Wajah itu kulihat begitu dingin dan kaku, tak sedikit pun ia menengok, matanya fokus pada kemudi, tapi aku yakin perasaannya sangat gelisah.Atha menyetir mobilnya dengan cepat, melesat memecah padatnya jalanan, tanganku berpegangan kuat pada gagang atas pintu."Tha ..., suaraku bergetar melihat ia mengemudi seperti hilang kendali, seolah jiwanya tak ada di sini, tak sedikit pun Atha melihat ataupun mendengar getar ketakutanku."Awww!" aku menjerit histeris saat mobil kami menyelip truk besar yang sama-sama melaju kencang.'Ssssrrrrttt'Atha membanting mobilnya di tanah luas, hingga wajahku mengeduk ke depan.Jantungku berdegup tak karuan, napas Atha pun terdengar berhembus kasar, keringat terlihat merembes di dahinya, tangannya mencengkram keras stir mobil."Tha ...," aku mencoba menggapai pundaknya.Tak kusangka Atha berbalik dengan cepat hingga membuatku terkesiap."Jauhi dia!" bentaknya kasar.Aku menelan ludah, mataku membulat, mencoba tetap tenang, meski sebenarnya hati kalang k
Kami masih menunggu dan berlarut dengan pikiran masing-masing, tidak ada pembicaraan yang terlontar apalagi senyuman, rasanya hambar dan pahit, Atha pun yang bukan siapa-siapanya Anna, bermuram durja lebih dari aku, wajahnya ditekuk dan tidak bisa ditanya, kaya abg baru datang bulan, apa saja yang aku bicarakan selalu salah, apa saja yang aku lakukan tidak pernah benar.Hampir jam 09.00 malam, dokter akhirnya keluar juga dari ruangan, “Bagaimana dokter?” Atha menghambur paling depan dan langsung bertanya.“Pasien masih dalam keadaan kritis, autoimun yang dimilikinya mempersulit keadaan, sekarang pasien koma, harus di rapat di ICU.”“Tolong lakukan yang terbaik dokter, jangan sangsi dengan biayanya, berapa pun akan saya bayar,” jawab Atha.Mas Haidar yang melihat hal itu hanya melongo tanpa kata, “Tha …,” aku menyikutnya, “Anna istri Mas Haidar,” ucapku sedikit berbisik.“Iya, aku tahu Anna istri Pak Haidar, karena ia istrinya, Anna harus bangun dan sembuh, benar kan?” wajahnya meminta
Tubuhku terjatuh di kursi dengan sendirinya, sudah seperti daging tanpa tulang, lemas tak berdaya, belum lagi rasa sakit yang menyembul dalam dada, rasanya engap dan sulit untuk menarik napas, serasa ada batu besar yang menghalangi pernapasan, ini lebih sakit dari pada menerima kenyataan Mas Irawan bermain gila dengan Renata.‘Dug …, dug …, dug ….'Berkali-kali aku memukul dada, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.“Ini sakit sekali,” ucapku lirih, mencoba menguatkan kaki untuk mengambil air minum di pantry, mungkin saja dengan minum bisa mengurangi sedikit rasa sesak ini yang tak hilang meski sudah dipukul berkali-kali.Sampai di sana aku meleguk banyak air putih, nampak seperti orang mabuk dan hilang kewarasan, salah seorang pegawai datang dan menghampiriku, “Kamu tidak apa-apa?” suaranya jelas kukenali.Aku menoleh dengan mata yang sudah memerah, menahan air mata yang ingin menjebol pertahanan, 'Mas Irawan,' "Aku baik-baik saja,” jawabku seraya melangkah pergi.“Maaf,” ucapnya
Atha~Jutaan air hujan yang menjatuhi tubuhku saat ini, tidak bisa sedikit pun menyakiti, tapi satu kali diabaikan oleh mu sudah meruntuhkan dinding kehidupanku.Aku masih di sini Kiran, menunggu mu kembali, menyapa dan membawaku pergi, tapi meski air mataku sudah luruh bersama air hujan ke bumi, kamu tak kunjung datang, hingga pakaianku kembali kering kamu masih tidak kembali.Petang ini aku pulang, bukan untuk menyerah dengan keadaan tapi untuk memastikan kamu tidak menunggu di sana.Hatiku berdesir hebat saat ada sebuah mobil di depan pintu gerbang namun bukan milikmu, sebuah mobil mewah yang kutahu pemiliknya bukan orang biasa.Aku turun untuk membuka gerbang, tanpa menoleh siapa yang datang, mobil itu ikut masuk ke halaman meski tanpa kupersilahkan.Aku tidak peduli, siapa pun yang datang, jelas bukan Kirana, aku tidak membutuhkan orang lain untuk menghibur apalagi menggantikan posisinya.“Atha,” panggilnya dengan suara lembut dan mendayu.Aku sungguh tidak ingin berbalik apalagi
Atha~“Kirana, ada apa denganmu?” aku meraba wajah Kirana yang dingin seperti es, bibirnya yang pucat bergerak pelan.“Jangan tinggalkan aku,” samar-sama suara itu terdengar seperti hebusan angin yang menyapa, kemudian tubuhnya terkulai, aku segera membopong dan mebawanya ke dalam mobil.“Aku tidak pernah meninggalkanmu Kiran, meski kamu pernah menikah dengan orang lain, aku selalu datang dalam diam untuk memastikan kamu bahagia,” jawabku pelan di balik telinganya.Kirana menatap wajahku dengan sayu, matanya perlahan tertutup, sepertinya ia pingsan karena kedinginan, aku membaringkan tubuhnya di kursi tengah, dan segera menancap gas untuk pulang.‘Aku tidak bisa pulang ke rumah, mungkin saja Auristela masih di sana, sebaiknya aku membawa Kirana pulang ke rumahnya,’ bisikku dalam hati.Hatiku semakin terluka, memperhatikan tubuh Kirana dari kaca spion, ‘Hari ini pasti berat untuknya, kamu pasti merasa ditinggalkan oleh dua sahabat sekaligus,’ batinku.Laju mobil aku perlambat saat meli
Aku sedang duduk di sofa untuk mencari tahu tentang Auristela melalui laptop milik Ishan yang tergeletak di meja, Atha melarangku keluar dari apartemen ini karena aku sedang dibuntuti. Entah kenapa kecurigaanku jatuh pada Auristela, bagaimana pun dia pasti marah ketika Atha mengejarku dan meninggalkannya.Auristela adalah anak tunggal dari keluarga Ariesta group, dia adalah satu-satunya pewaris dari keluarga itu. Kalau akhirnya Atha memilihku dari pada Auristela maka akan banyak orang yang marah dan kecewa.Memutuskan untuk bersama Atha adalah keputusan sulit yang membutuhkan pengorbanan, aku tidak mau Atha melakukan semua itu sendiri, setidaknya aku harus bisa melindungi diri agar tidak merepotkannya.Sebelum berangkat Atha mengembalikan ponselku yang di rapihkan oleh Ishan saat di kantor, tapi Atha berpesan agar tidak menghidupkannya dulu, ditakutkan ada orang yang melacak lokasiku.Aku terus berpikir, kalau bukan Auristela makan orang-orang itu kemungkinan suruhan Pak Wijaya atau
Ihsan~[Aku memintamu untuk menjaga, bukan berarti bisa menyentuhnya!][Sekarang Kirana pacarku Pak.][Semprul!][Hahahaha]“Apa yang sedang kamu tertawakan?”tanya Kirana yang masih menekuk wajahnya sejak kejadian tadi.Jujur, pertama kalinya aku berhadapan sedekat itu dengan perempuan, tidak kusangka ia adalah Kirana, seorang perempuan yang diminta hanya untuk dijaga bukan untuk dicintai.“Bukan apa-apa,” ucapku sembari menyimpan ponsel itu.“Kenapa kamu bersikap nonformal?” tanyanya masih dengan nada kesal.“Karena peranku saat ini adalah pacarmu, bukan bawahan dari Ibu Kirana,” jelasku dengan sedikit tawa kecil.“Ini semua hanya pura-pura Ihsan,” perempuan itu masih menunjukkan ketidaksukaannya.“Karena ini hanya pura-pura aku harus bersikap senatural mungkin Kiran,” godaku lagi.“Ish!” wajah Kirana semakin cemberut, lalu membuang pandangannya ke samping.‘Lucu juga sikapnya,’ batinku.Kedip ponsel membuat layarnya kembali bercahaya, aku melihat nama Mami yang muncul di posisi pal
Mamah Tantri~Anak lelaki itu kini sudah tumbuh besar dan mimpi burukku akhirnya menjadi kenyataan, kutatap lekat bola mata tak berdosa itu, dia menatapku penuh kebencian dengan berjuta pertanyaan dibenaknya.Aku tahu bota matanya berbicara, ia menyimpan banyak duka dalam tatapan itu, bukan aku yang menghadirkan luka, tapi ibunya sendiri yang terjun dalam jurang nestapa. Pemuda itu nampak lelah, darah lemah yang mengalir dari tubuh ibunya membuat ia sulit untuk melawanku, aku masih menunggu sampai ia benar-benar berada pada titik kelemahan yang terdalam.Aku berjalan ragu menuju ruangan yang sebenarnya tidak perlu kaku untuk dimasuki, tapi lelaki yang telah 35 tahun menjadi suamiku itu membuat benteng pembatas yang sangat tinggi. Jauh sebelum hari ini, yaitu 30 tahun yang lalu ia memutuskan untuk menganggapku hanya sebagai patnernya dalam berbisnis.“Aku sudah tahu semua rencanamu,” ucapku, mengambil posisi duduk yang nyaman.Mas Wijaya masih berdiri memandang ke luar kaca, tubuhnya y
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.