Ihsan~[Aku memintamu untuk menjaga, bukan berarti bisa menyentuhnya!][Sekarang Kirana pacarku Pak.][Semprul!][Hahahaha]“Apa yang sedang kamu tertawakan?”tanya Kirana yang masih menekuk wajahnya sejak kejadian tadi.Jujur, pertama kalinya aku berhadapan sedekat itu dengan perempuan, tidak kusangka ia adalah Kirana, seorang perempuan yang diminta hanya untuk dijaga bukan untuk dicintai.“Bukan apa-apa,” ucapku sembari menyimpan ponsel itu.“Kenapa kamu bersikap nonformal?” tanyanya masih dengan nada kesal.“Karena peranku saat ini adalah pacarmu, bukan bawahan dari Ibu Kirana,” jelasku dengan sedikit tawa kecil.“Ini semua hanya pura-pura Ihsan,” perempuan itu masih menunjukkan ketidaksukaannya.“Karena ini hanya pura-pura aku harus bersikap senatural mungkin Kiran,” godaku lagi.“Ish!” wajah Kirana semakin cemberut, lalu membuang pandangannya ke samping.‘Lucu juga sikapnya,’ batinku.Kedip ponsel membuat layarnya kembali bercahaya, aku melihat nama Mami yang muncul di posisi pal
Mamah Tantri~Anak lelaki itu kini sudah tumbuh besar dan mimpi burukku akhirnya menjadi kenyataan, kutatap lekat bola mata tak berdosa itu, dia menatapku penuh kebencian dengan berjuta pertanyaan dibenaknya.Aku tahu bota matanya berbicara, ia menyimpan banyak duka dalam tatapan itu, bukan aku yang menghadirkan luka, tapi ibunya sendiri yang terjun dalam jurang nestapa. Pemuda itu nampak lelah, darah lemah yang mengalir dari tubuh ibunya membuat ia sulit untuk melawanku, aku masih menunggu sampai ia benar-benar berada pada titik kelemahan yang terdalam.Aku berjalan ragu menuju ruangan yang sebenarnya tidak perlu kaku untuk dimasuki, tapi lelaki yang telah 35 tahun menjadi suamiku itu membuat benteng pembatas yang sangat tinggi. Jauh sebelum hari ini, yaitu 30 tahun yang lalu ia memutuskan untuk menganggapku hanya sebagai patnernya dalam berbisnis.“Aku sudah tahu semua rencanamu,” ucapku, mengambil posisi duduk yang nyaman.Mas Wijaya masih berdiri memandang ke luar kaca, tubuhnya y
Atha masih diam tanpa kata, sepertinya ia kebingungan untuk menjawab pertanyaan Ayah.“Iya Ayah, ini Atha sahabat Kirana, ia adalah anak kedua dari pemilik Wijaya group,” jelasku pada Ayah.“Wah, hebat kamu Nak, jadi salah satu anak terkaya di Indonesia,” tepuk Ayah pada Pundak Atha berkali-kali. Atha hanya mengulas senyum tanpa menambahkan satu kata pun dari penjelasanku.“Ayo Bu, Ayah, kita masuk, ngobrolnya di dalam,” pintaku segera, sebelum Atha benar-benar membeku, wajahnya sudah terlihat lesu dan pucat.“Ayo Nak,” ajak ayah pada Atha.“Maaf Ayah, hari ini saya ada urusan yang harus segera diselesaikan, jadi mau pamit,” ucap Atha perlahan.“Oh ya sudah,” jawab Ayah.Atha mengambil punggung tangan Ayah dan Ibu serta menciumnya takdim. Aku antarkan keduanya untuk berjalan lebih dulu menaiki tangga, sedang aku kembali menghampiri Atha yang masih belum pergi. Kupegang tangannya yang sangat dingin, dan membisikkan sebuah kata, “Terimakasih untuk kebahagiaan hari ini.”Tangan Atha men
Atha~Pikiranku kosong, menatap tanpa melihat, berjiwa cinta yang tak bertubuh. Bagaimana mungkin tubuhku bisa dikendalikan orang lain, meski itu ayahku sendiri?Ucapan terimakasih Kirana terdengar lirih seperti kata perpisahan, menghentikan nadiku yang masih berdenyut, menyadarkanku bahwa semua hal yang indah ini adalah mimpi, aku merasa beberapa detik lalu telah mati, ragaku keluar dan enggan ikut pergi, sedang tubuhku hanya bergerak dengan emosi. Aku tidak takut karena aku sudah mati. Berlari menuju mobil, memutar kemudi dan melesat meninggalkan jiwaku di sana bersama Kirana.“Lepaskan aku!” teriakku di depan pintu, dua pengawal tanpa hati itu memegangi tubuhku yang kosong. Mana mungkin aku takut, ini hanya tubuh tanpa raga, sudah kutinggalkan semua sakit dan cinta bersama perempuan yang kupilih.Aku masih memegang ponsel yang berisi berita pernikahanku yang akan digelar dua minggu lagi, ingin kupertanyakan apakah laki-laki di dalam sana sedang menjual diriku pada materi?“Lepaskan!
Atha~Malam semakin larut, jalanan sangat lenggang dan sepi, apalagi jalan yang kulewati kecil dan minim penerangan, tapi aku tidak bisa memelankan lajunya, berburu dengan waktu untuk menyelamatkan Ayah, ia harus segera ditangani ketika sampai.Tangan kiriku meraih ponsel di dalam tas yang diletakkan di jok kiri, susah payah aku meraihnya, kemudi hanya di kendalikan tangan kanan, “Sedikit lagi,” pekikku pelan.‘Tiddddd!’Mobil truk dihadapanku menyorotkan lampu besarnya, mata terasa silau hingga sulit untuk melihat, aku membantingkan mobil ke arah kiri demi menghindari tabrakan.‘Brugh!’Namun karena aku tidak menyadari tebing di depanya, mobil yang kukemudikan membentur dindingnya dengan keras hingga kap mesin terbuka.‘Ah sial!’ asap menyerebung dari mesin mobil yang kupaksakan untuk kembali melaju.Aku keluar dan menyorot sekeliling dengan senter ponsel, ini sebenarnya sudah hampir dekat, tapi bagaimana aku bisa pulang? Aku harus segera menghubungi Ibu.[Hallo Bu][Iya, Tha?][Tolo
Atha~Aku sedang duduk di kursi kebesaran Ayah, melihat tumpukan berkas yang harus dipelajari, dalam sehari aku harus menelaah semuanya, rapat direksi akan digelar hari esok dan desas-desus pemberontakan sudah santer terdengar, tentu saja yang berada di depannya adalah Mamah Tantri sebagai istri sah Ayah. Aku akan berhadapan langsung dengannya, satu-satunya kelemahan ia adalah tidak memiliki keturunan dari keluarga Wijaya, sedangkan aku adalah anak sahnya, namun dari istri simpanan, Mamah Tantri pasti akan menjadikan alasan itu untuk menggeser kedudukanku.Mataku tidak bisa berhenti menatap, menelaah kejadian yang terjadi pada Ayah, seadainya aku punya bukti percobaan pembunuhan yang mereka lakukan, akan memudahkanku untuk menggantikannya di kursi ini.Pikiranku bercabang pada setiap hal, di sisi lain aku harus membutikan kelayakanku menjadi pemimpin. Mas Rival pasti maju ke depan sebagai delegasi dari pihak Mamah Tantri. Selama ini ia sudah terbiasa mengelola perusahaan besar sedan
Atha~Dear Anaku,Sudah berapa tahun kamu sekarang Nak?Jika kamu membaca surat ini, ada kemungkinan Ayah sudah tidak bersamamu lagi atau mungkin kita sudah tidak bisa berbicara.Banyak hal yang kamu tidak tahu, tidak masalah jika hatimu diliputi kebencian untuk Ayah. Terkadang rasa manisnya cinta tidak bisa terlihat dari ranumnya kulit luar, bukankah buah durian lebih manis meski durinya melukai?Atha Ivander Ravindra ....Maaf jika kamu harus besar tanpa buaian tangan Ayah. Percayalah, semua itu Ayah lakukan untuk melindungimu, dan sebagai tanda tanggung jawab Ayah padamu.Maaf jika kamu bahkan tidak bisa mengenali namamu sendiri, biarkan hanya Ayah dan Ibumu yang tahu, betapa berartinya kamu dalam hidup kami.Terimasih untuk telah menemukan surat ini, itu tandanya rasa cintamu pada Ayah masih sama seperti dulu.Meskipun banyak lelaki hebat disekeliling Ayah, kamu adalah laki-laki terbaik yang Ayah miliki.Atha Ivander Ravindra, anakku.Kamu punya kekuatan yang tidak dimiliki orang
Suasa sepi, kami semua terdiam, duduk melingkar, saling menatap dengan penuh tanya. Hari ini sengaja aku mengumpulkan mereka semua, Ayah, Ibu, Mami dan Ihsan.“Aku sudah tidak sabar untuk menggendong cucu,” celutuk Mami tiba-tiba. “Kita sepakat untuk punya cucu yang banyak ya,” respon Ibu antusias.Tidak beda dengan Ayah, wajah sumringahnya sudah lebih dulu menjawab kalau ia pun mengharapkan hal yang sama.“Sst! Mami diam dulu,” colek Ihsan pelan, seraya menempelkan telunjuknya di belahan bibir.Ayah melirik pada Ibu, mengangkat sebelah alisnya, mencoba bertanya dengan bahasa isyarat. Ibu hanya menggeleng pelan. Aku melihat mereka semua sudah tidak sabar menunggu. Hm! kuhembuskan napas kasar, semoga semua bisa mengerti dan tidak ada yang kecewa.“Sebelumnya Kirana meminta maaf pada Ayah, Ibu, dan Mami. Tidak pernah ada maksud Kiran maupun Ihsan untuk melibatkan kalian,” wajah orang tua kami seketika mengerut, mata mereka mulai fokus padaku, sudah nampak tatapan khawatir dari ke tiga