Sudah siang, tapi ponsel Ry masih belum aktif juga. Keadaan rumahnya masih tetap seperti tadi pagi, rumah itu seolah kosong. Tak ada seorang pun yang terlihat keluar atau masuk ke rumah itu, bahkan para pelayan di rumah Ry yang berjumlah dua orang juga tidak terlihat. Beberapa kali ia memeriksa keadaan rumah itu dari teras rumahnya, dan tetap tidak ada perubahan. Sebenarnya ia inginkan n ke sana, tapi belum menemukan alasan yang tepat seandainya Bibi Rei bertanya kenapa ia berkunjung. Lagipula, ia tak ingin menunjukkan wajah memarnya pada Ry, ia tak ingin ceweknya khawatir. Ry tak perlu tahu soal perkelahian itu, tak perlu tahu ancamnya Ikki yang memuakkan. "Kenapa, Ruu? Kok, kayaknya dari tadi Mama perhatiin Ruu manyun terus?" Shu duduk di samping Ruu, memeriksa keadaan wajah putranya. Kepalanya mengheelng melihat lebam di wajah itu belum juga hilang. Ruu terlihat beberapa kali menarik dan mengembuskan napas berat dan panjang. Sebagai seorang Ibu, dia merasakan jika putranya sedang
"Gimana?" Shu datang dan duduk di kursi sebelah Ruu. Ada sebuah meja yang terbuat dari kayu yang memisahkan duduk mereka. "Ada keliatan nggak?" tanyanya khawatir. "Tadi Mama telepon ke nomor rumahnya nggak diangkat, telepon ke ponselnya nggak aktif. Ten juga sama kayak gitu, nggak aktif juga."Dada Ruu bergemuruh mendengarnya, jantungnya berdegup kencang. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di pelipisnya, tubuhnya bergetar, perutnya mendadak mual. Jangan sampai apa yang ditakutkannya terjadi. Jangan sampai Ry dan keluarganya sudah tidak menempati rumah mereka lagi. Ruu berdiri dengan panik, berlari cepat menuju rumah Ry, dan menemukan pagar rumah itu yang digembok. Sekelilingnya tiba-tiba berputar. Debaran jantungnya semakin kencang, sampai-sampai rasanya ia sedikit kesulitan menarik napas. Kepalanya berdenyut, awalnya hanya denyutan kecil, tapi semakin lama semakin kuat. Ruu menekan kepalanya menggunakan kedua tangan, menggeleng kuat, berharap apa yang dilihatnya bukanlah sebuah
Suara ketukan di pintu terdengar tak sabaran. Dengan malas Ikki bangkit dari sofa panjang yang direbahinya. Sungguh, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, Ruu memukulnya terlalu keras. Tendangannya juga, bahkan lebih keras dari pukulannya. Meskipun perkelahian mereka imbang tetap saja ia merasa kesakitan. Ketukan di pintu semakin merajalela, sekarang disertai gedoran, dan sesekali tendangan. Mau tak mau Ikki harus membukakan pintu, ia tak mau menerima protes dari para tetangganya hanya karena keributan kecil ini. Lagipula, ia ingin tahu siapa orangnya yang tidak sabaran bertamu ke unitnya. Ikki membuka pintu, sebuah pukulan langsung mendarat di rahangnya bersamaan dengan itu. Ikki tersentak, terhuyung ke belakang karena serangan yang tiba-tiba. Belum sempat ia bernapas dengan lega, atau setidaknya mengusap rahangnya yang terasa sangat nyeri dan panas, sepertinya rahangnya patah atau paling tidak bergeser, ia sudah mendapatkan serangan lainnya. Cekikan di lehernya masih terasa sanga
"Sekarang Ikki liat, 'kan? Masih bilang kalo aku cuman omong kosong, aku membual?" Ikki menatap rantai dan gembok yang mengunci pintu pagar rumah Ry dengan nanar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ruu ternyata tidak berbohong. Padahal ia mengira Ruu hanya membohonginya untuk semakin membuatnya cemburu, tidak menduga jika semua yang dikatakannya adalah kenyataan. Ikki mengusap wajah kasar, lupa jika masih banyak terdapat memar dan luka di wajahnya. Ia meringis, nyeri terasa di bagian tulang pipi. Di sudut bibirnya juga terdapat luka dan memar baru, Ruu tadi benar-benar menghajarnya habis-habisan. Beruntung ia masih bisa berjalan, itu pun karena terpaksa. Ia ingin membuktika apa yang dikatakan Ruu. "Ry sama keluarganya udah nggak menempati rumah ini lagi." Ruu mengerang. "Biasanya nggak digembok kayak gini, pintu pagarnya nggak pernah dikunci malahan." Ia menendang pintu pagar beberapa kali, melampiaskan rasa kesalnya. "Ini nggak mungkin." Ikki
Ikki mengusap tengkuknya. Ia tahu pertanyaannya sedikit konyol. Ah, bukan. Pertanyaannya sangat konyol, dan sangat memalukan. Untuk apa ia menanyakan siapa yang menghuni rumah mewah ini, ia tidak mengenal siapa pun warga di komplek perumahan elit ini. Seandainya saja ia tidak penasaran, ia tidak akan terlihat bodoh seperti sekarang ini. "Ini adalah rumah keluarga Sukishima," jawab cewek itu. Kerutan masih menghiasi dahi putihnya. "Keluarga Sukishima?" ulang Ikki bertanya.Cewek itu mengangguk. Ikki mengusap wajah menggunakan tangan kanan kemudian menundukkan kepala sedetik. Setelah itu tersenyum pada cewek yang masih berdiri di depannya. Cewek itu menatapnya dengan tatapan heran. "Terima kasih atas informasinya." Ikki membungkukkan sedikit badannya. Cewek itu melakukan hal yang sama. "Sama-sama, tidak masalah," jawabnya tersenyum. "Permisi!" Dia mengundurkan diri. Ikki mengangguk. "Sekali lagi, terima kasih, ya!" serunya kar
Ry menolak untuk hadir kembali ke sekolah. Dia tidak memiliki teman di sekolah barunya. Bukan para siswa itu yang tidak mau menemaninya, melainkan dirinya yang menolak untuk berteman dengan mereka. Dia hanya ingin berteman dengan teman-temannya, sahabat-sahabatnya. Dia sangat merindukan mereka saat ini. Sudah setengah tahun, dan rasa sepi itu semakin menyiksanya di samping rasa rindunya pada Ruu. Dia masih menangis saat terbangun tengah malam, masih berharap jika semua ini hanya mimpi, dan saat dia terbangun semua kembali seperti semula. Dia akan membangunkan Rin, kemudian mereka sarapan bersama, dan pergi ke sekolah dengan setengah berlari mengejar kereta karena dirinya yang selalu lambat dalam menghabiskan sarapan. Rin juga melakukan hal yang sama –tidak mau pergi ke sekolah, padahal dia sudah mempunyai banyak teman, tetapi baginya tak ada teman yang seperti teman-temannya saat masih di sekolah yang lama. Dia juga sangat merindukan mereka. Bila keluar rumah, pasti akan berusaha me
Satu tahun dan belum ada tanda-tanda keberadaan Ry. Baik di Tokyo maupun di kota lainnya, hasilnya nihil. Ia bahkan meminta bantuan Papa, tetapi Ry dan keluarganya masih belum ditemukan. Meskipun begitu, ia tetap tidak putus asa. Seperti apa yang dikatakan Mama, jika kita tulus berusaha dan mencintai seseorang, pasti akan dimudahkan jalan kita untuk bertemu lagi. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Kata-kata Mama itulah yang selalu menguatkan Ruu, dan berhasil membuatnya menjadi mahasiswa University of Toyo di tahun ketiga pencariannya terhadap Ry. Setelah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan secara homeschooling, Ruu belajar giat agar bisa masuk ke universitas impiannya. Ia menuruti saran Papa untuk tidak terlalu memikirkan masalah pencarian Ry, dan menyerahkan segalanya pada Papa. Bukan hanya Ruu yang mencari Ry, tetapi Shu juga mencari keberadaan Rei. Awalnya memang tidak mudah, pikirannya selalu tertuju pada Ry. Namun, ia tetap berusaha dengan sekuat tenaga. Usaha tidak ak
Mata Ruu melebar mendengar perkataan Papa, tak sadar senyum mengukir di wajah tampannya. Benarkah Papa sudah menemukan Ry? Dia di Osaka? Astaga, itu cukup jauh dari sini! Namun, masih bisa ditempuh dalam waktu setengah hari perjalanan darat. Menggunakan shinkansen akan lebih cepat lagi, hanya memakan waktu dua jam. Aman. "Jangan berpikiran macam-macam, Ruu! Papa nggak ngizinin Ruu ke Osaka kecuali Ruu udah lulus kuliahnya terus kerja!"Senyum Ruu memudar mendengar kata-kata tegas Papa. Itu artinya ia tidak akan bisa bertemu Ry dalam waktu dekat ini. Padahal ia sudah merencanakan untuk menemuinya di Osaka akhir pekan nanti. Astaga! Berapa lama lagi ia harus menunggu? Tidak cukupkah selama tiga tahun ini ia menunggu dan mencari? Kenapa harus ditambah lagi penantiannya? Baiklah, katakan saja ia cengeng dan terlalu mendramatisir keadaan, tetapi siapa juga yang tahan jika tidak bertemu selama ini dengan gadis yang dicintainya? Papa juga tidak mungkin bisa tidak bertemu Mama selama ia da