Aku memasukkan alamat rumah Anna dari kartu nama yang diberikan Mas Haidar ke g****e Map, dan mengikuti arahannya, tidak terlalu jauh dari sini, hanya 45 menit sudah bisa sampai.
Navigasi berhenti di depan rumah mewah dan besar. Tidak salah! ini pasti rumahnya, rumah bos, wajarlah jika sebesar dan sebagus ini.Seorang satpam datang menghampiri, aku turun dan memutuskan untuk bertanya dari pada salah masuk kandang dan nggak bisa pulang? kan berabe, “Maaf Pak, apakah benar ini rumahnya Ibu Anna?” tanyaku, meski dalam hati yakin ini rumahnya.“Benar Bu, apakah Ibu mau bertemu Ibu Anna?” tanyanya balik.“Benar, tolong sampaikan kalau Kirana mau bertemu.”“Siap, Bu! saya sampaikan dulu.” Satpam itu bergegas masuk ke dalam, tak lama ia pun kembali dan membuka gerbang, aku masuk dan memarkirkan mobil di halaman rumah.Halamannya pun sangat luas, kira-kira cukup untuk menyimpan 10 mobil, dikelilingi dengan berbagai warna bunga lili yang sedang bermekaran, indah sekali.Perlahan aku berjalan menuju pintunya, seorang perempuan berjubah hitam dengan penutup wajah berjalan tergesa, “Kiranaaaa,” sapanya, sembari melebarkan tangan.Aku menghambur dan memeluknya, “Ops, dede bayinya?” Tubuhku terhalang oleh perut Anna yang sudah membesar.“Hahaha …." Kami pun tertawa, lalu berpelukan jauh dan cium pipi kiri kanan.“Bagaimana kabarmu?” ucap Anna sembari mengapit tanganku untuk masuk.“Alhamdulillah aku baik-baik saja, Na,” jawabku tidak berhenti takjub dengan perubahannya. "Kamu makin cantik aja Na." Tambahku.“Alhamdulillah, aku hanya mencoba menutupi aurat dan kekuranganku saja,” jawabnya merendah, padahal jika dilihat dari daerah sekitar mata, Anna memang masih terlihat sangat cantik, selalu terpancar rona bahagia dari setiap kata yang ia ucapkan.“Aku mau mengembalikan ini,” ucapku pelan, menyodorkan bungkusan berisi jas Mas Haidar.Anna menerima bungkusan itu dan menyimpannya di atas lemari kecil, lalu ia kembali duduk di sampingku, “Aku sangat sedih mendengarnya Kiran, bagaimana mungkin suamimu bisa memperlakukanmu seperti itu?” Tangannya mengepal punggung tanganku kuat.Aku mencoba menahan tangis. Namun, selanjutnya tidak dapat kutahan lagi, saat Anna mengelus rambutku dengan penuh cinta, “Kamu adalah perempuan baik Kiran, jangan bersedih! Allah hanya ingin memberi kesempatan untukmu agar bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik,” Suara Anna lembut dan mendayu hingga menghujani hatiku yang gersang.Aku hanya bisa menangis dan tergugu di pundaknya.“Cante, cante, udah besal ko masih nangis, sih?” Seorang anak perempuan tiba-tiba menarik-narik baju yang kukenakan.Aku meliriknya dan segera mengusap air mata, ternyata ada bidadari kecil di hadapanku sekarang.“Kalau cante nangis teyus nanti cakit.” Tangan mungilnya mencoba meraihku, menghapus jejak-jejak air mata di pipi.Aku semakin terharu dan malah menangis tersedu, anak itu ketakutan dan berhambur pada Anna.Anna mengelus punggungnya untuk menenangkan, dia menatapku yang sibuk menyeka air mata, tetapi terus saja keluar, “Boleh nggak tante punya anak kaya kamu?” tanyaku sambil membuka tangan, berharap dia mau dipeluk.Anak itu meraih jemari dan pindah kepelukanku, “Cante belum punya anyak kaya, Bubu?” tanyanya polos.Aku menggeleng pelan. Hatiku sangat sakit ketika mengingat pesan Mas Irawan yang mengatai aku perempuan mandul dan akan hidup sendiri selamanya.“Kalau begitu, anyak-anyak Bubu, boyeh jadi anyak cante, iya kan Bu?” tanyanya meminta persetujuan Anna.Anna mengangguk pelan, dan mengusap rambutnya, “Khaira bisa main dulu sama bibi ya, Bubunya mau bicara dulu sama tante, boleh?” pinta Anna lembut.Khaira mengangguk dan berlari ke arah bibi yang mengasuhnya.“Masya Allah Na, cantik sekali Khaira, berapa tahun usianya?”“Baru 2,5 tahun Kiran.”“Bukannya kamu menikah sudah 6 tahun, ko Khaira baru berusia 2.5 tahun?” tanyaku sedikit heran.“Sebelum lahir Khaira, kami dikarunia seorang anak laki-laki, tetapi Allah mengambilnya kembali ketika usianya menginjak 6 bulan, aku sempat trauma dan menunda memiliki anak, hingga setelah 3 tahun baru siap memiliki anak lagi,” jelasnya.“Alhamdulillah, Na, aku sangat senang dengan beritamu yang sedang mengandung anak kedua. " Aku mengelus perutnya yang sudah besar dan berisi.“Suatu saat nanti Allah akan memberimu anak juga dari keturanan yang sholeh, Insyaallah,” jawabnya.“Aamiin. Aku sangat ingin jadi Ibu,” jawabku lirih, “terimakasih.”“Terus, bagaimana keputusanmu sekarang?”“Aku memutuskan untuk berpisah dan menggugat cerai Mas Irawan kalau ia tidak memberiku talak. Sementara itu, aku akan mencoba melamar pekerjaan lagi.”“Apapun keputusanmu akan selalu kudukung. Mungkin Mas Haidar bisa membantu kalau kamu ingin bekerja lagi, dengan pengalamanmu menjadi manager bukan hal yang sulit untuk kembali ke ranah perkantoran.”“Tidak, aku takut merepotkan suamimu,” tolakku lembut. "Selain itu, Mas Irawan kerja di sana.”“Mas Haidar bisa mengeluarkannya kalau kamu mau, ia sedang menunggu keputusanmu untuk itu.”“Aku takut pembalasanku berlebihan kalau tidak memaafkannya. Selain itu, Ibu Mas Irawan sangat baik, aku tidak enak kalau sampai ia tahu anaknya jadi pengangguran karena aku.”“Kamu memang perempuan luar biasa, Kiran,” Anna kembali mengepal jemariku.“Jadi, Mbak Kiran mau memaafkannya saja?” aku terperanjat saat melihat Mas Haidar masih ada di rumah dan sedang berdiri di samping kami.“Mas Haidar, belum berangkat kerja?” tanyaku sedikit malu.“Sedang tidak enak badan, tadinya mau libur, tapi ada rapat penting yang harus di hadiri,” jawabnya, “Saya punya pekerjaan yang pas untuk Mbak Kiran kalau sudah siap bekerja lagi, dan untuk Mas Irawan, meskipun Mbak Kiran memaafkannya, saya tidak bisa membiarkannya tetap ada di jabatan itu, dia harus mulai dari bawah lagi, agar bisa menghargai orang lain." Sambungnya.“Begitu ya Mas? kalau begitu biar Kiran pikirkan dulu.”Anna berdiri dan merapihkan dasi yang dikenakan Mas Haidar, “Jangan terlalu lelah, nanti kamu drop lagi,” ucapnya pada Anna. Aku mengerutkan alis, kenapa Mas Haidar berkata seperti itu, apa mungkin Anna sedang sakit?“Iya Mas, tekanan darah naik saat hamil itu biasa, aku baik-baik saja." Belanya.Anna mengapit lengan suaminya dan berjalan keluar bersama. Aku mencuri pandang, bagaimana Mas Haidar memperlakukan pasangannya. Dia mengecup kening istrinya dan berbicara pada janin yang dikandung Anna. Sungguh pemandangan yang tidak pernah aku rasakan selama bersama Mas Irawan.Kukira pernikahan itu sama, menyatukan dua orang yang berbeda, tetapi aku salah, pernikahan bukan hanya sekedar itu. Pernikahan berarti menyatukan dua ego yang berbeda dengan saling mengerti ego sama satu sama lain.Anna kembali duduk setelah mengantar suaminya berangkat kerja, “Oh iya, sebelumnya aku minta maaf karena tidak bisa hadir dalam pernikahanmu hari itu, sebenarnya kami sudah sampai ke tempat resepsi, tetapi ketika turun, Mas Haidar tiba-tiba tidak enak badan dan akhirnya kami kembali, aku menemukan …," ucapannya terjeda, "sebentar aku ambilkan ya." Anna membuatku penasaran.Anna menyodorkan sebuah amplop, “Surat ini aku temukan di samping mobilku ketika kami turun, saat kulihat ada namamu tertera di sana, aku tidak berani membukanya, dan memutuskan untuk memberikannya di lain waktu, sepertinya ini waktu yang tepat,” ucapnya.Aku menggenggam surat itu, persis sama seperti yang pernah kudapat, dan saat kubalik ternyata pengirimnya adalah orang yang sama, ‘IR’?Aku menatap Anna, hati bertanya-tanya seolah tak percaya, kenapa surat ini ada di samping mobil mereka?Bersambung ....Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan band
Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.