“Ini semua brosur dan penawaran untuk paket pernikahan. Aline boleh pilih mau yang mana. Nanti kita bisa survey langsung dan test food juga.” Bunda mneyodorkan beberapa lembar brosur.
Setelah selesai makan, Ayah menggiring Jeremy ke ruang kerja, sementara Bunda membawaku ke ruang keluarga.
Sebenarnya aku suka sama wedding organizer yang kemarin dipakai untuk acara pernikahan Zanna. Namun, aku tidak ingin menambah keruwetan dengan menjelaskan tentang pertukaran pengantin. Enggan membahas hal yang bisa membuat poinku berkurang di mata Ayah dan Bunda.
Masih banyak penyedia jasa wedding organizer lain. Aku mulai membaca satu persatu brosur. “Bunda, kita cek ketersediaan gedung dulu sepertinya. Aline takut gedungnya terlanjur penuh atau wajib booking berapa lama sebelum hari H gitu.”
“Kamu pengen di gedung apa?”
“Gedung Astoria yang terkenal itu kayaknya sulit ya, Bunda. Pasti pada rebutan kepengen di situ. Hmm
"Pagi, Al. Maaf, aku datang lagi."Jika ada hal yang bisa aku sesali pagi ini adalah melewatkan niat mampir ke kantor Papi. Niat itu berganti dengan keinginan makan siang bersama. Aku berjalan masuk menuju meja lalu duduk. Posisi kami lumayan berjarak."Mau apa?""Aku ... Anya sakit.""Lalu? Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu merawat Anya.""Kami bertengkar parah semalam ... karena membahas kamu."Aku bersedekap. "Kamu lagi-lagi menyakiti hati Anya. Udah aku bilang, lupain aku, Kan. Aku sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri. Kamu juga gitu. Please.""Aku belum bisa, Al. Kenapa kamu gak bisa ngertiin, sih? Gak semudah itu mengalihkan perasaan, Al. Ini hati, bukan terminal tempat singgah!"Rusak sudah hari bahagia yang aku bawa dari rumah."Aku harus apa, Al? Bagaimana bisa aku mengalihkan perasaan kalau wajahnya persis sama seperti kamu?""Kamu lucu.
Aku menghabiskan waktu senggang dengan mempelajari brosur pernikahan yang dikumpulkan oleh Bunda. Ada beberapa yang aku catat ulang di kertas. Menu makanan serahkan pada keputusan Bunda. Aku sibuk mencatat isi seserahan. Kalau kami nanti pindah ke Bali, rasanya perangkat isi kamar tidak perlu diajukan. Toh semua akan dibeli baru nanti. Sedang asyik menghayal dan menuliskan semua keinginan, ponselku berdering, panggilan video call dari Bram. "Honey." "Lagi apa?" Aku langsung menunjukkan kumpulan brosur. "Dari Bunda." "Gerak cepat banget ya, Bundaku itu." Bram tertawa. "Sejak aku bilang mau ngadain resepsi, Bunda bahagia banget. Girangnya kayak anak kecil, Babe." "Oh iya, baru malam ini aku nginap di apartemen. Kemarin aku nginap di rumah Bunda." "Tumben. Jerry ke mana?" "Jerry udah gak bakalan gangguin aku lagi. Ayah udah turun tangan." "Baguslah. Bingung ju
Aku sedang menikmati secangkir lemon tea di pinggir kolam renang di belakang rumah Bunda. Di sisi sebelah kiri, ada Bunda yang sedang asyik menulis juga mencoreti kertas. "Aline, untuk menu sudah selesai Bunda tulis. Nanti ada sekitar sepuluh gubukan dengan pilihan menu banyak. Bunda pengen yang datang undangan nanti puas dengan menu hidangan yang disediakan." "Kenyang banget ya, Bunda." Aku terkikik. "Iya. Ada es krim, puding, buah segar juga untuk anak-anak." Bunda terlihat sangat antusias. "Untuk pelaminan gimana, Bunda? Aline kurang paham, Bunda aja yang handle, ya?" "Dekorasi pelaminan sekitar sepuluh meter, bunga yang dipakai asli, panggungnya sekitar enam meter. Nanti ada standing flower, karpet merah, taman di bawah panggung, welcome gazebo, photo booth." "Undangan berapa banyak, Bunda?" "Lima ratus. Cukup atau perlu tambahan?" "Harusnya sih cukup. Tapi, Aline minta bantuan Bunda untuk mengurusi ini,
Aku menangis tergugu di pelukan Bunda. Entah bagaimana menempatkan diri saat ini. Papi menegur Mami, mengingatkan nominal uang seserahan, jangan seperti menjual anak. Toh aku dan Bram sudah menikah, hanya tinggal resepsi saja.Semua persiapan pernikahan juga sudah ditanggung oleh keluarga Bram, sesuai keinginanku. Semua isi keranjang hantaran juga sudah dijabarkan oleh Bunda. Satu hal yang membuat sedih, ada Zanna juga Arkana menjadi saksi, bagaimana Mami memuntahkan semua kebencian padaku dan Papi.Ayah tidak mempermasalahkan nominal, lebih dari itu juga beliau sanggup. Namun, Ayah hanya kecewa melihat perlakuan Mami kepadaku. Bunda malah langsung memeluk dan menenangkan aku."Bawa Aline pulang, Bunda. Aline capek," rengekku di pelukan Bunda. Pandanganku sudah penuh dengan air mata."Tidak bisa! Kamu anak saya. Saya masih berhak atas kamu, Zeline Zakeysha!" Mami berkacak pinggang.Entah apa maunya Mami. Mendadak kepalaku berdentam heba
Bali dan lelaki yang sedang tidur terlelap seraya mendekap adalah obat untuk hatiku yang belakangan gundah.Aku memandangi wajah tampannya. Alis, mata, hidung, bibir juga cambangnya, memesona. Semakin lama menatap, aku terjerat pusaran gelombang rasa. Sebut saja gila karena mendamba hingga seakut ini."Udah puas mandangin aku, hm?" Bram bicara tetapi matanya masih terpejam."Eh, pura-pura tidur rupanya!""Aku udah bangun dari tadi. Kirain lagi mimpi dipeluk bidadari, eh ternyata guling cantik beneran ada di ranjang aku.""Kita ke mana hari ini?""Aku harus ke lokasi proyek, Babe. Hari ini ada investor yang tertarik dengan design aku untuk next project.""Terus aku ngapain dong?""Ke spa, abis itu istirahat. Nanti malam kita pindah tempat kencan. Aku mau puas-puasin pacaran sama kamu di sini sebelum kita balik ke Jakarta.""Oke. Makan siang bareng?""Hm, kayaknya gak
Aku membuka mata dan mendapati wajah Bram sedang menatap cemas."Baby, kamu gak apa-apa?"Tunggu, aku di mana? Mataku mengerjap lalu memindai sekeliling. Ini di kamar. Kelebat ingatan membuat emosiku memuncak."Mana Nadhira?""Nadhira apa? Jangan bilang kamu percaya dan terhasut omongannya!"Astaga, jadi ... dia sudah tahu apa yang terjadi pada Nadhira?"Kamu brengsek, Bram. Tega kamu!" Aku kehilangan kata-kata.Tuhan, semua mimpiku hancur lebur. Dia laki-laki yang aku cintai segenap jiwa raga. Lelaki pertama yang menyentuhku hingga ke palung hati."Kenapa?" tanyaku, serak."Would you listen to me?" Bram mencoba menggenggam tanganku."Don't touch me!" Aku menepis dan membentaknya.Bram mengembuskan napas kasar. "Look, Babe, aku gak pernah menyentuh gadis itu. Bukan aku pelakunya."Aku tersenyum sinis. "Lalu bagaimana dia bisa dengan yakinnya menunjukkan test pack dua gar
Aku menggeliat. Rasanya tubuh ini sakit semua. Eh, kenapa ada tangan Bram melingkar di perutku. Aku ketiduran, ya?"Kamu udah bangun, Babe?""Ini di mana?" Aku berusaha bangun, tetapi Bram menahan tubuh ini."Hotel Larissy.""Aku mimpi buruk tadi. Nadhira ... hamil anak kamu." Air mataku menetes. Gegas aku menghapusnya. "Aneh, ya? Untung cuma mimpi."Bram hanya diam. Biasanya dia pasti marah kalau membahas tentang gadis itu, kali ini justru semakin mengetatkan pelukan."Kamu kenapa sih? Lepasin, dong. Aku mau mandi. Badanku … kok rasanya capek banget, ya?”Bram menggeleng. "Biarin kayak gini, Babe. Aku mau peluk kamu."Ih, aneh, Bram kenapa? Kok mendadak posesif begini?"Udah. Lepasin. Aku mau ke toilet."Eh, kenapa aku jadi ketus begini ke dia?Bram mengalah. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi.Entah kenapa ada dorongan untuk me
Papi memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru dibeli. Sayangnya, aku tidak mau pulang ke mana pun. Tidak ke rumah orang tua atau apartemen Bram.Cairan infus yang menetes satu-satu adalah objek pandangan kali ini. Keheningan juga menjadi teman. Bram belum kembali setelah diminta keluar oleh Papi.Tak banyak yang diucapkan oleh Papi padaku. Beliau hanya meminta untuk tetap bertahan seburuk apa pun keadaan. Bisakah? Apa mungkin aku bisa menjalani hari sebagai istrinya Bram, sedangkan di Bali sana Nadhira cemas menanti kepastian?Pintu ruangan rawat terbuka. Zanna datang bersama Arkana."Sissy. Gimana kondisi kamu?"Aku tersenyum. "Hanya kecapekan, Nya. Jangan cemas.""Bayi kamu gimana?" celetuk Arkana.Aku menggeleng. Bukan saat yang tepat membicarakan tentang anak saat ini. Tangisku luruh lagi.Zanna langsung memelukku erat. Lidahku kelu, tak sanggup untuk berbasa-basi."Maaf," ucap Arkan
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi