Seminggu berlalu setelah kematian Brianna yang menyedihkan, Abigail tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri untuk tidak mencemaskan keadaan Lucca Alonzo. Begitu penasaran, bagaimana keadaan laki-laki itu saat ini setelah mengungkap sedikit kepedihan yang dia simpan rapat sejak bertahun-tahun lalu. Pasti begitu berat baginya mengingat semua hal itu. Kepedihan memang sanggup membuat seseorang berubah total. Apa mungkin sebenarnya laki-laki itu tidak seseram apa yang dia tampakkan saat ini? Abigail tidak bisa berhenti memikirkan seperti apa sosok Lucca Alonzo yang sebenarnya jika semua kesakitan itu tidak menghampiri kehidupannya. Mungkin, semua itu akan menjadi sebentuk pertanyaan yang akan terus menguap di batin Abigail, tidak mungkin terjawab karena untuk melihat sosok aslinya membutuhkan pengorbanan yang besar. Seperti memaksanya mengalami kesakitan itu lagi. Jika saja Lucca mau merelakan dan berdamai dengan masa lalunya, mungkin laki-laki itu bisa menjadi seseorang yang lebih
Abigail tersentak, "Siapa?" "Seorang pria pastinya," kekehnya. "Sahabat baikku. Nanti aku akan mengenalkan kalian dan dia bisa sangat diandalkan." Geovani nampak begitu bersemangat, entah karena apa. "Ah, aku begitu excited dengan pesta ini lebih dari sebelumnya." Tatapannya melembut, seakan Abigail adalah sesuatu yang tidak terduga dia libatkan. Geovani mengusap telapak tangannya sendiri, nampak senang, "Kau pasti akan menikmatinya." Abigail spechless, apa dia pantas diperlakukan seperti ini. "Tidak usah Tuan. Saya tidak mau merepotkan. Sebaiknya saya pergi ke pesta sendirian saja." "Ck, sendirian?" Geovani menggelengkan kepala. "Bisa berbahaya jika tidak ada yang menjagamu karena kau bisa mengundang banyak lelaki buas untuk mendekat dan memaksamu bersamanya. Kau ikuti saja perkataanku ya." Abigail tidak memiliki pilihan selain mengangguk. "Good. Kau hanya harus menikmati pestanya." "Tuan muda, apa anda sudah bertemu dengan Tuan Lucca?" Abigail nekat bertanya. "Lucca?" Tanyanya
"Abigail, kuperkenalkan kau dengan tiga wanita penting dalam hidupku." Tuan muda Geovani bergerak mendekati ibunya, melingkarkan lengannya di leher dan memeluknya dari belakang. "Ini ibuku. Kau bisa memanggilnya nyonya Carla." Sebelum beralih ke wanita yang satunya, Geovani mengecup pipinya penuh sayang. "Kalau yang ini adik perempuanku, Obelia." Geovani merangkul dan mengacak rambutnya."Ahh, kau merusak rambutku yang baru keluar dari salon. Menjauhlah sepuluh meter dariku," dengusnya kesal, yang dibalas kekehan Geovani. Obelia kemudian menatap Abigail dari atas sampai bawah. "Jadi wanita ini yang harus aku seret ke salon. Hmm." Obelia mendekati Abi yang berdiri kaku dan berputar mengelilinya seperti sedang menilai sesuatu. "Gaun yang kau bawa itu benar-benar sesuai dengan tubuhnya. Aku sudah tahu harus merubahnya seperti apa.""Good, adikku yang cantik. Aku serahkan masalah itu padamu."Abigail kaget saat Obelia tersenyum tipis saat melewatinya untuk kembali ke tempatnya."Nah wanit
Nyonya Carla mengangguk, menepuk lengannya dan berbalik pergi menuju pintu. Geovani langsung bergerak mendekati ibunya dan merangkulnya, "Aku akan menemaninya ke bawah. Kau tinggallah bersama Obelia dan Caroline dulu sini." Abigail mengangguk, menatap punggung wanita paruh baya itu yang masih cantik dan gusar karenanya. Ada sesuatu yang begitu mendesak ingin dia tanyakan tapi merasa tidak pantas menanyakannya. Abigail meremas tangannya dengan kuat dan berperang dengan dirinya sendiri. "Nyonya Carla," ucapnya saat Tuan Muda Geovani membuka pintu, membuat keduanya kembali berbalik menatap Abigail yang bergerak mendekat. "Maaf saya begitu lancang, tapi apa boleh saya bertanya sesuatu?" "Apa itu? Kalau aku bisa menjawabnya maka aku akan menjawab." "Nyonya Carla sangat mirip dengan mendiang Nyonya Rose. Apa kalian kembar dan itu sebabnya Tuan Lucca tidak mau bertemu dengan anda karena akan mengingatkanya pada ibunya?" Abigail mendengar seseorang terkesiap, tapi dia tidak terlalu mempe
Bastian tersenyum dan mengulurkan tangan mengajak berdansa. Abigail menelan salivanya, mengulurkan tangan meski takut dan terkesiap kaget saat Bastian menariknya maju hingga dia terdorong ke depan sementara dia pindah posisi ke tempatnya tadi hingga Abigail bisa bertatapan begitu dekat dengan Lucca Alonzo yang balik menatapnya. Dengan tangan lainnya yang bebas, Abigail berusaha menggapai Lucca tapi tautan tangannya dengan Bastian menariknya kembali dan memaksanya berpaling dari Lucca hingga masuk dalam pelukan Bastian yang memegang erat pinggangnya dan mereka berdansa di sana."Apa sebenarnya yang kalian harapkan dariku?" Tanya Abigail."Sedikit petunjuk." Bastian mengeratkan pelukannya, mengecup bahu Abi yang bebas masih sambil berdansa. "Sedikit harapan terselubung bagi Geovani.""Aku tidak mengerti.""Lucca Alonzo adalah orang yang sangat Geovani kagumi. Dia sudah lama berharap, saudaranya itu bisa keluar dari masa lalunya. Mungkin rasa bersalah yang membuatnya tidak bisa benar-ben
Abigail menatap gaunnya kemudian menatap Lucca yang memalingkan wajah dan membawa Grecie pergi. Abi menatap tidak percaya keduanya yang meninggalkannya begitu saja. "Kau tidak apa-apa," tanya Bastian, memberikan sapu tangannya agar Abi bisa membersihkan gaunnya. "Tidak apa-apa." "Dia berpura-pura tidak menganggapmu ada tapi dia peduli dengan keberadaanmu disini. Menarik." Abigail mendengkus, "Karena aku pelayannya." "Kemarilah." Bastian menariknya pergi mendekat di mana Lucca berada. "Tuan Rafael, bagaimana kabar anda hari ini?" Lucca kembali menatap Abigail yang berada dalam dekapan Bastian. "Aku dengar anda akan menyambut kelahiran putri ketiga." "Kau anak muda yang sibuk tapi masih sempat mendengar berita itu ya," ucap Lelaki tampan di depannya yang kemudian menatapnya. "Dia kekasih barumu?" Bastian tertawa, "Cantik sekali bukan? Doakan saja dia mau menjadi belahan jiwaku di masa depan." Abigail mengerjap, melirik sekilas Lucca yang meminum anggurnya sembari menatap ke ara
Tidak perlu mengonfirmasi di mana ia berada sesaat setelah terbangun dari tidurnya yang terasa melelahkan. Keluar dari kegelapan yang melingkupi seakan berada di antara ketiadaan. Yang terekam jelas dalam ingatannya berupa rasa sakit yang menjalar dalam perutnya yang terasa membakar. Sungguh sebentuk perasaan yang tidak ingin diingatnya lagi. Beruntung, dia masih bisa melihat dunia. Abigail menarik napas panjang, aroma obat-obatan terasa menguar dengan jelas di indra penciumannya, mencoba meredakan gemuruh dadanya yang berdetak cepat saat mengingat tatapan terkejut Lucca malam itu. "Thanks God." Seruan bernada penuh kelegaan itu menarik Abigail dari bayangan akan Lucca Alonzo. Ditolehkan kepalanya ke samping dan menemukan senyuman hangat Tuan muda Geovani. "Akhirnya, kau sadar juga Abigail." "Tuan muda." Geovani mendekatkan duduknya di samping ranjang Abigail, "Bagaimana keadaanmu?" Abigail melihat selang infus yang mengalirkan cairan bening ke tubuhnya sebelum menjawab, "Aku me
Abigail tersenyum miris, tahu dengan pasti kalau Lucca memang memiliki rencana terselubung mengumpankan dirinya, "Maaf jika aku mengecewakanmu, Tuan muda." "Tidak. Jangan minta maaf seperti itu. Seharusnya kau marah karena harus mengalami hal mengerikan seperti ini." Bagaimana Abigail bisa marah melihat tatapan menyesal di mata lelaki tampan itu. Abigail terdiam begitu juga Geovani sampai tatapan mata Alonzo yang terkejut dan gerak refleknya yang langsung terjun dari lantai atas terbayang kembali. "Apa Tuan Lucca yang membawaku ke sini?" tanyanya, entah kenapa penuh harap. "Lucca?" Geovani tersenyum tipis. "Tidak. Bastian yang menggendong dan membawamu ke rumah sakit bersamaku." Harapan itu langsung musnah seperti bunga yang layu. "Oh." Hanya itu yang bisa Abigail katakan. Diremasnya tangannya seraya menunduk. "Saat itu aku pikir melihatnya.." "Loncat dari atas?" Abigail mengangkat pandangan, menatap Geovani. "Dia memang melakukannya. Sampai lebih dulu di dekatmu sebelum aku