"Sekarang Ikki liat, 'kan? Masih bilang kalo aku cuman omong kosong, aku membual?"
Ikki menatap rantai dan gembok yang mengunci pintu pagar rumah Ry dengan nanar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ruu ternyata tidak berbohong. Padahal ia mengira Ruu hanya membohonginya untuk semakin membuatnya cemburu, tidak menduga jika semua yang dikatakannya adalah kenyataan. Ikki mengusap wajah kasar, lupa jika masih banyak terdapat memar dan luka di wajahnya. Ia meringis, nyeri terasa di bagian tulang pipi. Di sudut bibirnya juga terdapat luka dan memar baru, Ruu tadi benar-benar menghajarnya habis-habisan. Beruntung ia masih bisa berjalan, itu pun karena terpaksa. Ia ingin membuktika apa yang dikatakan Ruu."Ry sama keluarganya udah nggak menempati rumah ini lagi." Ruu mengerang. "Biasanya nggak digembok kayak gini, pintu pagarnya nggak pernah dikunci malahan." Ia menendang pintu pagar beberapa kali, melampiaskan rasa kesalnya."Ini nggak mungkin." IkkiIkki mengusap tengkuknya. Ia tahu pertanyaannya sedikit konyol. Ah, bukan. Pertanyaannya sangat konyol, dan sangat memalukan. Untuk apa ia menanyakan siapa yang menghuni rumah mewah ini, ia tidak mengenal siapa pun warga di komplek perumahan elit ini. Seandainya saja ia tidak penasaran, ia tidak akan terlihat bodoh seperti sekarang ini. "Ini adalah rumah keluarga Sukishima," jawab cewek itu. Kerutan masih menghiasi dahi putihnya. "Keluarga Sukishima?" ulang Ikki bertanya.Cewek itu mengangguk. Ikki mengusap wajah menggunakan tangan kanan kemudian menundukkan kepala sedetik. Setelah itu tersenyum pada cewek yang masih berdiri di depannya. Cewek itu menatapnya dengan tatapan heran. "Terima kasih atas informasinya." Ikki membungkukkan sedikit badannya. Cewek itu melakukan hal yang sama. "Sama-sama, tidak masalah," jawabnya tersenyum. "Permisi!" Dia mengundurkan diri. Ikki mengangguk. "Sekali lagi, terima kasih, ya!" serunya kar
Ry menolak untuk hadir kembali ke sekolah. Dia tidak memiliki teman di sekolah barunya. Bukan para siswa itu yang tidak mau menemaninya, melainkan dirinya yang menolak untuk berteman dengan mereka. Dia hanya ingin berteman dengan teman-temannya, sahabat-sahabatnya. Dia sangat merindukan mereka saat ini. Sudah setengah tahun, dan rasa sepi itu semakin menyiksanya di samping rasa rindunya pada Ruu. Dia masih menangis saat terbangun tengah malam, masih berharap jika semua ini hanya mimpi, dan saat dia terbangun semua kembali seperti semula. Dia akan membangunkan Rin, kemudian mereka sarapan bersama, dan pergi ke sekolah dengan setengah berlari mengejar kereta karena dirinya yang selalu lambat dalam menghabiskan sarapan. Rin juga melakukan hal yang sama –tidak mau pergi ke sekolah, padahal dia sudah mempunyai banyak teman, tetapi baginya tak ada teman yang seperti teman-temannya saat masih di sekolah yang lama. Dia juga sangat merindukan mereka. Bila keluar rumah, pasti akan berusaha me
Satu tahun dan belum ada tanda-tanda keberadaan Ry. Baik di Tokyo maupun di kota lainnya, hasilnya nihil. Ia bahkan meminta bantuan Papa, tetapi Ry dan keluarganya masih belum ditemukan. Meskipun begitu, ia tetap tidak putus asa. Seperti apa yang dikatakan Mama, jika kita tulus berusaha dan mencintai seseorang, pasti akan dimudahkan jalan kita untuk bertemu lagi. Semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Kata-kata Mama itulah yang selalu menguatkan Ruu, dan berhasil membuatnya menjadi mahasiswa University of Toyo di tahun ketiga pencariannya terhadap Ry. Setelah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan secara homeschooling, Ruu belajar giat agar bisa masuk ke universitas impiannya. Ia menuruti saran Papa untuk tidak terlalu memikirkan masalah pencarian Ry, dan menyerahkan segalanya pada Papa. Bukan hanya Ruu yang mencari Ry, tetapi Shu juga mencari keberadaan Rei. Awalnya memang tidak mudah, pikirannya selalu tertuju pada Ry. Namun, ia tetap berusaha dengan sekuat tenaga. Usaha tidak ak
Mata Ruu melebar mendengar perkataan Papa, tak sadar senyum mengukir di wajah tampannya. Benarkah Papa sudah menemukan Ry? Dia di Osaka? Astaga, itu cukup jauh dari sini! Namun, masih bisa ditempuh dalam waktu setengah hari perjalanan darat. Menggunakan shinkansen akan lebih cepat lagi, hanya memakan waktu dua jam. Aman. "Jangan berpikiran macam-macam, Ruu! Papa nggak ngizinin Ruu ke Osaka kecuali Ruu udah lulus kuliahnya terus kerja!"Senyum Ruu memudar mendengar kata-kata tegas Papa. Itu artinya ia tidak akan bisa bertemu Ry dalam waktu dekat ini. Padahal ia sudah merencanakan untuk menemuinya di Osaka akhir pekan nanti. Astaga! Berapa lama lagi ia harus menunggu? Tidak cukupkah selama tiga tahun ini ia menunggu dan mencari? Kenapa harus ditambah lagi penantiannya? Baiklah, katakan saja ia cengeng dan terlalu mendramatisir keadaan, tetapi siapa juga yang tahan jika tidak bertemu selama ini dengan gadis yang dicintainya? Papa juga tidak mungkin bisa tidak bertemu Mama selama ia da
Papa hanya melarangnya menemui Ry, bukan? Tidak melarangnya untuk mengamati dari jauh. Akhir pekan, Ruu menuju Osaka menggunakan Shinkansen. Ia tiba setelah tiga jam di perjalanan. Kereta itu hari ini lebih lambat tiga puluh menit dari waktu tempuh biasanya. Ruu berbaur bersama penumpang lainnya, turun dari kereta di stasiun Shin, Osaka. Rasanya tak percaya ia bisa berada di sini, masih seperti mimpi saja. Setelah merengek nyaris setengah hari kemarin minta Papa memberikan izin, akhirnya ia berada di Osaka. Dengan semangat menggebu dan senyum yang nyaris tak pudar dari bibirnya, Ruu keluar dari stasiun. Berbekal alamat dari Papa, Ruu melangkah menyusuri jalanan di prefektur Osaka, mencari tempat Ry bekerja. Kata Papa, Ry bekerja part time, entah untuk apa karena keluarga Ry termasuk keluarga mampu. Menurut informasi dari anak buah Papa, paman Ten memiliki kedudukan yang bagus di tempat kerjanya yang sekarang. Jadi. mustahil Ry bekerja karena alasan untuk membiayai pendidikannya. Hu
Dadanya berdebar kencang. Jantungnya terasa panas, rasanya ingin meledak saking cepatnya berdetak. Ruu menghela napas yang terasa berat. Sumpit dilepaskan, tangan kanan yang memegangnya beralih meremas dada kiri, berusaha meredakan debaran jantungnya yang menggila. Suara Ry terdengar sangat dekat, jarak mereka hanya beberapa kaki saja sepertinya, atau mungkin Ry sekarang berdiri di sebelahnya! Ruu menahan napas. Sangat cemas kalau-kalau Ry mengenalinya."Porsi seperti biasa, ya, Paman. Maaf merepotkan."Ry sedikit membungkukkan badannya. Rambutnya yang diikat ekor kuda ikut bergerak turun ketika kepalanya menunduk. Ruu berusaha menahan matanya agar tidak terus melirik ke sisi kirinya di mana Ry berada. Sayangnya, mata sialannya sangat sulit untuk dikendalikan. Selalu melirik ke sisi kiri. Untungnya Ry masih tidak peka, dia tidak menoleh ke mana-mana, langsung menghampiri Rin yang sudah duduk di meja tak jauh dari tempatnya berada. Meskipun sedikit jauh dari posisi yang tadi, tetapi t
"Anak itu emang sedang ada masalah sama ibunya, katanya ibunya membawa mereka pindah ke daerah ini secara mendadak. Mereka tidak bisa berkabar pada siapa pun termasuk teman-teman akrab mereka." Paman pemilik kedai bercerita pada Ruu tanpa diminta. "Kasihan, ya. Sampai sekarang, paman terkadang masih bingung terhadap orang tua yang memaksakan kehendak kepada anak mereka yang sudah remaja. Seharusnya biarkan saja mereka berkembang dengan mengambil keputusan sendiri. Jika jalan yang diambil oleh si anak akhirnya salah, sebagai orang tua harus bisa membimbing anaknya kembali ke arah yang benar "Ruu menatap paman pemilik kedai dengan mengerutkan alisnya. Membenarkan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ah, seandainya saja setiap orang tua memiliki pemikiran seperti paman ini, pastilah tidak akan ada kisah cinta serumit kisah cintanya dan Ry. "Ah, maafkan paman. Paman terlalu banyak bicara, ya." Ia tersenyum kikuk karena tidak mendapatkan perhatian dari Ruu. Pelanggan muda yang bar
Sekali lagi Ry menoleh ke belakang. Dia merasa ada yang mengikutinya. Bukan, bukan mengikuti secara langsung. melainkan mengikuti dengan tatapan mata alias mengamati. Namun, saat dia menengok ke belakang untuk mencari tahu siapa orangnya yang sudah membuntutinya dengan tatapan, dia tidak menemukan siapa-siapa. Hanya ada jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan berlalu-lalang saja. Beberapa detik Ry menghentikan langkah, kemudian kembali melanjutkannya setelah mengedikkan bahu. Kedai es krim tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari apartemennya. Hanya sekitar lima belas menit, dia sudah berada di dalam unitnya. Dari apartemen memakan waktu lima belas menit juga ke kampus menggunakan sepeda, sama saja jika menggunakan kereta. Sebab jarak yang tidak terlalu jauh, dia tinggal di apartemen kecilnya. Selain karena memang ingin bebas dari tekanan Mama. Dia sudah tidak tahan, Mama terlalu mengekangnya, selalu menganggapnya anak kecil yang tidak tahu segalanya, yang tidak dapat membedakan s
Pagi datang lebih cepat dari biasanya bagi Ruu. Suara kicau sekumpulan burung yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya yang membangunkannya. Suara itu lebih dahsyat dari suara jam alarm yang dipasangnya tadi malam. Jam itu terus berbunyi nyaris selama dua jam, tidak berhenti jika ia tidak mematikannya, dengan mata yang masih terpejam. Tadi malam ia tidur lewat tengah malam. Bukan karena begadang, melainkan karena mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah mengantarkan Ry pulang pada pukul sepuluh malam, dan tiba kembali di apartemennya tiga puluh menit kemudian, ia langsung mengerjakannya. Ada beberapa pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan. Ia baru mengingatnya setelah berbaring di atas tempat tidur tadi malam. Dengan malas Ruu bangun. Rasanya masih belum puas tidur meskipun sekarang sudah pukul delapan pagi. Ruu sadar jika ia terlambat, dan itu bukan merupakan contoh yang baik bagi bawahannya. Namun, mau bagaimana lagi, walaupun ia bersiap dengan tergesa tetap saja tidak
Ruu mengembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Tangannya terangkat mengusap tengkuk, dan meneguk ludah susah payah. "Aku ... ancam dia biar nggak ganggu Ry lagi " Mata bulat Ry melebar. "Kok, Ruu gitu?" tanyanya memprotes. "Habisnya dia nyebelin!" Ruu membela diri. "Masa mau sama cewek aku?" Sepasang alis Ry terangkat. "Dia nggak nolak dijodohin sama Ry pas udah liat foto Ry. Dia sampai mutusin ceweknya yang satu fakultas sama aku. Ya, udah, aku hajar aja!" Ry mengerjapkan mata beberapa kali. Apa kata Ruu tadi, menghajar seseorang yang mau dijodohkan dengannya? Astaga! Ry memencet pangkal hidung. Meskipun kesal, tapi dia tidak bisa marah. Hati kecilnya justru menganggap apa yang dilakukan Ruu sangat manis. "Astaga!" Ry menutup mulut dengan kedua tangan. "Maaf, Ry!" kata Ruu cepat, ia tak ingin mendapatkan kemarahan dari ceweknya. Mereka baru saja bertemu sore tadi setelah enam tahun berpisah, akan sangat tidak lucu jika mereka kemudian langsung bertengkar. "Aku cuman berusaha
Mata bulat Ry masih berkaca-kaca, tak percaya jika dia benar-benar bertemu dengan cowok yang selama ini dirindukannya . Semua seperti mimpi saja, Ruu datang ke kedai es krim tempatnya bekerja, memesan es krim yang tidak ada dalam daftar menu. Tak ada kedai es krim yang menjual es krim dengan rasa yang tawar, dan Ruu memesannya karena tidak menyukai makanan manis. Konyol memang, tapi Ruu melakukannya hanya ingin dia mengetahui keberadaannya. "Maafin aku, Ry." Ruu menggenggam tangannya erat. "Harusnya sejak awal aku udah tau kalo Ikki pengen kisahin kita, tapi aku nggak tau kalo dia bisa selicik itu."Ry menggeleng. Dia masih belum dapat berbicara. "Aku nyari Ry ke mana-mana selama beberapa bulan awal itu, tapi nggak ketemu. Hampir seluruh Tokyo aku cari, tapi Ry nggak ada. Sampai Papa nawarin aku bantuan dengan satu syarat." Ruu menundukkan kepala. "Aku harus mau lanjutin pendidikan aku."Ry mengangguk. Dia percaya dengan semua yang dikatakan Ruu. Cowok yang duduk di sebelahnya, seda
Osaka sekarang sama berartinya dengan Tokyo bagi Ruu. Jika dulu ia hanya menganggap Tokyo yang terpenting karena keluarganya tinggal di sana, sejak Papa memberi tahu keberadaan Ry di Osaka, kota ini juga menjadi yang penting untuknya. Ruu bahkan tak menyangka jika ia akan menjadi bagian dari kota ini. Mulai besok ia akan memimpin perusahaan cabang yang berada di sini. Perusahaan cabang yang diberikan Papa padanya seratus persen. Jadi, mulai besok perusahaannya akan berdiri sendiri. Meskipun begitu, ia tetap menggunakan nama perusahaan yang lama. Toh, Papa tidak keberatan dengan itu, malah Papa yang memintanya untuk tidak mengubah nama agar tidak merepotkan. Ruu sedang duduk di sofa ruang tamu di apartemennya setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah hari mengendarai mobil. Rencana ia akan beristirahat beberapa jam sebelum menemui Ry nanti sore di tempatnya bekerja. Menurut informasi dari Rin, Ry tidak mengambil cuti dan tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Satu perubahan y
Satu bulan ternyata tidak selama yang dipikirkan Ruu, waktu tiga puluh hari justru berjalan sangat cepat. Apalagi diselingi dengan celotehan Rin melalui setiap pesan yang dikirimkannya. Terkadang cewek yang sekarang sudah dekat kembali dengan Go itu mengiriminya video Ry saat mereka sedang mengobrol berdua, terkadang hanya mengirimkan suara Ry saja. Tiga tahun lagi dilalui dan Ry tetap tak berubah. Wajahnya masih menggemaskan dengan pipi yang masih saja sebulat bakpao. Seandainya saja bisa –Ry berada di dekatnya– akan dicubitnya pipi itu. Mungkin ia akan melakukannya nanti saat mereka bertemu.Omong-omong soal pertemuan mereka, ia tidak memberi tahu siapa-siapa. Yang pasti ia akan menemui Ry saat masa tiga tahun terakhir, berakhir. Untuk tempat, ia masih belum menentukannya. Ia memang memiliki nomor ponsel Ry, Rin yang memberikannya. Awalnya cewek itu tidak mau memberitahunya, Rin malah meminta pertukaran, nomor ponsel Ry dengan alasan kenapa ia tak ingin Ry melihatnya. Namun, setel
Benda pipih persegi panjang itu sudah sejak beberapa menit yang lalu berada di tangan Ruu. Ia menggunakannya untuk berbalas pesan dengan Rin. Setelah makan malam dan sesi penjatuhan hukuman selesai, Ruu langsung masuk ke kamar tidurnya dan menghubungi Rin. Ia mengirimkannya pesan melalui sebuah aplikasi. Ruu tidak menggunakan laptop, ia menggunakan benda itu untuk kepentingan belajarnya. Untuk hal lain, ia selalu menggunakan ponsel, termasuk berkirim pesan dengan Rin. [Pokoknya Rin jangan kasih tau Ry dulu, atau aku akan kena masalah] - RuuBerulangkali Ruu memberikan alasan pada Rin agar tidak memberikan nomor ponselnya pada Ry. Cewek yang sekarang juga sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Osaka itu ingin memberikan nomornya kepada kakaknya. Kata Rin, sampai sekarang Ry masih berusaha mencari informasi tentangnya. Kabar yang membuatnya nyaris melompat-lompat tadi saling senangnya. Ry masih mencintai dan masih mengharapkannya, perasaan mereka masih sama. Sekarang,
Ruu menundukkan kepala, pasrah dengan hukuman yang diberikan Papa. Ia ketahuan Rin, itu sudah cukup buruk baginya. Beruntung bukan Ry yang mengenalinya, bisa-bisa hukumannya jauh lebih berat dari sekarang. Ia tidak diperbolehkan lagi pergi ke Osaka, tidak sebelum ia lulus kuliah dan membuktikan jika dirinya mampu memimpin salah satu cabang perusahaan Papa yang berada di Tokyo sini. Jika berhasil maka Papa akan memberikan perusahaannya yang berada di Osaka, dan membiarkannya bertemu dengan Ry. Kedengarannya sangat tidak adil memang, tetapi ia tetap menerimanya. Semua memang salahnya yang menatap terlalu lama, tanpa sadar. Ia lupa jika Rin orangnya terlalu curiga, Rin bukan Ry yang tidak peka. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang lama, ia hanya harus lebih bersabar lagi. Ia bisa menggunakan waktu tiga tahun tambahan hukuman tanpa dapat melihat Ry secara langsung lagi, dengan lebih giat belajar. Ia yakin dapat melakukannya, ia harus lulus dengan nilai cumlaude terbaik sebagai pembukti
Paman gendut membawa nampan berisi dua buah mangkuk ramen ke meja Ry dan Rin. Sepertinya dia sangat tahu kapan kedua cewek itu datang sehingga membuatkan pesanan mereka bersamaan dengan miliknya. Diam-diam Ruu mengaguminya dalam hati."Untuk Ry tanpa narutomaki!" Paman gendut meletakkan mangkuk pertama di depan Ry. Mangkuk itu tanpa kue ikan yang tidak disukai Ry. Paman gendut sudah mengingatnya, seminggu ini ia selalu menyajikan ramen untuk Ry tanpa narutomaki. "Ini untuk Rin!" Ia meletakkan sebuah mangkuk lagi tepat di depan Rin. "Terima kasih, Paman!" Kedua cewek itu berkata bersamaan. Ruu tersenyum mendengarnya. Sengaja ia tidak melirik ataupun menatap mereka secara langsung lagi, ia tak ingin menimbulkan kecurigaan. Rin beberapa kali memergokinya tengah menatap mereka. Ia tak ingin ketahuan, atau semua akan semakin sulit. Ruu semakin menurunkan topinya, ia merasa sedang diawasi. Terpaksa ia mempercepat makannya, dan meninggalkan kedai lebih cepat dari minggu sebelumnya. Ia jug
Udara pagi memang lebih bersih bila dibandingkan pada siang hari. Sinar matahari yang hangat semakin menambah kesan sehat. Di dalam Shinkansen yang akan membawanya ke Osaka, Ruu memilih menghabiskan waktu untuk membaca. Bukan buku komik seperti yang biasa dibaca Ry, melainkan buku tentang bisnis. Ini adalah saran Papa agar ia tidak merasa bosan berada di dalam kereta cepat ini selama lebih dari dua jam. Bukan ide yang buruk karena waktu dua jam perjalanan seperti tak terasa, tahu-tahu kereta sudah berhenti di stasiun Shin-Osaka, tempat perhentiannya. Ruu turun bersama dengan para penumpang yang mempunyai tujuan yang sama.Ini adalah hari Minggu di pekan kedua ia diperbolehkan menemui Ry oleh Papa. Bukan menemui dalam artian sebenarnya, ia hanya diperbolehkan melihatnya dari jauh saja. Ia tidak boleh terlihat apalagi sampai bertegur sapa, sebagai salah satu syarat agar Papa tetap membantunya. Jika ia sampai melanggar sekali saja, maka Papa akan membiarkan laki-laki mana pun untuk mend