"Lucca......" Nama itu yang malam ini berkali-kali keluar dari bibir Abigail yang merekah sembari menekan kedua telapak kaki ke lembutnya tempat tidur yang lututnya tertekuk di setiap sisi tubuh Lucca."Teriakkan namaku, Abi. Berteriaklah yang kencang agar aku bisa mendengarnya." Ditelengkan kepalanya ke samping saat Lucca menghisap lapisan kulit lehernya disertai bisikan lembut. "Kau sangat sexy."Perasaan yang diberikan Lucca tidak bisa Abigail tanggung sepenuhnya. Hanya dalam hitungan detik setelah melepas garternya, Lucca memberikan perasaan terbakar di seluruh tubuhnya yang membuatnya memekik kencang disertai jambakan rambut yang Abigail jadikan pegangan akibat rasa sakit yang semakin lama semakin membuatnya tidak lagi memiliki kendali diri, terlonjak seirama dengan gerakan Lucca yang merengkuh tubuh mungilnya di balik badan besarnya yang kokoh.Diantara suara rancauannya sendiri,geraman yang keluar dari bibir suaminya menciptakan lonjakan emosi yang mempengaruhinya sedemikian
Abigail membuka mata, melihat wajah Lucca tidak jauh darinya yang masih terpejam. Semalam mereka seperti berniat menghancurkan tempat tidur yang mungkin sudah tidak berbentuk lagi. Lucca tidak selembut sebelumnya tadi juga tidak kasar. Abigail bisa menerimanya bahkan menikmatinya. Mengikuti Lucca yang mencoba banyak gaya erotis yang melenakannya. "Lucca...." Mungkin karena besar di dunia yang berbahaya, kepekaan Lucca lebih dari orang biasa. Panggilan lirih Abi langsung membuatnya terjaga sekalipun tadi dia nampak begitu lelap. "Hai," sapanya, menyingkirkan rambut Abigail yang menutupi bibirnya. "Jam berapa ini?" "Sepertinya sudah pagi, entahlah," jawabnya seadanya. "Sudah berapa lama kita di sini?" Abigail mengganti pertanyaanya. "Entahlah. Siapa yang peduli?" Lucca menarik tubuhnya ke atas, mendekati Abigail dan menariknya dalam pelukan. "Kau lapar?" "Tidak. Aku hanya ingin tahu apa aku masih di bumi." Lucca terkekeh, "Kau masih bersamaku." "Kita seperti orang tidak punya
"Maaf menunggu lama." Abigail berjalan dengan senyuman menyambut tamunya di samping Lucca yang memegang satu tangannya dengan erat bahkan dengan kedua tangan. Menggenakan baju lengan panjang untuk menutupi kebringasan Lucca di tubuhnya meski bercak merah di lehernya tercetak jelas. "Abigail." Tuan muda Geovani, Carolina dan Obelia berdiri dari duduknya. Abigail memeluk mereka satu persatu dengan sikap hangat, menganggap mereka seperti keluarga baginya. "Uugh, bekas merah mengerikan itu pasti tidak akan hilang dengan mudah," sindir Geovani. Abigail merona dan malu sendiri membuat ketiganya terkekeh. "Jangan dengarkan bajingan itu!!!" Lucca menariknya mundur, duduk di sofa empuk dengan Abigail di pangkuannya dan memandangi keluarganya dengan tatapan tajam. "Cepat katakan yang perlu kalian katakan." Butuh waktu bagi Abigail untuk terbiasa duduk di sana. "Hei, kami menunggu selama lima hari, apa kau tidak bisa sopan sedikit pada tamu," protes Geovani. "Tidak ada yang menyuruh kal
Dua bulan setelahnya, "Silahkan dinikmati tehnya, Nyonya Lucca." "Terima kasih." Panggilan itu masih terasa asing baginya meski pernikahan sudah berjalan selama dua bulan tanpa masalah. Memasuki bulan Desember, atmosfir natal mungkin sudah mulai terasa di luar sana. Nyatanya, menjadi istri Lucca tidak serta merta bisa melakukan hal semaunya. Meski sekarang dia begitu dilindungi oleh Lucca sendiri tapi Abigail masih merasakan sesuatu yang begitu mengganggu. Abigail merasakan semilir angin membelai wajahnya, tidak pernah membayangkan bisa duduk tanpa perlu khawatir di bunuh oleh Lucca karena menikmati segarnya pagi dengan secangkir teh herbal di bangku taman bunga mawar hitam memandangi patung wanita bersayap yang begitu indah. Membangkitkan kenangan akan mimpi yang dia dapatkan saat awal-awal tinggal di manison. Sentuhan Lucca yang terasa bukan hanya halusinasinya belaka. Namun berkali-kalipun dia berpikir, sentuhan itu tetaplah seperti mimpi baginya sebelum ini. Sekarang, setia
"Bagaimana keadaan Nyonya dua bulan belakangan ini?""Baik-baik saja meski kadang-kadang aku merasa cepat lelah."Dokter Alice memeriksa tekanan darahnya, "Kau harus mengurangi kegiatan yang menguras energi."Bagaimana bisa dia mengatakan jika Luccalah yang lebih sering membuatnya lelah setiap malam."Terima kasih. Aku akan mengingat hal itu." Tiba-tiba Abigail teringat dengan sesuatu. "Oh ya Dok, mengenai hasil kesehatanku, apakah memang sama sekali tidak ada masalah?"Dokter Alice menatapku lekat, "Bukankah kau sudah membaca rekam medismu sendiri?""Ya memang sih, tapi aku hanya ingin yakin kalau memang tidak ada apa-apa.""Tidak ada masalah." Dokter Alice meletakkan alat-alatnya di meja dan fokus berbicara dengannya. "Katakan saja padaku apa yang kau resahkan sebenarnya?""Aku—" Abigail meremas tangannya sendiri, "Kau tahu sendiri aku pernah keracunan. Apakah itu tidak mempengaruhi rahimku ataupun organ yang lain?""Tidak ada masalah dengan rahim dan organ lainnya meski aku harus m
Hampir dua minggu, Lucca tidak berada di mansion. Laki-laki itu tidak juga menghubunginya sama sekali meski Abigail tahu kalau dia selalu berkomunikasi dengan Serafine. Abigail mencoba mengabaikan perasaan kecewa dalam hatinya dan berusaha bersikap biasa saja. Mencoba menjalani harinya yang membosankan di mansion Lucca karena tetap tidak diperbolehkan keluar hanya untuk berjalan-jalan hingga membuatnya kesal sekali. "Unbeliveble." Seruan itu membuat Abigail mengangkat pandangan dari adonan kue browniesnya. Mengeryit memelihat seorang lelaki Italia berbadan besar berdiri di dekat pintu dapur. Rambutnya coklat, tatapan matanya tajam, ekspresinya bengis dan tidak ada senyuman yang terukir di sana. Auranya yang mengintimidasi mengingatkannya akan sosok Lucca meski tidak setampan suaminya. Mereka serupa. "Sialan Lucca Alonzo!" Decaknya, mendekat tanpa ragu. "Dia bahkan tidak mengundangku saat acara pernikahannya. Brengsek memang!" Umpatannya menggema, Abigail mengedarkan pandangan menc
Sesaat setelah keluar dari pintu mansion utama, sebuah mobil Range Rover berhenti tidak jauh darinya. Abigail terdiam, menunggu sampai sosok itu turun dari sana dan berjalan menghampirinya sembari tersenyum. Abigail terpaku pada sosok Lucca Alonzo yang rupawan,hingga tersentak kaget saat tubuhnya terdorong masuk dalam dekapan Lucca. "Halo, Nyonya Lucca," bisiknya lembut. "Merindukanku?" "Tidak." Lucca melepas pelukannya dengan alis terangkat, "Seharusnya aku kesal dengan penolakan itu tapi lupakan saja karena kita harus pergi." "Kemana?" Tanyanya sembari mengikuti Lucca yang merangkulnya menuju pintu penumpang dan mendorongnya masuk, merunduk untuk memakaikan seatbelt dan kembali berdiri tegak. "Melihat Napoli dalam suasana natal agar kau tidak menyamakan dirimu dengan pelacur-pelacur itu. Sungguh, aku marah sekali saat mendengar hal itu, Abigail." Lucca mengecup bibirnya sebelum mundur dan menutup pintu mobil. "Kau tahu kenapa aku mengatakan hal seperti itu. Nasibku sama sepert
Abigail mengangguk, tersenyum melihat Lucca yang berbalik dan terburu-buru masuk ke dalam restoran. Abigail bergegas mendekati salah satu stan dagangan dan mengambil sepasang kaus kaki bertema natal yang lucu. Tidak ada yang istimewa sebenarnya tapi entah kenapa, Abigail ingin membelinya sekaligus dua pasang. Setelah membayar, dipegangnya erat-erat bungkusan di tangannya dan bergegas mencari Lucca sebelum lelaki itu marah ketika sudut matanya melihat sesuatu yang lain. Di salah satu gang meski jaraknya lumayan jauh dan sepi karena agak kotor, ada seorang wanita yang berlutut di depan dua orang lelaki bertampang begis terlihat sedang memohon-mohon. Abigail terkesiap saat salah satu lelaki itu yang memakai topi mencengkram rambut panjangnya, menyeretnya semakin menjauhi kerumunan masuk ke dalam gang, membuat kaki Abigail otomatis mengikuti meski dengan was-was."Bitch,”Hanya itu yang Abigail dengar, bersembunyi di balik dinding rumah dan melihat lelaki itu beberapa kali memukul wajah