Hatiku gerimis, tersiram perih yang membuatnya terluka, goresan-goresan rasa sakit yang Mas Irawan torehkan sebelumnya, ternyata bersatu menjadi luka yang besar saat ia mengatakan dengan jelas kalau aku bukanlah istrinya.
Selama pernikahan kami, ia memang tidak pernah sekali pun mengucap cinta, kukira mungkin karena ia tak pandai mengungkapkan rasa. Tidak sekali pun ia memperlakukanku seperti ratu, kukira mungkin karena ia terlalu sibuk dan lelah mencari nafkah. Tidak pernah sekali pun ia bertanya, apakah aku baik-baik saja? kukira karena ia selalu dapat melihatku seperti biasa. Aku sibuk memikirkan alasan ketiadaan cinta di antara pernikahan kami agar ada alasan untukku bertahan, sedang aku lupa melihat kedalaman hatinya, apa yang ia lihat tentang cinta yang selama ini kuberikan?Dan,Jawabannya, sungguh mengejutkan. Jangankan cinta, ia bahkan tidak mengakuiku sebagai istrinya, perempuan yang ia halalkan di depan penghulu dua tahun lalu.Setelah kudengar itu, jangan lagi kamu tanyakan kemana cintaku? karena ia sudah pergi bersama keringnya bibirmu setelah mengucap kata itu.Gggrr! Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Mas Irawan, ada apa lagi?[Kalau sampai dua hari kamu tidak kembali dan tidak minta maaf pada Pak Haidar, selamanya aku tidak akan menerimamu lagi Kirana. Pikirkanlah! kamu hanya perempuan mandul, tidak akan ada lagi laki-laki yang bisa menerimamu selain aku! pulang sebelum itu atau kamu akan menghabiskan masa tuamu sendirian!]Mataku terbelalak, hatiku berdegup kencang, tubuh bergetar menahan amarah, tega sekali laki-laki itu menyumpahiku perempuan mandul dan tidak ada lagi pria yang dapat menerimaku!“Huaaaa." Tangis yang kutahan sedari tadi akhirnya tumpah juga, perempuan mana yang tidak ingin menjadi Ibu, sesulit apapun hidupnya ia pasti ingin memiliki keturunan dan pendamping yang setia.“Tega sekali kamu, Mas!” Kurekatkan tangan dengan kuat, kamu akan lihat siapa aku Mas! Jangankan orang lain, aku akan buat kamu menyesal telah memperlakukanku seperti ini.Meskipun pernikahan kita hanya sebuah kesalahan. Harusnya kamu melakukan yang terbaik untuk kesempatan ini, tapi kamu malah menyia-nyiakannya, kamu benar-benar tidak menganggapku ada!“Maaf Mbak, kita akan kemana?” sopir taksi menengokku dari kaca spion.“Hah?” aku hampir lupa kemana tujuanku, uang pun masih belum kuambil, tidak semudah itu juga mendapat tempat tinggal, butuh proses dan pemilihan yang tepat.Tidak ada sanak saudara di Jakarta, aku tidak ingin pulang ke Yogyakarta, Ibu dan ayah akan sangat sedih kalau aku pulang dalam keadaan seperti ini. Aku tidak punya siapa-siapa di sini selain ...?“Hah … ya, Atha, kemana saja anak itu, kenapa dia tidak pernah menghubungiku?” Gerutuku segera mencari kontaknya. “Semoga saja ponselnya masih aktif.”Kenapa nggak diangkat? apa dia sudah tidak mau mengangkat panggilanku?[Ya, Hallo!][Athaaaaa …..!][Berisik Kirannnnn ….! aku lagi rapat.][Ops. Maaf, aku mau ke rumah mu, istirahat sebentar, masih di alamat yang sama kan?][Heuh! jangan sentuh dan acak apapun, tunggu aku pulang!][Ok.]“Tolong, ke jalan Mariabaya No 35 ya Pak,” ucapku pada sopir taksi.“Siap, Bu.”Awas saja saat ketemu, aku akan mengomelnya habis-habisan, kenapa dia tidak pernah menghubungiku selama dua tahun ini, menyebalkan!“Sampai juga. " Aku melihat dua lantai rumah mewah yang elegant.“Dari dulu dia tidak pernah punya satpam, heran." Gerutuku sambil membuka gembok yang tidak terkunci, hanya terpasang begitu saja, entah apa alasannya dia tidak pernah menguncinya, aku melenggang masuk ke halaman sambil menarik koper. "Berat juga ni koper." Tenagaku kewalahan saat mengangatkannya ke atas tangga.Apakah kata sandinya masih sama? kenapa dia tidak mengatakannya, akan kucoba kata sandi yang lama.Wow,asuk! Dia masih menggunakan kata sandi yang sama. Aneh memang orang itu! Selama lebih dari 7 tahun dia masih menggunakan sandi yang sama.‘Brugh!’Aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa, rumahnya bersih dan wangi, “Euhm …, nyaman sekali disini.”Menikmati suasa rumah yang begitu terkesan rapi, sejuk dan nyaman. Aku berkeliling untuk melihat-lihat. Sudah hampir dua tahun aku tidak pernah lagi ke rumah ini, semenjak pernikahanku bersama Mas Irawan, ia tidak pernah mengijinkanku untuk pergi ke rumah teman, sekedar jalan dan kumpul bersama pun tidak ia ijinkan, selain itu handphoneku sering ia sembunyikan, alasanya karena aku tidak boleh banyak bermain media sosial dan ngerumpi nggak karuan. Dasar bodoh! padahal agar dia lebih leluasa selingkuh dengan Renata! menyebalkan!Tanganku mengelus pelan setiap foto kenanganku bersama Atha, pria yang kukenal sejak SMA, banyak kenangan kami yang akhirnya di abadikan dan foto-foto itu masih tertata rapih di sini, masih sama dengan beberapa tahun lalu.“Bukankah sudah kukatakan, agar tidak menyentuh apapun!” Suara Atha sudah terdengar di belakangku.“Apakah pacarmu tidak marah, kamu masih memanjang foto-foto jelek ini?” tanyaku padanya, menelungkupkan salah satu foto yang terlihat sangat jelek. Bagaimana tidak jelek? dia memotretku dalam keadaan baru bangun tidur saat pergi berkemah.Atha hanya diam, aku berbalik melihatnya dan kembali berjalan ke sofa, tangannya terlihat meraih sesuatu di belakangku, saat kulirik ternyata dia sudah membuka fotonya lagi.Aku tidak habis pikir apa bagusnya menyimpan foto-foto jelek itu.‘Brugh!’Aku kembali menjatuhkan tubuhku di atas sofa, Atha membawa air dari meja makan. “Kemana saja kamu selama dua tahun ini? Sekali pun tidak pernah menghubungiku, hah!” cercaku padanya.“Mana berani aku menghubungi wanita bersuami, bisa-bisa aku mati konyol dicemburui suamimu,” jelasnya, “nah, sekarang mau ngapain kamu ke sini bawa-bawa koper segala?" Liriknya sinis saat melihat koper yang kusimpan di samping sofa.“Aku minggat dari rumah!" jawabku sambil meneguk air, haus sekali rasanya, nangis dari tadi pagi, belum sempat aku minum seteguk pun.“Ngapain kamu minggat, kalau ada masalah selesaikan baik-baik, bukannya main minggat dan datang ke rumah pria." Bicaranya sudah kaya ustadz saja.“Menurutmu, kalau Mas Irawan sudah tidak mengakuiku sebagai istrinya. Apa aku harus tetap tinggal di rumah itu?”“Apa?” wajah Atha berubah merah. "Apa yang telah dilakukannya padamu?” tanyanya lagi, ia sudah terlihat sangat geram.“Sudahlah aku tidak mau bercerita!" pungkasku. Kalau dia tahu yang sebenarnya, aku tidak yakin Mas Irawan tidak masuk rumah sakit. “Aku mau istirahat di sini sebelum mendapat tempat tinggal, di mana kamarku?”“Heum!” Terlihat Atha menghembuskan napasnya kasar, ia pasti menahan kesal padaku, lalu membawa kopernya ke lantai dua.Aku mengikutinya dari belakang, dan menjatuhkan tubuhku di atas kasur.“Turunlah sebentar lagi untuk makan!” ucap Atha sebelum menutup pintu.Aku membuka koper dan merapihkan pakaian ke dalam lemari, baju Mas Haidar masih belum dibersihkan, lebih baik aku segera membersihkannya dan bertemu Anna, aku sangat merindukannya.Aroma masakan sudah tercium harum dari arah dapur, kulihat Atha sedang menggunakan kepiawaiannya dalam memasak, ia bahkan jarang membeli makanan instan dan memilih memasak sendiri.“Milik siapa itu?” tanya Atha yang melihatku membawa jas ke tempat pencucian.“Milik Mas Haidar suaminya Anna, masih ingat kan sama Anna?” aku mulai mengaliri mesin dengan air.“Kenapa ada bersamamu?”“Euhm …. Mas Irawan ternyata kerja di sana, tadi pagi aku kekantornya untuk membawakan bekalnya yang tertinggal, tapi aku terjatuh dan bertemu Mas Haidar, dia meminjamkan jas miliknya,” jawabku membuka barisan gigi.Atha menatapku tidak percaya, lalu dia menyiapkan makanan di atas meja dan pergi ke kamarnya, aku curiga pada kelakuannya, biasanya dia berbuat brutal kalau sedang kalap.Perlahan aku mengintipnya dari balik pintu, mendengar percakapannya dengan seseorang.[Apakah ada kejadian tadi pagi di kantormu? apakah kamu melihat seorang perempuan datang ke sana?] Atha sedang berbicara dengan siapa? apa mungkin dia sedang menyelidikiku?[Apa?!] suara Atha terdengar tegas dan keras.[Terimakasih informasinya.]Bergegas, Atha keluar membawa suiter miliknya, “Jangan Tha, Please!” Aku menahan tangannya untuk pergi.“Dia sudah melecehkan harga dirimu, Kiran!” jawabnya dengan nada tinggi.“Aku tahu, tapi aku tidak mau kamu ribut dengan Mas Irawan,” ucapku lagi masih mencoba menahannya.“Apa kamu masih takut kalau aku akan menyakitinya?” Atha menatapku.Kejadian sebelum aku menikah dengan Mas Irawan pun berkelebat, dia pernah memperlakukanku dengan kasar dan Atha memukulnya, sedang aku menolong Mas Irawan. Semenjak itu, Atha tidak pernah menemuiku, ketika aku menikah pun ia bahkan tidak datang.“Bukan karena aku takut dia terluka, tapi aku takut kamu menjadi brutal dan kasar,” jawabku pelan. "Aku mohon mari kita makan!" Aku menarik lengannya.Atha menurut, dan duduk di meja makan, tapi sama sekali ia tidak mau berbicara, aku tidak yakin kalau Atha benar-benar akan mendengarkanku untuk tidak melakukan apapun pada Mas Irawan.Bersambung ....Malam beranjak naik, aku sangsi karena hanya berdua dengan Atha di rumah ini, takut malah jadi fitnah, hatiku sedikit gelisah, meski pun yakin tidak akan terjadi apa-apa pada kami, tetap saja rasa was-was itu ada.Sesaat kemudian kudengar suara orang sedang bercakap-cakap di lantai bawah, Atha bicara dengan siapa? aku keluar dan menengoknya, ada seorang perempuan di ruang tengah.Mungkinkah itu pacar Atha? apa yang harus kulakukan? bagaimana kalau dia salah paham saat melihatku di rumah ini?Pelan aku hendak kembali ke kamar, takut malah membuat suasana menjadi keruh, “Kirana kemarilah!” Tiba-tiba Atha melihat dan memanggilku.Sudah terlanjur terlihat, ya sudahlah, aku berjalan mendekati mereka, “Hallo Mbak Kirana, saya Talita teman kantornya Atha." Perempuan cantik itu mengulurkan tangannya.“Hallo,” jawabku ragu, jauh sekali penampilanku dengan Talita, dia terlihat cantik dan fress. Sedangkan aku? udah kucel, lemak berlebih pula.“Kalau begitu aku akan kembali, silahkan teruskan,” u
Aku memasukkan alamat rumah Anna dari kartu nama yang diberikan Mas Haidar ke google Map, dan mengikuti arahannya, tidak terlalu jauh dari sini, hanya 45 menit sudah bisa sampai.Navigasi berhenti di depan rumah mewah dan besar. Tidak salah! ini pasti rumahnya, rumah bos, wajarlah jika sebesar dan sebagus ini.Seorang satpam datang menghampiri, aku turun dan memutuskan untuk bertanya dari pada salah masuk kandang dan nggak bisa pulang? kan berabe, “Maaf Pak, apakah benar ini rumahnya Ibu Anna?” tanyaku, meski dalam hati yakin ini rumahnya.“Benar Bu, apakah Ibu mau bertemu Ibu Anna?” tanyanya balik.“Benar, tolong sampaikan kalau Kirana mau bertemu.”“Siap, Bu! saya sampaikan dulu.” Satpam itu bergegas masuk ke dalam, tak lama ia pun kembali dan membuka gerbang, aku masuk dan memarkirkan mobil di halaman rumah.Halamannya pun sangat luas, kira-kira cukup untuk menyimpan 10 mobil, dikelilingi dengan berbagai warna bunga lili yang sedang bermekaran, indah sekali.Perlahan aku berjalan m
Surat itu masih kugenggam, tidak berani membukanya, apalagi di depan Anna, ada perasaan tak menentu, yang rasanya perih bak tersayat-sayat, bagaimana tidak? cinta yang ditulisnya membawaku pada orang yang salah, aku langsung mencintai Mas Irawan karena kukira dialah pemilik surat ini, tapi ternyata aku salah melabuhkan cintaku.Aku tidak ingin kembali terjebak dalam cinta itu, mungkin saja sekarang dia sudah pergi jauh dan berlabuh pada orang lain, aku menyimpannya ke dalam tas, dan pergi ke bank untuk mencairkan deposito uang yang telah kusimpan selama 2 tahun ini.Proses pencairan berlangsung cepat, aku dilayani dengan sangat baik, uang sudah dipindahkan ke rekening, kapan pun aku bisa melakukan pembayaran dengan transfer atau mengambil uang cas di mesin ATM.“Terimakasih atas kepercayaannya selama ini Ibu, kami punya sedikit hadiah,” ucap salah satu pegawai menyodorkan sebuah kotak padaku.Aku membukanya perlahan, “Waw …, sebuah kalung berwarna silver yang indah dihiasi dengan band
Hari ini aku langsung pindahan ke rumah baru, hanya memboyong koper dan tas kecil, untuk sementara aku hanya akan membeli kasur lipat untuk tidur, lainnya bisa menyusul setelah aku bekerja.Aku pergi sendiri karena Atha ijin keluar setelah mengantarku ke salon, sebelum sampai ke rumah baru, aku mampir di salah satu toko dan membeli kasur kecil serta karpet untuk alas tidur malam ini.Rumah ini terlihat lapang karena belum ada satu pun furniture di dalamanya, aku masih menunggu kasur beserta karpet yang belum di antar, berkeliling ruangan melihat dengan seksama, maklum, sebelumnya aku tidak memperhatikannya dengan baik, karena tidak berpikir untuk tinggal di sini.Dua kamar dengan ukuran cukup besar, dan satu loteng kecil. Selain itu ada halaman di lantai dua dengan fasilitas jemuran di dalam ruangan yang tembus matahari, terasnya cukup luas dan bisa digunakan untuk sekedar bersantai saat malam.Selain itu pemandangannya pun langsung bisa melihat kota Jakarta, ini benar-benar hadiah ya
Hari ini pun datang, aku sudah sangat gugup dari pagi, bolak balik ganti pakaian dan pake hapus make up, biar mereka benar-benar terkejut dengan penampilanku yang berbeda dan menjadi bagian dari kantor itu.Mobil Atha sudah terdengar parkir di halaman, mesinnya mendesir lembut, tergesa aku mengenakan sepatu dan berlari menghampirinya, ini sudah pukul 07.30, tidak enak kalau di hari pertama sudah telat.“Tunggu sebentar Tha, tasku ketinggalan,” aku kembali berlari ke kamar dengan berjinjit, hak sepatu terlalu tinggi hingga kurang nyaman saat dipakai.Atha menatapku, melihat hebohnya aku pagi ini, sebenarnya bukan karena akan masuk kerja yang membuatku salah tingkah, tapi karena akan bertemu dengan Mas Irawan dan teman-temannya yang telah meredahkanku hari itu.“Tha, bagaimana penampilanku?” aku sedikit berpose untuk menunjukkan pakaian, tapi Atha hanya diam, lalu ia masuk ke dalam kamarku, dan kembali dengan membawa sepatu yang haknya lebih rendah.“Aku mau pakai sepatu ini Tha,” ucap
Aku melihat mereka melenggang keluar dengan wajah yang memerah darah, perpaduan antara malu dan marah, entah mana yang lebih dominan.“Maaf ya Mas, kalau saya kurang sopan tadi,” ucapku pada Mas Haidar dan segera menghampirinya.“Tidak apa-apa Kiran, saya paham sekali perasaanmu, perempuan itu sering kepergok di ruangan ini, tetapi selalu bilang kalau dia istrinya, hingga saya membiarkan dia sering datang ke kantor ini.Aku menghela napas dalam, ini sangat menyakitkan, meski sudah berpisah dengan Mas Irawan, tetapi merasa diri begitu bodoh hingga membuat dadaku sesak.‘Bug …, Bug …, Bug ….’Aku memukul dada pelan, sekedar menghilangkan sedikit rasa sakit.“Kamu tidak apa-apa Kiran?” wajah Mas Haidar terlihat khawatir.“Tidak Mas, saya baik-baik saja,” jawabku pelan.“Duduklah,” titahnya menyodorkan kursi.“Tidak Mas, aku baik-baik saja,” aku mencoba menenangkan hati.“Kedepannya kamu akan selalu berhubungan dengannya sebagai rekan kerja, Irawan saya tempatkan menjadi ketua departemen
Aku masih melongo, tak henti menatap Atha yang masih sibuk membalas sapaan mereka.“Silahkan duduk di sini, Pak,” Mas Haidar berdiri dan mempersilahkan kami untuk duduk.“Terimakasih, Pak Haidar,” ucapnya seraya membuka kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk.“Duduk Kiran!” Atha melihat wajahku yang enggan untuk duduk di atas kursi yang telah ditariknya, semua mata tertuju padaku sekarang.“Eh, maaf Pak, silahkan Bapak yang duduk.” Aku segera memegang kursi itu dan mempersilahkan Atha untuk duduk lebih dulu, harusnya begitu kan sikap bawahan ke atasan.Atha mengerutkan dahinya, lalu memegangi kedua pundakku, mendudukannya dengan paksa. Aku terpaksa menuruti dan duduk senyaman mungkin, kemudian dia membuka kursinya sendiri untuk duduk di sampingku.“Sudah lama Bapak tidak datang ke kantor kami. Suatu kehormatan, siang ini Pak Atha bisa makan di sini." Mas Haidar membuka obrolan.Aku mengintip pandangan untuk melihat sekeliling, di mana Mas Irawan dan teman-temannya duduk? tidak kuliha
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Atha~Aku mengepal dan meremas rasa sakit, lelaki bajingan itu telah berani menyakiti istriku! Selama ini aku membiarkannya karena masih menganggapnya teman, tapi kali ini dia benar-benar menunjukkan sifat kegilaannya. Aku sungguh tidak menyangka dia bisa melakukan hal sekeji itu pada Kirana, perempuan yang bahkan pernah ia cintai.Aku tidak pernah berpikir bahwa ada cinta seperti itu, melukai wanitanya sendiri hanya karena cintanya tak berbalas."Lacak keberadaan Ihsan dan keempat lelaki itu sekarang! Aku tidak akan membiarkannya lepas setelah apa yang mereka lakukan pada Kirana!" sentakku pada semua pegawai IT kantor."Aku ingin membuat perhitungan dengan kepalan tanganku sendiri! dia pikir bisa menguji cinta dan kesetiaanku pada Kirana dengan cara seperti ini? sungguh Ihsan benar-benar bodoh!""Apa maksudnya Pak?" seseorang bertanya karena merasa heran dengan pemikiranku."Hm!" Aku berdecak."Ihsan melakukan sebuah siasat agar aku merasa jijik pada Kirana dan mencampakannya. Dia ti
"Kiran.""Iya sayang."Atha memicingkan matanya."Why?""Hanya belum terbiasa," jawabnya sembari mengelus rambutku lembut."Hari ini kita akan melihat rumah yang dibelikan Ayah, jam sepuluh aku jemput ya?" ucapnya lagi. Ia masih sibuk menata dasi yang dikenakan. Aku mendekat dan memberi sentuhan, memukul manja dadanya yang bidang."Rumah ini dan rumah kamu gimana?" tanyaku tanpa menatap."Kamu suka tinggal di sini?" Aku menggangguk dua kali."Lihat saja dulu rumahnya, mungkin kamu lebih suka. Kirana Tufatu Zahra bisa tinggal di mana saja, tidak masalah asal sama aku," jawabnya dengan barisan gigi yang putih."Aku berangkat dulu ya, hati-hati. Jangan bukakan pintu untuk sembarang orang," pesannya sebelum pergi. Aku mengambil punggung tangan dan menciumnya lembut. Atha memandang sesaat sebelum ia mengecup keningku dan melangkah menuju mobil.Aku melihat ia menghidupkan mobilnya, dan menatap lewat kaca spion. Apa yang beda hari ini? rasanya ada sesuatu yang kurang nyaman dihati saat me
“Aku harus pergi ke kantor sebentar, ada urusan yang tidak bisa didelegasikan sama yang lain,” ucap Atha mendekatkan wajahnya, hanya beberapa inci saja jarak kami sekarang.Aku mengerucutkan bibir, ini hari pertama pernikahan kami. Atha tidak bisa mengajukan cuti meski pemilik perusahaan.“Hanya sebentar saja, aku akan segera kembali,” rayunya lagi sembari mencubit pipi.“Iiii. Sakit!” Mataku melotot. Atha tergelak sembari berlari kekamar untuk mengambil kunci mobil.Ponsel yang kusimpan di atas meja bergetar pelan, sengaja hanya digetarkan tanpa suara agar punya waktu privasi dengan Atha, malah pesan group aku senyapkan.Pesan WhatsApp sampai penuh, chat teman-teman yang menyampaikan selamat juga berbaris rapi, apalagi group kantor sampai ribuan komentar, entah apa yang sedang mereka bahas, Aku kurang tertarik. Dari deretan pesan itu kulihat ada nama Ihsan di barisan paling atas.[Selamat atas pernikahannya ya Kirana, maaf kalau sikapku telah mengecewakanmu. Baru kali ini aku mencin
Pemandangan yang menakjubkan! lelaki di hadapanku saat ini terlihat bak malaikat tak bersayap, bulu alis teduh, lekuk wajah sempurna, dan hati yang menawan. Sungguh aku tak salah memilihnya menjadi imam untuk menuju surga-Nya.“Mau sampai kapan, kamu memandangku seperti itu?” ucapnya pelan tanpa membuka mata.“Bagaimana kamu tahu, aku sedang menatap, kalau matamu saja tidak terbuka?” jawabku, seraya membelai lembut, lengkung hidungnya yang indah. ‘Kamu adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam rupa,' batinku.“Aku tidak memerlukan bola mata untuk melihat bidadari, karena ia sudah bersatu dalam jiwaku,” jawabnya perlahan, sembari membuka kelopak mata.“Kamu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna Kirana.” Tangan Atha membelai lembut rambutku yang mengurai menutupi kening. Bahkan kami saling memuji satu sama lain.“Shalat berjamaah yuk.” Atha bangkit dan berdiri dengan celana pendek tanpa menggunakan atasan alias telanjang dada, bulu-bulu halus di dada bidangnya membuat
Aku menatap sosok yang baru di depan cermin, perempuan yang sama dua tahun lalu, tapi hari ini lebih terlihat dewasa dengan binar bola mata yang bahagia. Tidak ada keraguan dalam tatapannya, tidak seperti dua tahun lalu ketika memakai riasan yang senada untuk acara yang sama, namun hatinya entah ada di mana.“Kamu sudah siap sayang?” tangan Ayah menyentuh pundak, aku berbalik untuk menatapnya.“Ayah, Insya Allah sekarang Kirana tidak salah memilih lagi,” ucapku pelan, menahan hawa panas dalam kantung mata.“Anak Ayah sekarang sudah lebih dewasa, pengalaman pahitmu bisa menjadi pelajaran yang terbaik dalam memilih pasangan lagi,” Ayah memegang erat puhu tangan, meyakinkan kalau aku sudah memilihnya dengan pertimbangan yang lebih dewasa dan matang.Ayah memapahku untuk berjalan, keluarga dan sahabat terdekat sudah menunggu di ruang tamu. Mas Haidar dan Khaira pun tampak duduk manis di tengah-tengah mereka.Aku menegakkan pandangan, melihat calon suamiku yang sudah berdiri untuk menyamb
Aku mengangkat wajah, setelah tertunduk cukup lama untuk memulihkan hati. Kutatap laki-laki yang ada di hadapanku sekarang, matanya sendu dengan wajah yang sedikit pucat, bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman yang indah dan manis.“Ihsan adalah lelaki yang akan sulit untuk ditolak perempuan, termasuk oleh Kiran. Ia tampan, baby face, lembut, romantis, dan punya cukup materi,” jelasku, hal itu seketika membuat Mami tersenyum lebar, bibir pucat Ihsan pun sedikit lebih bernyawa dengan senyuman yang tergaris.“Tapi, sayangnya Kiran sudah memiliki satu pria seperti itu sejak 8 tahun silam, meski banyak yang hampir menyerupainya, ada hal yang tidak dimiliki orang lain dan hanya dimiliki olehnya saja. Atha seorang pria yang memiliki rasa cinta tanpa meminta, ia hanya cukup mencintai, memberikan kebahagiaan, bahkan melepas tanpa dendam. Ia membiarkan perempuan yang dicintainya memilih kebahagiaannya sendiri tanpa mengurangi rasa cinta yang dimilikinya, ia tetap menemani perempuan yang
Atha~Tubuhku bergeming seketika, udara hangat itu berubah menjadi butiran salju yang mampu membekukan hati, terasa dingin dan meretakkan semua tulang.Aku mendengar dengan jelas ucapannya, bibirnya bergerak perlahan mengatakan kata di luar nalar untuk orang yang baru jatuh cinta, apa mungkin Ihsan sudah lama memendam perasaannya, sejak kapan?“Kita bawa saja Ihsan ke rumah sakit, Kiran?” tawarku, Kirana mengangguk cepat, kami membantu memapahnya hingga memasuki mobil.Aku melihat jelas pemandangan menyakitkan itu, Ihsan tidur di pangkuan perempuan yang kucintai, tangan lembut Kiran membelai rambut pria lain, sesekali butiran bening lolos begitu saja dari binar matanya. Apa yang dirasakannya sekarang? mungkinkah sebenarnya Kirana menyimpan rasa yang sama sekali ia tidak tahu, seperti rasanya padaku dari dulu?Kami sampai di Klinik terdekat, aku turun lebih dulu untuk meminta bantuan, beberapa perawat segera menghampiri sembari membawa blankard, membaringkan tubuh Ihsan di sana, Kirana
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.