Arka benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya. Benarkah itu dia? Laki-laki yang ada di kursi roda itu--
Berkali-kali Arka meraup mukanya, mencoba memberi keyakinan pada dirinya sendiri bahwa pria itu adalah orang yang selama ini sudah meninggal dan dikubur.
Dengan ragu tapi penasaran sosok tampan itu mendekati kursi roda itu menatap dan mengamatinya dengan seksama.
Iya benar! Memang itu Praditia Wicaksana, seorang laki-laki yang sudah dinyatakan meninggal setelah ditusuk seseorang di dalam penjara. Laki-laki yang masuk bui karena kasus bisnis ilegalnya dan kejahatannya lain yang dilakukannya. Seorang laki-laki yang mempunyai banyak perusahaan dan dilimpahkannya pada seorang kapten muda yang sangat ia percaya.
Dan sekarang! Laki-laki itu ada di depannya, duduk di kursi roda dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ada rasa bahagia dan juga terharu melihat sosok yang selalu ia panggil sepupu itu masih nyata hidup di depannya. Meskipun kondi
Mampir lagi, ya--
Ketika membuka mata yang terlihat di situ hanya dedaunan dan hamparan luas seperti pemandangan alam. Ada rasa pedih di seluruh tubuhnya.Di sampingnya seorang wanita juga tengah mengerjabkan matanya dengan liar menyapu ke sekeliling. Yang terlihat hanya hamparan luas, seperti di alam bebas.Ketika mereka saling menoleh dan berhadapan,"Kamu," ucap wanita yang tak lain Felysia Adnan dengan kondisi yang berantakan. Baju lusuh dan kotor, rambut dan kulitnya kotor oleh tanah."Kenapa kita bisa di sini Cathrine?" tanyanya pada wanita di sebelahnya yang tak lain adalah Cathrine."Ini semua ulah ayah kamu, Fely! Kejam sekali anak buah ayahmu. Bisa-bisanya membuang kita di hutan larangan begini.""Hutan larangan?" Felysia mendelik mendengar ucapan Cathrine. "Ini di alam bebas Cathrine, bukan hutang. Gimana sich kamu?" gerutu Fely sambil beranjak duduk dan mengibas-ngibaskan kotoran dedaunan yang menempel di tubuhnya."Fely, sepert
Fely semakin melenguh merasakan kenikmatan yang luar biasa yang diberikan oleh Christ. Dia luluh, mengaku kalah dengan kejantanan pria itu. Semakin direngkuhnya tubuh laki-laki itu. Christ semakin menjadi. Dia lupa siapa dirinya siapa Fely. Dituntaskannya hasrat yang selama ini dipendamnya. Ketika pelepasan yang menyisakan jeritan erotis itu berakhir, baik Fely dan Christ sama-sama terkulai di balai-balai mereka bersembunyi dari anak buah Gama dan Kai.Beberapa kali Christ memberikan kecupan cinta pada wanita yang umurnya berselisih jauh diatasnya itu. Terlihat Fely masih mengatur napasnya yang tersengal. Dia menoleh ke arah sang pria yang beberapa menit yang lalu memberikan kepuasan."Masih banyak nanget cairannya di dalam sana," bisik Christ sambil jemarinya kembali merasuk ke pangkal paha Fely. Muka bersemu merah itu kini nerubah sendu dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kita keluar dari sini dulu, setelah itu kita puaskan semuanya." ucap Christ mena
Axelle mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba serasa tidak normal menurutnya. Sebenarnya siapa yang nggak normal? Kekasihnya atau dirinya? Akh! Ada apa sebenarnya ini? Kenapa tiba-tiba dia hilang ingatan begitu. Apa separah itu waktu kejadian tragis itu? Axelle menggelengkan kepalanya beberapa kali, mencoba untuk menghilangkan prasangka buruknya. Seketika dia menekan alarm yang tepat berada di belakang sandaran tempat tidur. Dia harus memastikan sebenarnya ada apa dengan kekasihnya. Bahkan kondisinya jauh lebih baik daripada dirinya. Kenapa malah sekarang keadaanya seperti ini? Beberapa menit kemudian dokter sudah datang, namun senelum memeriksa Arbia, dokter itu ditarik paksa oleh Axelle. Dan kapten muda yang pinya akses pesona bejibun itu menceritakan semua yang terjadi saat Arbia bangum dari tidurnya dan mulai tidak mengenalinya. Dokter yang menangani Arbia mrmgangguk-angguk paham. Dia mengerti situasi seperti ini akan terjadi. Dan meminta Axel
Axelle denhan geramnya memimpin sendiri penangkapan terhadap Handoko Triwibowo. Dia sedikit kesal ketika komandan Li seolah tak mau memberilan surat penangkapan untuk laki-laki tua yang berulah itu. Namun dengan kejujuran Axelle bahwa sang ayah sedang disandera, komandan Li dengan geramnya langsung mengeluar titahmya pada anak buahnya dan memberikan wewenang sepenuhnya pada kapten Axelle untuk menangkap hidup-hidup atau bahkan kalau memang tidak bisa di adili biarlah pengadilan kematian sang khalik yang akan menghukumnya. Sungguh ngeri ucapan laki-laki berbadan tinggi besar itu mana kala rasa marahnya sudah menguasainya. Bukan tanpa alasan dan bukan hanya karena Handoko saat ini sedang menculik dan menyandera ayah dari kaptennya yang membuatnya memberikan titah bahkan memberikan surat penangkapan terhadap laki-laki bertubih bandot itu. Tapi karena beberapa menit yang lalu dia mendapat berita terbaru bahwa Handoko juga terlibat kasus jual beli wanita di
Hati Axelle mecelos mendengar suara tembakan itu. Degub jantungnya memburu betddtak tidak normal. Rasanya seperti mau meloncat menyaksikan tubuh itu tersungkur ke lantai. Darah segar seketika meleleh di keramik putih itu. Peluru itu tepat mengenai dada sebelah kiri. Tapi belum mati, masih banyak napas. yang yang dihirup akibat tembakan itu. Sedetik kemudian, tembakan sambung menyambung dari anak buah Handoko. Sedang Axelle seolah masih tak percaya melihat tubuh besar itu ambruk tak berdaya, tapi masih sempat menyeret tubuhnya untul pergi dari tempat itu. Axelle merutuk berkali-kali dengan kondisi kakinya yang tiba-tiba lemes dan tidak bisa di gerakkan. Seolah tak punya tulang, tak mampu mengejar laki-laki yang tertembak itu. Iya! Dia Handoko Triwibowo. Laki-laki yang tertembus peluru itu adalah bandot tua yang bengis dan sadis. Yang lebih menherankan lagi dan sangat menakjubkan adalah si penembak amatir itu adalah orang yang seharusnya dilindungi oleh Axelle.
Mata Axelle masoh mengerjab-ngerjab tak percaya dengan panggilan sayang itu. Fan gadis bertubuh kecil tapi padat itu seolah meledeknya dengan gaya khasnya. Dengan dengusan kekesalan Axelle terus berjalan dengan cepat tanpa ia sadari bahwa kedua kakinya benar-benar sudah normal dan kembali seperti semula. "Kap, ya Tuhan! Kakinya sudah normal kembali,"teriak Kai yang girangnya bukan main melihat kaptennya sudah kembali normal seperti semula. Dan gadis muda yang berjuluk reporter muda dengan sejuta talenta itu sibuk memiringkan cameranya dan sesekali tersenyum melihat obyeknya hanya memajukan bibirnya. "Buat Headline hari ini, Sayang," bahkan tanpa merasa bersalah sama sekali gadis itu semalin menjadi mengambil potret-potret kekasihnya. Arka memeluk bahu adiknya dengan lembut dan halus. "Hei, jaga jarsk. Kalian nggak boleh dekat-dekat dan berkerumun begitu!" warning sang kapten ketika melihat sang kekasih didekato begitu mesra oleh sang kak
"Happy Birth Day To You, Kapten__!" Suara itu serentak dan kompak bahkan ada taburan kertas warna-warni yang tepat mengena di kepala Axelle. Sorak sorai banyak orang di situ. Axelle Narendra, laki-laki itu terkesima sempurna melihat kejutan yang disiapkan untuknya. Mata kapten muda itu nanar menyapu ke segala arah. Di ruangan yang cukup luas dan besar itu sudah direnov sedemikian rupa. Cukup mengejutkan, mewah dan terkesan di hati. Di pandangannya yang tajam bak mata elang, dia melihat banyak orang-orang terkasihnya. Ada ayah dan ibunya, seluruh anak buah dari satuan kepolisian, teman-temannya di kantor dan perusahaan yang baru dikelolanya dari praditia dan yang pasti orang terkasih dan terpujanya, sang kekasih Arbia Siquilla. Dan dia yakin, semua yang terjadi hari ini adalah konspirasi dan skenario yang cerdas dari sang gadis. Tak terasa air matanya sudah jatih dipipi putihnya. Kakinya yang tadinya yerseok dia tegakkan untuk membuktikan kepada semua orang yang
Hati Intan Pratiwi mencelos ketika disadarinya di sampingnya sudah ada dua orang yang familiar di dunia kepolisian. Rasanya jantung gadis itu hampir berhenti berdetak ketika salah satu dari polisi itu meminta kesediaannya menjadi saksi dalam persidangan Cathrine, dan di sana juga akan dihadirkan sang pemilik perusahaan Praditia Wicaksana yang sekaligus tersangka penculikan Arbia Siquilla dan pembisnis illegal senjata tajam hampir di seluruh wilayah asia. "Nona Intan, Anda bersedia bukan?" Pertanyaan itu menghenyakkan lamunan Intan. Dia gelagapan mendapat pertanyaan semacam interogasi itu. "Saya bingung, kenapa harus saya yang jadi saksi. Bukankah banyak saksi yang lebih memberatkan nona Cathrine dibandingkan saya?" "Karena kamu satu-satunya orang yang paham seluk beluk Praditia Group selain nona Arbia Siquilla," sambung laki-laki yang menyandang gelar sang kapten itu. Dan mematahkan kegugupan Intan Pratiwi. Intan Pratiwi menelan salivanya dengan perla