"Pagi, Al. Maaf, aku datang lagi."
Jika ada hal yang bisa aku sesali pagi ini adalah melewatkan niat mampir ke kantor Papi. Niat itu berganti dengan keinginan makan siang bersama. Aku berjalan masuk menuju meja lalu duduk. Posisi kami lumayan berjarak.
"Mau apa?"
"Aku ... Anya sakit."
"Lalu? Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu merawat Anya."
"Kami bertengkar parah semalam ... karena membahas kamu."
Aku bersedekap. "Kamu lagi-lagi menyakiti hati Anya. Udah aku bilang, lupain aku, Kan. Aku sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri. Kamu juga gitu. Please."
"Aku belum bisa, Al. Kenapa kamu gak bisa ngertiin, sih? Gak semudah itu mengalihkan perasaan, Al. Ini hati, bukan terminal tempat singgah!"
Rusak sudah hari bahagia yang aku bawa dari rumah.
"Aku harus apa, Al? Bagaimana bisa aku mengalihkan perasaan kalau wajahnya persis sama seperti kamu?"
"Kamu lucu.
Aku menghabiskan waktu senggang dengan mempelajari brosur pernikahan yang dikumpulkan oleh Bunda. Ada beberapa yang aku catat ulang di kertas. Menu makanan serahkan pada keputusan Bunda. Aku sibuk mencatat isi seserahan. Kalau kami nanti pindah ke Bali, rasanya perangkat isi kamar tidak perlu diajukan. Toh semua akan dibeli baru nanti. Sedang asyik menghayal dan menuliskan semua keinginan, ponselku berdering, panggilan video call dari Bram. "Honey." "Lagi apa?" Aku langsung menunjukkan kumpulan brosur. "Dari Bunda." "Gerak cepat banget ya, Bundaku itu." Bram tertawa. "Sejak aku bilang mau ngadain resepsi, Bunda bahagia banget. Girangnya kayak anak kecil, Babe." "Oh iya, baru malam ini aku nginap di apartemen. Kemarin aku nginap di rumah Bunda." "Tumben. Jerry ke mana?" "Jerry udah gak bakalan gangguin aku lagi. Ayah udah turun tangan." "Baguslah. Bingung ju
Aku sedang menikmati secangkir lemon tea di pinggir kolam renang di belakang rumah Bunda. Di sisi sebelah kiri, ada Bunda yang sedang asyik menulis juga mencoreti kertas. "Aline, untuk menu sudah selesai Bunda tulis. Nanti ada sekitar sepuluh gubukan dengan pilihan menu banyak. Bunda pengen yang datang undangan nanti puas dengan menu hidangan yang disediakan." "Kenyang banget ya, Bunda." Aku terkikik. "Iya. Ada es krim, puding, buah segar juga untuk anak-anak." Bunda terlihat sangat antusias. "Untuk pelaminan gimana, Bunda? Aline kurang paham, Bunda aja yang handle, ya?" "Dekorasi pelaminan sekitar sepuluh meter, bunga yang dipakai asli, panggungnya sekitar enam meter. Nanti ada standing flower, karpet merah, taman di bawah panggung, welcome gazebo, photo booth." "Undangan berapa banyak, Bunda?" "Lima ratus. Cukup atau perlu tambahan?" "Harusnya sih cukup. Tapi, Aline minta bantuan Bunda untuk mengurusi ini,
Aku menangis tergugu di pelukan Bunda. Entah bagaimana menempatkan diri saat ini. Papi menegur Mami, mengingatkan nominal uang seserahan, jangan seperti menjual anak. Toh aku dan Bram sudah menikah, hanya tinggal resepsi saja.Semua persiapan pernikahan juga sudah ditanggung oleh keluarga Bram, sesuai keinginanku. Semua isi keranjang hantaran juga sudah dijabarkan oleh Bunda. Satu hal yang membuat sedih, ada Zanna juga Arkana menjadi saksi, bagaimana Mami memuntahkan semua kebencian padaku dan Papi.Ayah tidak mempermasalahkan nominal, lebih dari itu juga beliau sanggup. Namun, Ayah hanya kecewa melihat perlakuan Mami kepadaku. Bunda malah langsung memeluk dan menenangkan aku."Bawa Aline pulang, Bunda. Aline capek," rengekku di pelukan Bunda. Pandanganku sudah penuh dengan air mata."Tidak bisa! Kamu anak saya. Saya masih berhak atas kamu, Zeline Zakeysha!" Mami berkacak pinggang.Entah apa maunya Mami. Mendadak kepalaku berdentam heba
Bali dan lelaki yang sedang tidur terlelap seraya mendekap adalah obat untuk hatiku yang belakangan gundah.Aku memandangi wajah tampannya. Alis, mata, hidung, bibir juga cambangnya, memesona. Semakin lama menatap, aku terjerat pusaran gelombang rasa. Sebut saja gila karena mendamba hingga seakut ini."Udah puas mandangin aku, hm?" Bram bicara tetapi matanya masih terpejam."Eh, pura-pura tidur rupanya!""Aku udah bangun dari tadi. Kirain lagi mimpi dipeluk bidadari, eh ternyata guling cantik beneran ada di ranjang aku.""Kita ke mana hari ini?""Aku harus ke lokasi proyek, Babe. Hari ini ada investor yang tertarik dengan design aku untuk next project.""Terus aku ngapain dong?""Ke spa, abis itu istirahat. Nanti malam kita pindah tempat kencan. Aku mau puas-puasin pacaran sama kamu di sini sebelum kita balik ke Jakarta.""Oke. Makan siang bareng?""Hm, kayaknya gak
Aku membuka mata dan mendapati wajah Bram sedang menatap cemas."Baby, kamu gak apa-apa?"Tunggu, aku di mana? Mataku mengerjap lalu memindai sekeliling. Ini di kamar. Kelebat ingatan membuat emosiku memuncak."Mana Nadhira?""Nadhira apa? Jangan bilang kamu percaya dan terhasut omongannya!"Astaga, jadi ... dia sudah tahu apa yang terjadi pada Nadhira?"Kamu brengsek, Bram. Tega kamu!" Aku kehilangan kata-kata.Tuhan, semua mimpiku hancur lebur. Dia laki-laki yang aku cintai segenap jiwa raga. Lelaki pertama yang menyentuhku hingga ke palung hati."Kenapa?" tanyaku, serak."Would you listen to me?" Bram mencoba menggenggam tanganku."Don't touch me!" Aku menepis dan membentaknya.Bram mengembuskan napas kasar. "Look, Babe, aku gak pernah menyentuh gadis itu. Bukan aku pelakunya."Aku tersenyum sinis. "Lalu bagaimana dia bisa dengan yakinnya menunjukkan test pack dua gar
Aku menggeliat. Rasanya tubuh ini sakit semua. Eh, kenapa ada tangan Bram melingkar di perutku. Aku ketiduran, ya?"Kamu udah bangun, Babe?""Ini di mana?" Aku berusaha bangun, tetapi Bram menahan tubuh ini."Hotel Larissy.""Aku mimpi buruk tadi. Nadhira ... hamil anak kamu." Air mataku menetes. Gegas aku menghapusnya. "Aneh, ya? Untung cuma mimpi."Bram hanya diam. Biasanya dia pasti marah kalau membahas tentang gadis itu, kali ini justru semakin mengetatkan pelukan."Kamu kenapa sih? Lepasin, dong. Aku mau mandi. Badanku … kok rasanya capek banget, ya?”Bram menggeleng. "Biarin kayak gini, Babe. Aku mau peluk kamu."Ih, aneh, Bram kenapa? Kok mendadak posesif begini?"Udah. Lepasin. Aku mau ke toilet."Eh, kenapa aku jadi ketus begini ke dia?Bram mengalah. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi.Entah kenapa ada dorongan untuk me
Papi memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru dibeli. Sayangnya, aku tidak mau pulang ke mana pun. Tidak ke rumah orang tua atau apartemen Bram.Cairan infus yang menetes satu-satu adalah objek pandangan kali ini. Keheningan juga menjadi teman. Bram belum kembali setelah diminta keluar oleh Papi.Tak banyak yang diucapkan oleh Papi padaku. Beliau hanya meminta untuk tetap bertahan seburuk apa pun keadaan. Bisakah? Apa mungkin aku bisa menjalani hari sebagai istrinya Bram, sedangkan di Bali sana Nadhira cemas menanti kepastian?Pintu ruangan rawat terbuka. Zanna datang bersama Arkana."Sissy. Gimana kondisi kamu?"Aku tersenyum. "Hanya kecapekan, Nya. Jangan cemas.""Bayi kamu gimana?" celetuk Arkana.Aku menggeleng. Bukan saat yang tepat membicarakan tentang anak saat ini. Tangisku luruh lagi.Zanna langsung memelukku erat. Lidahku kelu, tak sanggup untuk berbasa-basi."Maaf," ucap Arkan
"Kamu gak perlu mengundurkan diri, Aline. Biar Aunty yang back up selama kamu butuh waktu. Jangan sungkan untuk menghubungi Aunty. Ya?" Mata Aunty Lia berkaca-kaca saat mengelus pipiku."Makasih banyak, Aunty. Aline sayang Aunty." Aku memeluk erat tubuh Aunty Lia tersayang."Have a safe flight, Aline. Kabari kalo udah sampai.""Aye aye, Capten." Lalu aku berbalik seraya menyeret koper berisi beberapa potong pakaian baru yang dibelikan oleh Aunty Lia.Selamat tinggal, Jakarta. Izinkan aku menepi untuk menyembuhkan luka. Jika memang takdir menuliskan kisah yang berbeda, bisa saja aku tak akan kembali lagi ke kota ini. Kali ini, aku melarikan diri dari segala impian yang pernah dirajut dengan indah karena kenyataan begitu pahit seperti menelan empedu.Aku memakai sunglasses untuk menutupi mata yang bengkak karena semalaman menangis. Aku merasa bersalah karena meninggalkan Bram sendiri menghadapi masalah ini. Namun, bertahan di bersamanya j