Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.
Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan bandul huruf ‘K’.”“Terimakasih banyak Pak, saya permisi.”“Silahkan,” ucapnya ramah sembari membukakan pintu keluar.Aku melenggang dengan gembira, kalungnya benar-benar cantik, sebelum pergi sengaja kupasangkan, selama menikah aku belum pernah memakai perhiasan.[Kamu dimana?]Pesan dari Atha, baru saja masuk.[Baru selesai dari bank, mau mencari kontrakan rumah.]Wajahku mengerut karena dia malah membalas pesan dengan mengirimkan lokasi, [Aku di sini datanglah segera!]“Heum …! ya sudahlah,” aku pun menunda rencanaku untuk mencari rumah kontrakan dan pergi ke lokasi yang Atha berikan, mungkin saja dia membutuhkan mobilnya.“Nggak salah? kenapa alamatnya berhenti di sini? dimana Atha?” aku celingukan melihat keluar, barang kali saja tuh anak nongol di dekat sini.Dari dalam sebuah rumah Atha melambaikan tangannya, “Sedang apa dia di rumah itu?”Dia pun berlari membukakan pintu gerbang, aku masuk dan memarkir mobil di halamannya.“Ayo, masuk,” ucap Atha mendongak di pintu mobil.“Rumah siapa?” tanyaku.“Masuk saja,” tariknya.Di dalam rumah ada seorang perempuan berpenampilan rapih tersenyum ramah, “Silahkan di lihat-lihat Ibu, rumah ini di desain oleh salah satu Arsitek terbaik di Indonesia, mengusung tema rumah minimalis yang elegant, sangat cocok untuk di tempati oleh pasangan baru,” ucapnya.“Pasangan baru?” aku melirik Atha dan tak tahan menahan tawa.Sesaat Atha memandang, kemudian membalikkan tubuhku untuk kembali mendengar penjelasan sales tersebut.Kami diajak berkeliling melihat fasilitas yang telah di sediakan oleh rumah ini, semuanya hampir lengkap dengan penataan yang aku suka.Aku menarik lengan Atha dan memintanya merendah karena akan berbisik, “Sebenarnya ini rumah buat siapa?”“Bukannya kamu sedang mencari rumah untuk tinggal?" sahut Atha tak kalah berbisik.“Mana cukup uangku untuk membeli rumah ini, ayo kita pergi saja,” sengaja kutekankan kata itu sebelum terlanjur pada penawaran harga, akan sangat malu kalau sudah banyak bertanya malah tidak jadi karena uangnya tidak cukup.“Hm …!” si ibu berdehem, aku pun segera fokus kembali padanya sambil melebarkan senyum.Pelan, tanpa memalingkan wajah dari si ibu, aku terus menarik-narik baju Atha agar kami bisa pergi. Tapi dia tidak mendengar dan malah maju semakin depan untuk mendengarkan penjelasan si ibu.“Jadi bagaimana, apakah Bapak dan Ibu menyukainya?”“Tidak,” jawabku cepat.“Iya Bu, saya sangat menyukainya,” jawab Atha.Aku kembali menarik tubuhnya, “Sudah kubilang uangku tidak cukup Atha!”“Kamu bisa berhutang padaku selamanya, atau temani aku selama sebulan, maka hutangmu lunas,” ucapnya santai.Apa-apaan anak ini, berhutang selamanya? atau menemaninya selama sebulan? sehari hari saja sudah kaya Tom and Jerry apalagi sebelum?“Nggak Bu, kami tidak …,”‘Bup’Atha berdiri di belakang dan menutup mulutku dengan tangannya.“Saya akan selesaikan pembayarannya di kantor, terimakasih untuk hari ini,” ucap Atha."Hm …, Hm …,"Aku hanya bisa menggeram, saat sales itu berpamitan dan pergi lebih dulu.“Athaaaaaaa!” teriakku membuatnya terhenyak, “aku tidak mau berhutang padamu selamanya, apalagi menemanimu selama sebulan!”“Kenapa? aku sangat tampan dan bisa mengajakmu kemana saja,” ucapnya dengan bangga.‘Bugh!’Kupukul saja tubuhnya dengan tas yang sedari tadi kubawa.“Kalau kerjaanmu hanya menghamburkan uang, kapan kamu bisa menikahi anak orang!” sentakku, “mana mau si Talita menikahi laki-laki boros kaya kamu!” cercaku lagi.Atha mengerutkan wajahnya, “Siapa yang mau menikah dengan Talita,” jawabnya pelan sambil mengelus puhu lengan yang aku pukul.“Sudah, ayo kita pergi, rapihkan dulu dirimu, kamu itu kebanyakan mikir pengeluaran makanya sampai punya penampilan kaya gini,” Atha mendorong tubuhku keluar rumah.“Memangnya ada apa dengan penampilanku?” aku berbalik dan berdiri tegap di hadapannya.Atha tidak menjawab dan hanya mendorongku ke samping sebelah kanan, “Lihat di kaca? siapa itu?” tanyanya.Pertanyaan apa itu? sudah jelas ini aku.“Kamu tidak melihat seorang perempuan penuh lemak, tidak terurus, lemah, sedang berdiri di depan cermin?” perkataan Atha membuatku memperhatikan setiap lekuk tubuhku di sana. Kemudian sekelebat tubuh perempuan langsing, rapi dan energik berdiri di sampingnya.“Lihat dengan baik dirimu yang dulu di cermin itu, apakah kamu tidak mau seperti itu lagi? orang-orang di luar sana yang tidak tahu akan kehidupanmu, mereka tidak bisa melihat betapa cantiknya dirimu dari dalam, yang mereka lihat hanya penampilan selintas dari luar, kalau kamu ingin dihargai orang, setidaknya berpakaianlah yang rapih dan jaga penampilanmu, dengan begitu kamu bisa memperlihatkan pada mereka betapa cantiknya kamu dari dalam,” ucapan Atha menghujam dalam sanubari, hatiku meronta, karena selama ini aku tidak pernah melihat diriku secara keseluruhan lagi di cermin.“Tanda bersyukurmu pada Allah akan tubuh ini, maka pelihara dan rawatlah sebaik-baiknya.”Aku tertegun melihat kerendahan diriku di cermin, pantaslah orang-orang di kantor itu membully ku, aku memang pantas mendapatkannya.“Aku ingin jadi diriku lagi,” gumamku pelan.“Bagus, sekarang kita berangkat,” jawab Atha, langsung melangkah.“Kemana?”“Permak dirimu, ayo!” tangan Atha terjulur di hadapanku.Aku tersenyum menyambut tangannya, dan kami pergi ke sebuah salon besar, dilayani dengan beberapa orang bak ratu Inggris yang sedang menikmati perawatan, tidak ada yang terlewat, semua hal dari tubuhku di bersihkannya. Namun, tidak kulihat Atha sedari tadi, kemana lagi anak itu? ya sudahlah tidak apa-apa mungkin dia merasa kesal.“Selesai Mbak, tinggal menata rambutnya,” ucap salah satu pegawai, ia pun kembali mendudukanku di depan cermin, menyerahkanku pada pegawai lainnya, matanya terus menimbang agar bisa memberikan bentuk rambut yang cocok dengan bentuk wajah ini.Setelahnya, aku bahkan dihias natural agar tidak terlihat pucat atau malah terlihat ketuaan karena salah pake make up, pegawai itu memberiku saran setiap jenis make up dan warna yang harus aku pakai kedepannya.Atha datang dan menjatuhkan banyak barang dikursi, “pakai!" ucapnya sambil ngos-ngosan.“Kamu membeli ini semua?” dahiku mengerut.Atha mengangguk pelan.“Athaaaaaaa!” teriakku pelan, karena banyak orang memperhatikan kami."Bagaimana aku bisa membayarnya?” gumamku dengan suara menggema, Atha pura-pura tidak mendengar, dan malah mendorongku ke ruangan ganti.Setelah beberapa menit di dalam ruang ganti, aku mencoba keluar dan memperlihatkannya pada Atha.Matanya terbelalak lebar, begitu pun dengan orang-orang yang ada di sekitar, “Ok, mari kita pulang,” ucapnya sembari membawa semua barang yang dibelinya.“Athaaa …, Athaaa …., aku malu, kenapa semua orang malah memandangku sekarang?” ucapku lirih, mengejar dia yang sudah berjalan di depanku.Atha berhenti, lalu memperlihatkanku lagi pada sebuah cermin besar yang ada di salon itu, “Karena mereka melihat ini,” ucapnya berbisik di telinga.Mataku tak kalah terbelalak seperti mata Atha sebelumnya, perempuan di cermin itu sangat cantik, aku bahkan tidak percaya kalau aku masih bisa secantik dulu.“Aku siap untuk kembali bekerja di perusaan Mas Haidar,” jawabku lantang, “Aku akan membutikan pada mereka siapa perempuan yang telah mereka hinakan sebelumnya,” tekadku bulat, memandang mata Atha yang berbinar.Atha hanya tersenyum, melihat energikku kembali. Lalu berjalan disampingku, aku tersenyum ramah pada setiap orang yang memandang, kini kepercayaan diriku kembali, aku bukan lagi Kirana yang bisa dilecehkan karena penampilan, aku adalah Kirana yang bisa membuat semua orang bangga, dan membuat Mas Irawan menyesal telah menyisihkanku dengan sia-sia.Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Sepanjang perjalanan aku gelisah, sosok wajah Atha terbayang-bayang, ada apa dengannya hingga ia tidak bisa lagi mengangkat panggilanku?Sampai di depan rumah aku langsung berlari, mobil Atha sudah terparkir di halaman, “Mbak, ongkosnya belum?” teriak sopir taksi.“Astagfirullah, maaf Pak,” aku segera kembali dan mengeluarkan beberapa lembar uang, “kembaliannya Mbak?” teriaknya lagi, “Ambil saja Pak.”Di dalam rumah aku celingukan, dimana anak itu, berlari ke ruang tamu tidak ada, ruang makan sampai kamar pun tidak ada, apakah mungkin dia ada di lantai atas? aku pun segera menaiki tangga ke atas tapi tetap saja tidak ada.“Di mana kamu Tha?” aku meronggoh ponsel dan memanggil nomornya, ponselnya berdering nyaring di ruangan tengah, “tadi sudah kucek tidak ada Atha?” tanyaku dalam hati.Aku mengendap-endap mendengar bunyi ponsel itu, sebuah kaki menjulur di balik kursi, “Astagfirulllah Atha!” aku segera menghambur, dan membalikkan tubuhnya yang telungkup.Wajah Atha pucat dengan luka l
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.