Arbia tersentak ketika mendengar suara tembakan dan suara gaduh dari salah satu lorong rumah sakit. Baru saja kakinya meŕnginjakan di koridor rumah sakit bersama sang kakak, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor oerusahaan Praditia.
Dilihatnya tibuh Axelle melesat jauh mengejar sesosok bayangan yang larinya seperti siluman. Seisi rumah sakit gempar dengan kejadian itu.
Bukan tengah malam atau subuh dini hari seperti yang pernah menimpa Arbia. Tapi ini siang bolong. Pelaku penembakan itu bertindak anarkis.
Tak selang beberapa lama terdengar suara yang membuat seisi rumah sakit dan semua orang yang mendengar teriak histeris.
"BOOM--MM!" Pelaku itu meledakan sebuah bom molotof berukuran kecil tapi mampu membuat Axelle terpelanting, tanpa persiapan sam sekali.
Tubuh Axelle Narendra terpelating dan menabrak parkiran motor yang berada tepat di samping gedung rumah sakit.
"BRAKK--KK! Aaa--aaa!"
Tubuh kekar kalten muda itu
Arbia terduduk lemas di sisi pembaringan mendengar ucapan terakhir yang disampaikan Axelle. Hatinya seolah tercabik-cabik mendenhar kalimat itu. Dia tahu saat ini masa paling menyakitkan buat kekasihnya. Di mana dokter memvonis dirinya cacat untuk sementara waktu. Karena ke dua kakinya menghantam lantai waktu kejadian tragis kemarin. Tuhan sedang menguji sang kapten, dia sedang di fase yang tidak begitu sempurna. Ketegarannya sebagai laki-laki yang berjuluk kapten sedang dipertaruhkan. Miris kedengarannya, seorang kapten polisi dalam zona terpuruk dan seakan tidak mampu menerima sebuah kenyatasn pahit. Arbia seolah menulikan telinganya dengan kenyataan laki-laki muda yang berperawakan tinggi besar itu. Dia berusaha mengacuhkan segala yang ada di hadapannya. Dengan tangan thremor gadis cantik itu menarik selimut yang awalnya menutupi kedua kaki kekasihnya lebih ke atas lagi. Dengan sabar dan telaten dia membaringkan tubuh sang kekasih. "P
Di ruangan yang luas itu terbaring seorang laki-laki yang belum sadarkan diri. Dia masih tertidur pulas dengan tidur panjangnya. Di sisih pembaringan seorang wanita yang dengan mata tajamnya mempehatikan tubuh laki-laki itu seolah-olah dia tidak ingin membiarkan kalau-kalau sewaktu sadar laki-laki itu seorang diri. "Masih belum sadarkan diri?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke ruangan itu. Kenapa dia nggak sadar-sadar?" tanyanya balik ke arah seseorang yang baru datang, tak lain dokter muda yang berwajah seperti bayi itu. Imut dan tampan. "Bersabarlah, semoga fisiknya bisa membuat dia bertahan. Kemarin dia sempat kehilangan banyak darah." "Alex, bisakah kamu menyingkirkan wanita muda itu? Dia menghalangi hubunganku dengan Praditia." "Harus seperti itu? Apa nggak cukup dengan manipulasi kamu seperti ini Fely?" tanya Alex, dokter mudan nan tampan itu sambil meletakkan berkas laporan kesehatan Praditia. "Saat ini Aku hanya img
Axelle menatap tajam ke arah Gama. Dikiranya laki-laki yang masih memakai seragam kebesaran itu hanya bercanda. Namun ternyata wajah Gama menunjukkan keseriusan. "Kamu nggak lagi sedang bercanda Gama?!" Pertanyaan tegas itu membuat Gama spontan menggeleng. "Jadi, siapa yang kamu maksud itu?" tanya Axelle penasaran. "Handoko Tri Wibowo. Ayah dari perempuan yang bernama Felysia Adnan. Dia musuh bebuyutan Soepomo Hadiningrat. Ayah kandungmu!" Ada nada penekanan ketika Gama Pramudia mengucapkan nama ayah dari sahabatnya itu. "Musuh, papa?" Axelle memgerutkan dahi kuat-kuat. Mencoba mengingat siapa lali-laki yang namanya disebutkan sahabatnya itu. Sepertinya memang ayahnya nggak pernah menceritakan orang-orang di masa silamnya kecuali teman-teman satu gengnya dia. Tapi ini musuh bukan teman! "Sabotase kebakaran di sel tahanan kemarin adalah pak tua ini. Tujuannya akan menculik Praditia, namun sayang anak buay yang diutusnya gagal." Kembali
Arbia menyambut uluran tangan wanita yang umurnya terpaut agak hauh dengannya itu. Wanita bertubuh langsing, berambut cokelat dan berkulit putih seoerti bule itu tersenyum ramah. "Arbia Siquilla," sebutnya memberikan jawaban atas keramahan senyum kliennya. "Senang bertemu denganmu dan bisa bekerja sama denganmu, Nona Arbia." kembali ucapnya dengan senyum ramah. Lagi-lagi Arbia tersenyum tipis namun mengesankan. Gadis muda ini menampakan performennya yang begitu sempurna. "Mari kita bisa memulai membaca kontrak masing-masing. " Arbia memberikan beberapa berkas kepada Fely untuk diperiksa dan dipelajari. Tak selang lama, OB datang mengantarkan minuman. "Begitu sempurna pelayanan yang diberikan oleh perusahaan Anda, Nona, padahal saya dengar pemilik aslinya sedang berada di hotel prodeo karena beberapa kasus menimpanya dan dinyatakan meninggal setelah terjadi peristiwa tragis di sel tahanan itu. Kembali Arbia tersenyum ramah dan anggun. G
Kondisi Arbia semakin parah sesampainya di rumah sakit. Tim dokter mengharuskan Arbia masuk ruang ICU. Arka dan kedua orang tuanya menunggu di ruang penungguan dengan cemas. Lagi-lagi gadis ini harus masuk keruang ICU. Tak beberapa lama dokter yang menangani Arbia ke luar dari ruang ICU. "Dok, bagaimana kondisi adek saya?" tanya Arka panik. "Adik Anda terkena demam berdarah, trombositnya sangat menurun drastis. Setelah ini kita akan bawa ke ruang perawatan. Nanti setiap hari kita akan tes darah untuk melihat kenaikan trombositnya." jelas dokter itu. Arka meraup wajahnya yang panik. Dan merangkul kedua orang tuanya. "Setelah Arbi dipindahkan ke ruang perawatan, sebaiknya Papa dan Mama pulang, ya?" ujarnya pada orang tuanya. Zakaria Lawalata menarik napas sendu. Ada raut muka kesedihan jelas terlihat di sana. "Papa, jangan khawatir ya, Arbi pasti baik-baik saja." kembali ucapnya meyakinkan orang tua yang terlihat se
"Uhh-hh!" Axelle meringis teramat sangat, menikmati sakit yang luar biasa dasyatnya. Kedua kaki lumpuhnya terhempaskan ke lantai tanpa bisa dia kontrol. Dia meregang marah, mencaci dalam hati. Memgumpatkan segala kata kekesalan yang terlintas di dalam benaknya. Beberapa suster beserta dokter Celine tiba di ruangannya dan terkejut mendapati sosok laki-laki itu sudah terdampar di lantai kamar VIPnya. "Axelle! Ya Tuhan, kamu nggak apa-apa, kan?" Celine panik melihat kondisi laki-laki yang pernah masik dalam kehidupannya itu. "Sus, tolong cek, tensi dan kondisi pasien, ya," titahnya pada perawat yang hari itu bertugas dibawah timnya. "Baik, Dok," Axelle hanya membisu membiarkan perawat itu menyentuh tangan dan dadanya. Pandangannya kosong, ada kehampaan di sana di mata hazel itu. Keputus asaan yang berkesan menyerah menghantui dan menggrogoti laki-laki tampan itu. "Axelle, sepertinya kamu membutuhkan psikiater,"ucap Celine setelah perawat
Dengan susah payah dan tertatih bahkan sampai terjatuh-jatuh Axelle menuju lift yang beberapa menit yang lalu membuat bayangan Felysia Adnan menghilang dengan membawa tubuh Arbi yang masih belum sadarkan diri. Tanpa menunggu lama Axelle melewati tangga darurat, berlari tanpa menghiraukan sakitnya telapak kakinya yang telanjang tersaruk oleh lantai. Di lantai dasar tanpa sengaja bertemu dengan dokter Celine dan Gama yang saat itu akan menjenguk Arbia. Mereka terkejut melihat Axelle dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Axelle berlari dengan kaki telanjang dan terlihat lecet-lecet. Tapi bukan itu yang membuat Gama dan Celine terkejut "Axelle! Kamu--" "Gama! Cepat lari ke parkiran, Arbi diculik!" suara Axelle terengah, tubuhnya merosot ke bawah dan terxuduk lemad. Celine dan Gama terkejut. "Apa!" Gama secepat kilat menyambar HT-nya dan memerintahkan anak buahnya untuk segera bertindak. Tak lama kemudian Kai bersama timnya sudah bergerak m
Arka benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya. Benarkah itu dia? Laki-laki yang ada di kursi roda itu-- Berkali-kali Arka meraup mukanya, mencoba memberi keyakinan pada dirinya sendiri bahwa pria itu adalah orang yang selama ini sudah meninggal dan dikubur. Dengan ragu tapi penasaran sosok tampan itu mendekati kursi roda itu menatap dan mengamatinya dengan seksama. Iya benar! Memang itu Praditia Wicaksana, seorang laki-laki yang sudah dinyatakan meninggal setelah ditusuk seseorang di dalam penjara. Laki-laki yang masuk bui karena kasus bisnis ilegalnya dan kejahatannya lain yang dilakukannya. Seorang laki-laki yang mempunyai banyak perusahaan dan dilimpahkannya pada seorang kapten muda yang sangat ia percaya. Dan sekarang! Laki-laki itu ada di depannya, duduk di kursi roda dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ada rasa bahagia dan juga terharu melihat sosok yang selalu ia panggil sepupu itu masih nyata hidup di depannya. Meskipun kondi
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin