Beberapa amplop di atas mejanya mengganggu pikirannya. Seharusnya Serafine tahu jika dia tidak mau melihat apapun foto yang dikirimkan oleh bajingan itu untuk memprovokasinya. Tidak peduli mungkin di dalam sana, Abigail tengah tersenyum suka cita sembari menggandeng tangan Dom. Diabaikannya begitu saja amplop itu dan duduk di balik meja kerjanya. Sudah beberapa hari, Lucca mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tidak boleh membiarkan diirnya jatuh hati pada siapapun karena itu bisa membuat pertahanannya melemah karena yang akan dia pedulikan bukan lagi tentang keselamatannya tapi wanita yang dicintainya dan bersedia mati bahkan berkorban untuknya. Lucca mencoba mengenyahkan perkataan Rosetta malam itu yang menganggu pikirannya dan mulai sibuk kembali dengan beberapa urusan yang belum diselesaikan sampai dia menemukan satu foto tercecer di tumpukan berkasnya dalam keadaan terbalik. Lucca menggeram marah, terlebih saat melihat tulisan Dom di belakang foto itu. Lihatnya wajah w
Lucca mengamatinya seksama. Memberinya kesempatan untuk balik memandangi Lucca dan melihat kalau lelaki itu baik-baik saja meski bekas memar di wajahnya masih terlihat. Diarahkan tatapannya ke tubuh Lucca dan melihat dari sela-sela kaos hitam yang dikenakannya ada perban yang melingkar di bahunya akibat luka tembak. Tanpa bisa dicegah, tangannya terulur sendiri menyentuh permukaan perban itu dengan sangat hati-hati dan meringis seperti bisa ikut merasakan peluru itu menembus lapisan kulitnya hingga tidak menyadari Lucca menikmati ekspresi khawatirnya. "Panggilkan dokter Alice kemari," ucapnya pada Serafine dan menurunkan ponselnya membuat Abigail tersentak dan menarik tangannya menjauh. Merutuki kebodohannya sendiri. Apa dokter itu yang akan mendapatkan kemarahan Lucca? Pikiran takutnya membuatnya tidak sadar diam saja saat Lucca menarik tangannya hingga terduduk di pangkuan Lucca membuatnya terkejut setengah mati. "Apa yang kau—" "Aku ingin sekali tahu apa yang sedang kau pikirka
Lucca mengaitkan jemarinya di depan dada, terlihat sekali menikmati ekspresinya yang agak kesal. "Aku hanya akan memiliki satu wanita di mansion, jika kau mau tahu." "Kau akan membunuhnya?" ucapnya spontan, membuat kengerian itu tercetak jelas di wajahnya. "Kau pikir aku sekeji itu membunuhnya tanpa alasan," Lucca menekan kalimatnya membuat Abigail terdiam. "Begitukah menurutmu?" "Lalu bagaimana?" "Tadinya aku akan melepaskannya begitu saja." "Tadinya?" Abigail mengeryit heran. "Dua hari yang lalu aku mendapatkan kabar jika dia melarikan diri dari mansion dan sampai saat ini orangku belum bisa menemukannya." "Apa orang-orang di mansion sudah tahu kalau kita akan menikah?" "Tentu saja belum." Abigail mengatupkan bibirnya, mencoba memikirkan alasan kepergian Rosetta yang diam-diam seperti itu padahal wanita itu sangat mencintai Lucca Alonzo. Kenapa dia kabur begitu saja? Apa alasannya? "Aku tidak tahu alasan dia melakukan hal itu tapi aku akan memberimu pilihan." Abigail menga
"Kalau ini bukan untuk kesehatanmu, aku juga tidak akan mengizinkannya. Lakukan saja!" Kata-kata Lucca tidak bisa dibatah. Abigail merasa heran tapi memiringkan juga tubuhnya dan suster langsung menaikkan sedikit celana pasiennya hingga area pinggulnya terlihat. Abigail memandangi Lucca yang juga sedang memandanginya dan mengeryit saat merasakan jarum itu menembus permukaan kulitnya. "Jika ada keluhan, silahkan panggil saya datang. Semoga anda selalu sehat. Kami permisi." Abigail duduk, masih merasakan nyeri di pinggulnya saat dokter itu mundur dan keluar dari kamarnya. "Siapkan keperluan kita untuk pulang," perintah Lucca pada Serafine sebelum wanita itu juga ikut keluar. "Baik Tuan." "Apa kondisi kesehatanku baik-baik saja?" tanya Abigail, harap-harap cemas. Ekspresi wajah Lucca berubah drastis. Lelaki itu menghela napas dalam, nampak tidak senang dengan sesuatu hal membuat Abigail jadi bertanya-tanya, apakah ada yang serius. "Kau baik-baik saja meskipun efek racun dan juga l
Seminggu kemudian, Mansion Alonzo, Napoli, Italia Tidak pernah terbayangkan dalam benak Abigail akan sampai di titik ini, di mana pernikahannya sudah berada di depan mata setelah semua hal tidak mengenakkan yang dia alami dan sebentar lagi harus mengucap janji setia selamanya dengan lelaki yang bukan berasal dari kalangan biasa. Setiap wanita pasti memimpikan bagaimana pernikahannya akan terlaksana. Lelaki yang mencintainya, keluarga yang datang untuk mendoakan, gaun pengantin berwarna putih yang mengembang cantik, sahabat yang selalu ada untuk mendukung, dekorasi yang menakjubkan dan perasaan bahagia tidak terkira. Begitu juga dengan Abigail yang harus membuang semua bayangan itu dalam sekejap. Abigail memegang kuat buket bunga cantik di tangannya perpaduan antara mawar hitam dan putih yang dihiasi dengan emas di setiap sisinya. Berdiri tidak jauh di depan pintu masuk kapel mansion Lucca Alonzo yang di hias dengan perpaduan serupa, dihiasi mawar putih. Tidak menyangka jika Lu
Abigail tersenyum saat Lucca selesai memainkan lagunya. Berjalan mendekat dengan tatapan intens dan berhenti di depan altar menghadapnya. "Kau harus mengingat apa yang aku lakukan tadi karena aku tidak akan lagi mengulanginya untuk yang kedua kali." Abigail mengusap air matanya sembari tersenyum lucu. Menahan napas saat Lucca berjalan mendekat. "Anggap saja ini untuk mengganti lamaranku yang tidak sesuai dengan keinginanmu." Abigail mengangguk membuat Lucca tersenyum dan berdiri tepat di depannya. "Mungkin selamanya, aku akan berada di sisi yang gelap karena begitulah takdirku sementara kau, akan selalu aku jaga agar tetap bersinar meski aku sudah mematahkan sayapmu, menahanmu di sini dan bergantung padaku. Gaun hitam dibalik gaun putihmu ini sebagai lambang kalau kau bersedia bersamaku, menjadi penyeimbang. Hidupku sekarang adalah kau, Abigail." Lucca mundur dan mengulurkan tangannya, "Menikahlah denganku." Abigail mengulurkan tangannya tanpa keraguan, Lucca tersenyum dan membaw
Abigail tidak bisa mengendalikan debaran jantungnya sendiri saat langkah kaki Lucca semakin mendekati pintu kamar mansion pribadinya. Sementara Lucca sendiri, tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya sejak membawanya pergi, nampak begitu tenang tanpa keraguan sedikitpun. Abigail sama sekali tidak tahu kalau dia harus menghadapi Lucca di tempat tidur secepat ini bahkan dalam hitungan menit sejak mengucapkan ikrar pernikahan di depan altar. Biasanya selalu ada perayaan seperti ucapan selamat juga makan malam bersama tapi Lucca malah langsung membawanya ke kamar. Abigail dengan wajah merona memandangi wajah suaminya dari samping. Begitu tampan, tangguh dan berkharisma. Saat pertama kali bertemu dengannya di dermaga hari itu, tidak pernah terbayangkan kalau lelaki jelmaan devil setampan angel ini akan menjadi suaminya. "Kau akan melihat wajahku setiap hari, Abigail," ucapnya tiba-tiba, mengerling ke Abigail yang kepergok memandanginya dalam diam, membuat rona wajahnya makin tidak terk
"Lucca......" Nama itu yang malam ini berkali-kali keluar dari bibir Abigail yang merekah sembari menekan kedua telapak kaki ke lembutnya tempat tidur yang lututnya tertekuk di setiap sisi tubuh Lucca."Teriakkan namaku, Abi. Berteriaklah yang kencang agar aku bisa mendengarnya." Ditelengkan kepalanya ke samping saat Lucca menghisap lapisan kulit lehernya disertai bisikan lembut. "Kau sangat sexy."Perasaan yang diberikan Lucca tidak bisa Abigail tanggung sepenuhnya. Hanya dalam hitungan detik setelah melepas garternya, Lucca memberikan perasaan terbakar di seluruh tubuhnya yang membuatnya memekik kencang disertai jambakan rambut yang Abigail jadikan pegangan akibat rasa sakit yang semakin lama semakin membuatnya tidak lagi memiliki kendali diri, terlonjak seirama dengan gerakan Lucca yang merengkuh tubuh mungilnya di balik badan besarnya yang kokoh.Diantara suara rancauannya sendiri,geraman yang keluar dari bibir suaminya menciptakan lonjakan emosi yang mempengaruhinya sedemikian