Abigail sama sekali tidak mengenali siapa lelaki yang berdiri dengan senyuman angkuh di atas sana selain namanya, Artur. Seseorang yang pernah dia selamatkan dari kemarahan Lucca, hingga dia berikrar akan menjadi penjaga Abigail dan itu memang dia buktikan beberapa kali dengan pernah menolongnya hingga harus melawan keinginan Tuannya. Bagi Abigail, lelaki itu dia anggap seperti teman. Memberikan sedikit rasa tenang di hatinya juga rasa percaya bahwa dalam dunia mafia, masih ada yang memiliki kebaikan hati berlandaskan balas budi meski nyawa taruhannya.Namun apa yang Abigail lihat saat ini, juga kenyataan mengejutkan tentang motif Dom sesungguhnya, seharusnya Abigail tidak boleh mempercayai siapapun. Tatapan arogan, dagu yang terangkat angkuh, sikap permusuhan yang terlihat, aura kepemimpinan yang nyata, sikap menantang yang frontal, tidak memiliki rasa takut terhadap The Black Rose dan memiliki tujuan yang terpampang jelas sangat berbeda dengan Artur yang pernah dikenalnya yang di
DOR!DOR!DOR!Artur membidik Lucca yang sigap menghindar. Masing-masing anak buah mereka saling menembak dan melumpuhkan beberapa. Namun anak buah Lucca dengan cepat bisa di atasi. Yang tertinggal hanya Lucca seorang yang berkelahi dengan anak buah Artur. "Lemahkan dia!!!" Perintah Artur ke lima anak buahnya yang masih tersisa dan maju mengitari Lucca sementara dia sendiri mundur dari medan perang dan menunggu."Kenapa tidak kau saja yang melakukannya sendiri, hmm?" Lucca masih nampak begitu kuat, bahkan berani menantang Artur padahal dia hanya sendirian. Abigail hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa takutnya sendiri."Aku memiliki anak buah yang terlatih di sini, untuk apa aku mengotori tanganku. Kita akan bertemu sebentar lagi—" ucapnya dengan seringaian iblis. "Diujung nyawamu.""Pengecut!” decih Lucca sebelum menghajar dua lelaki berjubah yang bergerak mendekat. Gerakan kaki dan tangannya selaras, lincah menghindar dan memberi pukulan untuk keduanya. Abigail melihat dengan
"Cepat lemahkan pertahanannya," perintah Artur. Abigail sekarang mengerti apa yang Artur tunggu sejak tadi, jika Lucca sudah tidak sanggup membalas lagi, maka itulah waktunya Artur untuk memberikan sentuhan terakhir, yaitu membunuh Lucca."Go to hell....." desis Lucca. Maju menyerang yang paling dekat, dengan sisa-sisa kekuatannya dia menghindari serangan lawan yang memegang pisau hingga melihat sebuah tembakan yang tergeletak di antara mereka. Dengan gerakan cepat dia maju tanpa gentar, begitu juga penyerangnya yang mengacungkan pisau dan berakhir saling bertabrakan hingga Lucca terhempas ke belakang bersama lelaki itu di atasnya.Abigail ternganga, tidak tahu siapa yang akhirnya terluka karena tidak bisa melihatnya dengan jelas sampai ceceran darah seseorang tergenang di lantai. Artur bahkan ikut berdiri tegak, memperhatikan dengan seksama. Keduanya sama-sama belum bergerak bangun karena Lucca sendiri terlihat kesakitan. Napasnya naik turun tidak beraturan membuat Abigail ketakutan
Setelah menghabisi semua musuhnya tanpa ampun dan belas kasihan, Lucca mengarahkan tatapan bengisnya ke Abigail yang ketakutan. Salahnya karena mempercayai Dom yang ingin membalaskan dendam dan menjadi umpan untuk menjebak Lucca. Wajar saja kalau lelaki itu marah besar. Meski seharusnya Lucca tidak perlu datang hingga mendapat luka tembak, luka tikam dan juga pukulan menyakitkan yang membuat kepala, tangan dan kakinya berdarah. Abigail mengatupkan bibir, menatap mata Lucca dengan linangan air mata, begitu sedih melihat keadaannya. Meski berjalan agak sempoyongan, lelaki itu tetap mendekat dan berdiri tidak jauh di depannya masih dengan senjata api di tangan. Abigail harus mendongak untuk melihat wajahnya lebih jelas, terlihat begitu murka dan menakutkan. Terbelalak saat Lucca mengarahkan mata pistolnya ke kepala. Apakah ini saatnya dia mati? Abigail tidak tahan melihat mata merah yang begitu dingin itu dan memilih menundukkan pandangan seraya memejamkan mata. "Aku akan selalu mend
Flashback On Lucca POV Roma, Italia Seharusnya mudah saja bagi Lucca untuk melenyapkan Dom saat masih berada di mansionnya. Sejak menjadi tawanan akibat kesepakatan, Lucca tidak pernah mempercayai laki-laki itu sekalipun dia tidak pernah melakukan hal yang membahayakan nyawanya. Namun sikap Dom selama ini justru dianggap Lucca seperti duri dalam daging yang sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman yang mematikan bagi dirinya. Dendam itu pasti ada di dalam hatinya dan Lucca yakin, selama bertahun-tahun, Dom pasti memikirkan cara agar dia bisa bebas darinya dan kembali ke kehidupan mafia yang selama ini telah mengasingkannya. Sama seperti Dom, Lucca juga melihat kesempatan untuk membongkar kedoknya lewat sosok Abigail. Lucunya, pemicu hal itu karena Dom merasa yakin jika Abigail adalah sosok wanita yang berbeda di matanya. Padahal Lucca sama sekali tidak melihatnya seperti itu. Wanita lemah itu tidak boleh mempengaruhi pikirannya. Namun dia biarkan saja Dom mengira jika memang begitulah
Namun di sisi lain, ada kemarahan yang tidak bisa dijelaskan Lucca pada dirinya sendiri hingga sampai memburu lelaki bajingan yang menyamar itu dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Lucca menarik keluar kertasnya dan terdiam membeku. Dibuangnya amplopnya begitu saja dan matanya menyusuri barisan-barisan kalimat yang ada di sana dengan fokus hingga sampai pada hasil diagnosa yang membuat amarahnya menggelegak tanpa bisa dia tahan. "BRENGSEK, DOMINIC!" Tanpa sadar mulutnya memaki begitu saja dengan kedua tangan mengepal penuh amarah hingga membuat kertas hasil pemeriksaan menyeluruh Abigail terlipat menjadi dua. ******* Napoli,Italia "Mereka ada di San Marino." Lucca bergeming mendengar informasi yang diberikan Serafine, duduk di balik meja kerjanya di mansion, menegak whiskeynya tanpa henti sembari mengamati foto-foto yang tersebar di atas mejanya yang sengaja dikirimkan seseorang entah untuk tujuan apa, Foto-foto yang lebih banyak menampilkan wajah Abigail dari berbagai
San Marino, Italia Entah apa yang membawa kakinya sampai ke San Marino sendirian tanpa anak buahnya mengetahui, bahkan Serafine yang dia utus untuk menangkap Dom juga Abigail. Meski rumah besar di puncak bukit itu berpengawal cukup banyak, mudah saja bagi Lucca untuk sampai di balkon salah satu kamar yang rencananya akan dia gunakan untuk masuk dan mengintai. Dia sendiri tidak tahu apa tujuan dia melakukan hal itu tapi saat mendapatkan kembali akal sehatnya, dia sudah berada begitu dekat dengan tempat di mana Abigail berada. Dia berada di persimpangan yang mengharuskan dia memilih. Akal sehatnya atau perasaan tidak diundang yang entah sejak kapan muncul di dalam dirinya. Meski pada akhirnya, setelah perang batin yang membuatnya seperti lelaki lemah, saat mengetahui Serafine sudah dekat, tubuhnya sudah berada di balik salah satu pintu balkon. Batapa ironis dan menyedihkannya dirinya yang tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya sendiri. Lucca bergeming di balik
Dua minggu kemudian, Napoli, Italia "Tuan..." "Aku tidak mau mendengar berita apapun tentang Abigail!" Serafine bungkam saat Lucca menatapnya tajam penuh ancaman agar tidak meneruskan laporannya. Setelah dari San Marino dan menyadari ada yang salah dengan dirinya, Lucca memilih untuk tidak mempedulikan apapun. Lebih tepatnya, berusaha untuk menganggap Abigail bukanlah siapa-siapa. Dia tidak mau dipengaruhi tanpa sadar seperti waktu itu hingga membuatnya melakukan hal-hal yang menentang akal sehatnya. "Dimana Dom?" "Maroko." Lucca menghempaskan tubuhnya di kursi besarnya dengan tangan saling terkait di depan dada. "Kau sudah tahu siapa sekutu yang membantunya?" "Belum. Kendra menghilang dari mansion dan mata-mata kita mengatakan jika dia bersama dengan Dom." "Bunuh wanita itu jika kau bertemu dengannya di sana. Dia sama penjahatnya dengan mereka," sela Lucca. "Baik Tuan." "Lalu, dimana Artur?" "Belum ada informasi apapun. Dia menghilang sejak di San Marino dan tidak ikut den