan rela mengorbankan nyawa yang dulu menjadi prioritas utamanya untuk hidup hingga mengabaikan apapun. Abigail hanya tidak percaya bahwa dialah yang bisa menyentuh sisi lain Lucca hingga membuatnya seperti ini. "Hmmm..." erangan tertahannya terdengar, Lucca mendaratkan ciumannya di area leher dan perlahan semakin turun ke bawah yang Abigail yakini akan berbekas nantinya. Selalu begitu, seperti sengaja memperlihatkan tanda kepemilikan yang mutlak hingga membuat Abigail malu jika pelayan di mansion melihatnya. Namun Lucca tidak akan bisa dihentikan begitu saja. "Pizza,” Ucap Abigail. "Aku mau makan pizzanya." Lucca menghentikan ciuman di dadanya, mengangkat kepalanya yang langsung bertatapan dengan Abigail. "Kau lapar?" "Tentu saja ak
DOR!! DOR!! DOR!! "Lucca.” Abi ketakutan, mencengkram baju Lucca dengan erat yang melindunginya dari sasaran tembakan yang untungnya tidak kena. "Jangan takut, Abi. Aku di sini." Lucca mengedarkan pandangan, mengulurkan tangan ke arah laci kapal dan mengeluarkan dua senjata api yang entah sejak kapan ada di sana. "Sialan! Mereka mau balas dendam ternyata." DOR!! DOR!! DOR!! Lucca menembakkan beberapa kali pelurunya sembari berdiri, begitu juga Abigail. "Berlindung di balik badanku," ucapnya, yang langsung Abigail lakukan dan mengkeret di sana sembari mencengkram pinggang Lucca. Dilihatnya ada beberapa kapal kecil yang menjaga jarak dengan kapal mereka dan menyebar di sisi kanan dan kiri. Lucca merentangkan lengan dengan dua tembakan di masing-masing tangannya, menembakkan beberapa kali ke arah mereka hingga Abigail harus menutup mata. "Apa kau bisa mengemudikan speedboat?" tanyanya. "Hah?" "Speedboat.” "Bisa," suaranya bergetar. "Arsen pernah mengajariku mengemudikannya.
Tiga minggu penuh ketenangan di mansion, sebaliknya Abigail merasa sesak akan hal itu. Tangannya masih tetap bergetar meski ekspresinya begitu tenang. Dengan cekatan mengusapkan handuk hangat ke wajah suaminya yang belum sadarkan diri sejak insiden di laut itu meski keadaanya sudah melewati masa kritis. Berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir, karena dia lelah menangis. Seharusnya dia tidak perlu membuang-buang tenaganya untuk menangisi lelaki yang sudah biasa berada dalam kondisi seperti ini. Tertidur selama berhati-hari dengan perban yang membalut lukanya. Namun tetap saja, dia menangis. Abigail memperhatikan badan Lucca yang dibiarkan tanpa baju setelah mengganti perban lukanya. Ada banyak luka serupa yang membuat Abigail bergidik. Perlahan dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bekas luka yang terlihat sudah cukup lama dan air matanya tidak bisa bertahan hingga mengalir begitu saja. "Kenapa?" suaranya bergetar. "Kenapa kau harus hidup seperti ini, Lucca?" Tangann
6 bulan kemudian, Sejak statusnya berubah menjadi satu-satunya nyonya rumah, pintu bangunan salah satu mansion terkunci dengan rantai besi. Meskipun dibiarkan kosong tanpa penghuni, namun keberadaanya akan tetap diingat oleh siapapun yang ada di mansion. Lucca melarangnya untuk mendekati tempat itu apapun alasannya, namun Abigail selalu ingin pergi kesana. Sekedar ingin melihat juga memahami, kenapa wanita itu memilih menyerah akan cintanya dan pergi begitu saja. Abigail belum bisa melupakan perihal Rosetta meski sudah berlalu begitu saja. Abigail memasuki satu-satunya kamar dalam bangunan itu yang dulu pernah dia datangi. Keadaanya masih tetap sama meski nampak berdebu. Rosetta meninggalkan barang-barangnya begitu juga lukisan Lucca. Entah apa yang dibawanya saat kabur dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi hingga detik ini. Tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Lucca belum bisa menemukannya. Saat ingin memeriksa beberapa laci di dekat tempat tidur, tiba-tiba tubuhnya t
Sejak setengah jam yang lalu, Lucca nampak resah setelah anak buahnya melaporkan sesuatu padanya. Abigail yang sedang menikmati pastanya di salah satu restoran di Napoli jadi bertanya-tanya, kenapa Lucca nampak tidak tenang seperti itu. Saat ini memang sedang diadakan festival tahunan Naples hingga keadaan di luar begitu ramai. "Hei.” Abigail mengenggem jemari suaminya. "Apa terjadi sesuatu?" "Tidak. Habiskan saja makananmu." "Tapi ekspresimu begitu gusar." Lucca menghabiskan wine-nya, "Hanya kedatangan tamu tidak diundang." "Tamu?" Abigail menelengkan kepalanya. "Tamu penting?" "Tidak!" Lucca berdiri dari duduknya dan mengecup pipinya membuatnya bingung. "Kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan membereskannya." Tamu yang sangat penting. Abigail tahu itu dari ekspresi Lucca dan sikapnya yang turun tangan sendiri. Abigail menatap punggung suaminya melalui dinding kaca yang perlahan menjauh dan menghilang di balik bayang-bayang bangunan. Menunggu selama beberapa saat hingga dia
"Mereka sudah pergi." Lucca bergeming di sampingnya, sama-sama memandangi lautan di kejauhan. Membiarkan saja tangannya yang satu digenggam erat oleh suaminya yang nampak gusar akan sesuatu. "Aku harap mereka tidak pernah kembali lagi kemari." "Aldrick sahabatmu, right?" "Dulu." Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara keduanya hingga Lucca terlihat marah jika membicarakannya. "Itu dulu." Lucca berbalik menghadapnya dengan tatapan menyelidik. "Apa yang kau bicarakan dengan Zafier?" "Tentang Mama dan adikku. Mereka baik-baik saja." Abigail menatap jauh ke arah cakrawala. "Memberiku sedikit rasa tenang karena mengetahui kepastian kabar mereka." "Aku ikut senang." "Tidak bisakah kau membiarkan aku pergi sebentar menemui mereka?" "Apa kau akan kembali jika aku mengizinkan?" Mereka saling menatap dalam diam. Tatapan Lucca mengunci manik matanya dan memenuhinya dengan anggapan bahwa sekalipun ke ujung dunia dia menghilang, lelaki itu akan mencarinya sampai ketemu. "Jika aku memang
"Mereka mencarimu ke seluruh kota." Abigail memalingkan wajah dari para pejalan kaki di luar dan membiarkan tirai jendelanya tertutup lalu menghampiri seorang wanita yang duduk di kursi meja makan. "Cepat atau lambat, mereka pasti akan segera menemukanmu." Pelafalan bahasa inggrisnya yang baku dengan logat Italianya yang kental, menjadi penghubung komunikasi mereka berdua sejak pelariannya seminggu yang lalu."Aku tahu." Abigail tersenyum. "Aku harus secepatnya pergi dari sini.""Tanpa surat-surat?" Nada suaranya terdengar khawatir. "Itu akan sulit."Siapa yang sangka, dia sedikit beruntung dalam pelariannya saat ini. Setelah keluar dari mobil box yang berhenti di belakang salah satu restoran untuk menurunkan bahan makanan, Abigail berkelana sendirian mencari penginapan. Akan lebih baik baginya untuk diam di dalam ruangan tertutup sembari memikirkan rencana selanjutnya dari pada berkeliaran di jalan yang beresiko ditemukan anak buah Lucca. Namun, tidak ada satupun tempat penginapan ya
Perasaan tidak mengenakan itu menelusup di ujung tekadnya saat dia hampir berhasil untuk menjauh dari Napoli. Tidak! Dia jelas tidak perlu merasa menyesal ataupun goyah karena memang inilah yang seharusnya dia lakukan sejak dulu. Meski rasanya, air matanya akan menetes tanpa henti saat dia diam memikirkan suaminya. Hampir dua minggu berlalu sejak terakhir kali melihat Lucca, Abigail mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau laki-laki itu pasti akan baik-baik saja. Seharusnya memang seperti itu karena dia Lucca Alonzo. "Abigail.” Panggilan lembut itu menyentaknya, menatap balik Sofia yang tersenyum. Berdiri berhadapan di area sepi keberangkatan kereta api. Entah bagaimana caranya, Sofia berhasil mendapatkan satu tiket untuknya pergi ke Roma berkat bantuan kenalannya yang bekerja di dalam kereta. Sofia menjamin kalau dia akan sampai ke Roma dengan aman dan harus langsung mengurus surat-suratnya sementara di kedutaan. Sofia bahkan membekalinya dengan sejumlah uang tunai. Abigail benar