Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.
Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucapku padanya, “sepatu ini membuatku lebih tinggi dan tubuhku terlihat lebih berjenjang,” tambahku lagi.“Kamu sudah lama tidak menggunakannya Kiran, nanti kamu jatuh dan ditertawakan,” jawabnya sembari memperhatikan sepatuku.“Aku masih bisa ko pakai hak tinggi begini, coba kamu lihat aja,” aku berjalan bak model di depannya, tetapi tiba-tiba …,“Aaaw!” tubuhku bergoyang dan hilang keseimbangan, Atha segera menangkapnya dan mendudukanku di kursi.Tanpa berkata apapun, tangannya membuka sepatuku dan menggantinya dengan sepatu yang ia bawa, aku hanya bisa mengerucutkan bibir, rasanya sedih sekali, karena tetap saja aku akan kelihatan kurang tinggi dengan sepatu ini.“Athaa …,” aku masih berdiam saat dia sudah melenggang ke luar.“Apalagi?” tanya Atha yang nampak kesal dengan sikapku yang bersikeras ingin memakai sepatu itu.“Aku tidak terlihat tinggi kalau memakai sepatu ini,” bibirku masih tidak terima, hatiku meronta ingin memakai sepatu berhak tinggi.“Kamu bisa menginjak kakiku sebagai bantalan kalau mau terlihat tinggi,” jawabnya acuh dan berlalu.“Athaaaaaaaa …..,” teriakku meronta.“Cepatlah, kita sudah terlambat!"“Benar-benar berhati baja!” gerutuku, berjalan cepat memasuki mobil.“Besok kamu tidak perlu menjemput lagi!” sungutku padanya, Atha sama sekali tidak terganggu dan tetap fokus pada kemudinya, “kamu banyak ngatur,” sungutku lagi, membuang wajah ke samping pintu.Atha memarkir mobilnya tepat di halaman kantor, aku turun dengan perasaan yang masih kesal, “Pulang kantor aku jemput lagi,” tiba-tiba dia berucap setelah selama perjalanan sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun.“Terserah,” jawabku sembari menutup pintu.“Selamat pagi Bu, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu seorang satpam, mereka pasti tahu kalau aku orang baru.“Saya ada janji dengan Pak Haidar, apakah beliau sudah datang?”“Sudah Bu, mari saya antar ke ruangannya,” jawabnya, sembari mempersilahkan aku untuk mengikuti.Sedikit informasi yang kudapatkan ketika berbicara lewat panggilan seluler dengan Mas Haidar sebelumnya, perusahaan yang di pimpin oleh Mas Haidar ini adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa cleaning-service perkantoran, gedung, dan rumah, sehingga kantornya terlihat sangat bersih, nyaman dan harum, sudah seperti masuk hotel bintang 5.Di perjalanan aku melihat ada sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka, percakapan dari keduanya terdengar sedikit keras karena suasana kantor masih sepi.Merasa tidak asing dengan suara itu aku sengaja berhenti untuk sekedar mengecek kebenarannya.“Sudahlah Mas, tidak perlu kamu sesali kehilangan perempuan dekil dan memalukan itu,” ucap Renata sembari duduk berputar di kursi milik Mas Irawan. Setelah kubaca papan jabatannya tertulis 'Manager Marketing'.Aku mengernyitkan alis, kenapa Renata bisa sampai masuk ke kantor ini, setahuku dia tidak bekerja di sini, tetapi di kantor sebelah, hanya terhalang satu gedung dari kantor ini.“Aku harus turun jabatan seperti ini, kamu kira mudah?” sungut Mas Irawan sembari membereskan peralatannya, sepertinya dia sedang bersiap-siap untuk pindah.“Terus, kamu masih mau nyalahin aku lagi? ingat loh Mas kamu yang ngejar-ngejar aku karena istrimu bau dan tidak enak dipandang,” ucapnya lagi santai.“Tapi bukan berarti kamu bisa mengaku-ngaku sebagai istriku seenaknya begitu dong.”“Emang kenapa sih Mas, sebentar lagi kita akan menikah juga, meski kamu sudah turun jabatan, gajiku masih tinggi, kamu tidak akan kelabakan seperti waktu bersama Kirana, kaum rebahan yang bau bawang,” mulutnya itu, begitu mudah dia mencercaku.Aku sungguh tidak menyangka, kalau Renata seorang pengkhianat.“Bu, ruangan Pak Haidar di sebelah sana,” satpam itu berkata dari kejauhan.Aku menghampirinya sebentar, “Iya Pak, terimakasih sudah mengantar, sebenarnya saya sudah berbicara dengan Pak Haidar kemarin.”“Baik kalau begitu, saya permisi, Bu.”Setelah berbicara dengan satpam itu aku kembali ke ruangan Mas Irawan, dan membuka pintunya.Aku berdiri menyaksikan dua pasangan bej*t itu sedang beradu argument, “Jadi, ini yang selalu kamu lakukan di kantor Mas?” ucapku santai, melipat tangan di dada.Mas Irawan dan Renata menatapku aneh, mungkin sedang mencoba mencerna siapa yang sedang berbicara dengan mereka.“Kenapa Mas, apa aku begitu terlihat berbeda?” kelakarku, Mas Irawan masih menatap penampilanku dari ujung rambut sampai kaki.Pakaianku kali ini adalah fit dress yang terlihat elegant dan anggun, apalagi dipadu dengan warna hitam dan putih di ban tangan dan bagian kerah yang membuatnya terkesan lansing dan sangat feminim.“Tidak ada urusanmu lagi di hidupku, Kirana, keluar!” sentak Mas Irawan setelah menyadari kalau aku mantan istrinya yang ia hina-hina.“Iya, jangan so kamu sekarang berubah, bisa seenaknya mengusik kehidupan Mas Irawan lagi. Sudahlah, tidak perlu kamu pamer-pamer pakaian hasil pinjam itu, kaum rebahan mana sanggup beli-beli baju mahal,” selorohnya dengan congkak, lalu ia berdiri dari duduknya dan menghampiri Mas Irawan.“Untuk apa kamu masih berdiri di sini! pergi sana!” cercanya lagi.Aku tidak mendengar ocehan mereka, berjalan lurus ke depan meja, mengusap papan nama jabatan yang terpasang di atasnya.“Heh …! ngapain kamu pegang-pegang meja saya? jangan bilang kalau kamu menyesal meninggalkan suami seorang manager, mana ada di luar sana laki-laki yang sehebat aku akan melirikmu,” ucap Mas Irawan menghempaskan tanganku kasar dari atas papan nama itu.Aku hanya melihat keduanya dengan seksama, “Kalian adalah pasangan yang sangat cocok,” ucapku pelan, hingga membuat Renata mengalungkan tangannya ke leher Mas irawan dan mendelik kasar padaku, “benar-benar pasangan cocok dengan moral rendahan,” lanjutku lagi sambil menggelengkan kepala.“Kamu perempuan rendahan berani…,” tangan Renata hampir melayang di udara.“Ada apa ini?” sentak Mas Haidar di ambang pintu, kulihat Renata segera menurunkan tangannya dan pura-pura sopan.“Mas,” sapaku padanya.“Kamu sudah datang Kiran? bagaimana ruangannya?” tanyanya.“Ruangannya cukup besar Mas, tapi saya ingin mensterilkannya terlebih dulu, terlalu menumpuk sampah kotor di sini sebelumnya,” jawabku menyeringai pada mereka.“Bagaimana bisa?” bibir Mas Irawan bergerak pelan dengan wajah pucat pasi.“Mas …, mas …, hanya dipecat dari jabatan manager aja kamu langsung pikun. Lupa kamu, siapa aku dulu?” Gelengku, sembari mengibaskan tangan agar mereka segera keluar.**Hus...hus...kalian bikin alergi🤣Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Sepanjang perjalanan aku gelisah, sosok wajah Atha terbayang-bayang, ada apa dengannya hingga ia tidak bisa lagi mengangkat panggilanku?Sampai di depan rumah aku langsung berlari, mobil Atha sudah terparkir di halaman, “Mbak, ongkosnya belum?” teriak sopir taksi.“Astagfirullah, maaf Pak,” aku segera kembali dan mengeluarkan beberapa lembar uang, “kembaliannya Mbak?” teriaknya lagi, “Ambil saja Pak.”Di dalam rumah aku celingukan, dimana anak itu, berlari ke ruang tamu tidak ada, ruang makan sampai kamar pun tidak ada, apakah mungkin dia ada di lantai atas? aku pun segera menaiki tangga ke atas tapi tetap saja tidak ada.“Di mana kamu Tha?” aku meronggoh ponsel dan memanggil nomornya, ponselnya berdering nyaring di ruangan tengah, “tadi sudah kucek tidak ada Atha?” tanyaku dalam hati.Aku mengendap-endap mendengar bunyi ponsel itu, sebuah kaki menjulur di balik kursi, “Astagfirulllah Atha!” aku segera menghambur, dan membalikkan tubuhnya yang telungkup.Wajah Atha pucat dengan luka l
'Kriiiing …, kriiiiing …, kriiiing ….’‘Slup’Tanganku meraba jam beker yang terus berbunyi di atas nakas kecil di samping tempat tidur.“Kiran …,” lamat-lamat aku mendengar suara seperti mimpi memanggil.“Lima menit lagi,” jawabku malas.“Kiran, kamu nggak shalat subuh? ini sudah mau pukul 06.00,” suara itu lebih jelas terdengar, tapi tetap seperti sayup-sayup mimpi, suaranya lembut dan hangat.“Ah, mana mungkin jam beker baru saja berbunyi, aku menyetelnya jam 04.30, kamu jangan berbohong,” jawabku nyengir dengan mata masih sulit terbuka.“Iya, kamu nyetelnya jam segitu, tapi tiap 5 menit kamu tunda,” sekarang sudah jam 06.00," ucapnya lagi.“Mana mungkin?” aku meraba jam yang sudah dimasukkan ke dalam bawah bantal. Sekuat tenaga membuka mata yang berat agar terbuka, mungkin karena semalam aku sulit tidur dan kepikiran Atha terus.Mata terbuka perlahan, remang-remang kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06.05, “Astagfirullah,” sontak aku mendorong lelaki yang sedang duduk di samping
Aku dan Ihsan masih memandangi mereka di balik pintu kaca, samar-samar saja suara itu terdengar, hanya terlihat ekspresi wajah meledak-ledak saat Renata memperlihatkan kemarahannya.“San ….”“Iya Bu ….”“Pura-pura lewat sana yuk …,” ajakku antusias. Ihsan yang sepertinya sudah tahu masalahku sebelumnya bersama mereka, mengangguk setuju.Kami berjalan keluar dan pura-pura membincangkan sesuatu, sampai aku mendengar Renata berkata cukup keras, dan kami memutuskan untuk berhenti dan melihat.“Mana mungkin lelaki ini tunanganku, apalagi sampai menikah, ih najis!” Renata membuang wajahnya ke arah lain, sedangkan Mas Irawan hanya menunduk, taring yang biasanya ia gunakan, kini sudah tumpul dan tak mampu lagi menggigit, walaupun hanya sekedar menggigit kerupuk model Renata.“Nggak usah gitu kali Ren, kalau beneran tunanganmu ya akui saja,” timpal salah satu temannya.“Hih! mana mungkin sih, kalian halu dech, tunangan aku memang ada di kantor ini, tapi manager pemasaran bukan tukang cleanin
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.