Aku tertegun, menatap sebuah surat yang ketemukan dalam sebuah kotak kecil bersama kenangan lainnya yang kusimpan rapi di dalam laci. Tanganku bertegar membaca setiap baris kata yang tertulis.23, September 2018Untuk hatiku yang telah terbang ke sana.Bagaimana kabarmu?Sudahkah kamu bersemayam?Ah, aku malu mengatakan ini, tapi hati yang telah terbang pada mu, tidak bisa kupinta untuk kembali.Maukah kamu memberinya sedikit air agar ia bisa tumbuh, sedikit saja Kirana, agar ia tidak mati.Meskipun ia tidak sempat berbunga, tidak apa, meski pun ia sulit tumbuh, tidak apa, akan kupastikan ia bertahan.Kamu tahu aku tidak pandai berkata, apalagi bertatap muka, aku takut tidak bisa memberimu banyak cinta karena ia lebih dulu pergi meninggalkan hatiku dan memilih hatimu sebagai tempatnya beradu.Aku hampir kering Kirana, setelah sebelah hatiku memutuskan untuk pergi padamu, bisakah aku tanyakan bagaimana kabarnya di sana?
Hatiku gerimis, tersiram perih yang membuatnya terluka, goresan-goresan rasa sakit yang Mas Irawan torehkan sebelumnya, ternyata bersatu menjadi luka yang besar saat ia mengatakan dengan jelas kalau aku bukanlah istrinya.Selama pernikahan kami, ia memang tidak pernah sekali pun mengucap cinta, kukira mungkin karena ia tak pandai mengungkapkan rasa. Tidak sekali pun ia memperlakukanku seperti ratu, kukira mungkin karena ia terlalu sibuk dan lelah mencari nafkah. Tidak pernah sekali pun ia bertanya, apakah aku baik-baik saja? kukira karena ia selalu dapat melihatku seperti biasa. Aku sibuk memikirkan alasan ketiadaan cinta di antara pernikahan kami agar ada alasan untukku bertahan, sedang aku lupa melihat kedalaman hatinya, apa yang ia lihat tentang cinta yang selama ini kuberikan?Dan,Jawabannya, sungguh mengejutkan. Jangankan cinta, ia bahkan tidak mengakuiku sebagai istrinya, perempuan yang ia halalkan di depan penghulu dua tahun lalu.Setelah kudengar itu, jangan lagi kamu tanyak
Malam beranjak naik, aku sangsi karena hanya berdua dengan Atha di rumah ini, takut malah jadi fitnah, hatiku sedikit gelisah, meski pun yakin tidak akan terjadi apa-apa pada kami, tetap saja rasa was-was itu ada.Sesaat kemudian kudengar suara orang sedang bercakap-cakap di lantai bawah, Atha bicara dengan siapa? aku keluar dan menengoknya, ada seorang perempuan di ruang tengah.Mungkinkah itu pacar Atha? apa yang harus kulakukan? bagaimana kalau dia salah paham saat melihatku di rumah ini?Pelan aku hendak kembali ke kamar, takut malah membuat suasana menjadi keruh, “Kirana kemarilah!” Tiba-tiba Atha melihat dan memanggilku.Sudah terlanjur terlihat, ya sudahlah, aku berjalan mendekati mereka, “Hallo Mbak Kirana, saya Talita teman kantornya Atha." Perempuan cantik itu mengulurkan tangannya.“Hallo,” jawabku ragu, jauh sekali penampilanku dengan Talita, dia terlihat cantik dan fress. Sedangkan aku? udah kucel, lemak berlebih pula.“Kalau begitu aku akan kembali, silahkan teruskan,” u
Aku memasukkan alamat rumah Anna dari kartu nama yang diberikan Mas Haidar ke google Map, dan mengikuti arahannya, tidak terlalu jauh dari sini, hanya 45 menit sudah bisa sampai.Navigasi berhenti di depan rumah mewah dan besar. Tidak salah! ini pasti rumahnya, rumah bos, wajarlah jika sebesar dan sebagus ini.Seorang satpam datang menghampiri, aku turun dan memutuskan untuk bertanya dari pada salah masuk kandang dan nggak bisa pulang? kan berabe, “Maaf Pak, apakah benar ini rumahnya Ibu Anna?” tanyaku, meski dalam hati yakin ini rumahnya.“Benar Bu, apakah Ibu mau bertemu Ibu Anna?” tanyanya balik.“Benar, tolong sampaikan kalau Kirana mau bertemu.”“Siap, Bu! saya sampaikan dulu.” Satpam itu bergegas masuk ke dalam, tak lama ia pun kembali dan membuka gerbang, aku masuk dan memarkirkan mobil di halaman rumah.Halamannya pun sangat luas, kira-kira cukup untuk menyimpan 10 mobil, dikelilingi dengan berbagai warna bunga lili yang sedang bermekaran, indah sekali.Perlahan aku berjalan m
Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan band
Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.