Setelah kedatangan sang ratu secara mengejutkan dan hasilnya sangat memuaskan, rumah teh milik Miranda sangat populer.
Bahkan lebih populer daripada restoran mewah di ibukota.
Walaupun sangat populer dan banyak orang ingin berkunjung ke sana, tetapi akses untuk pergi ke sana sangat sulit.
Sama halnya dengan pemandian air panas yang hanya bisa dikunjungi sesekali saja, rumah teh ini juga dikunjungi sesekali saja.
Itulah kenapa pengunjung di rumah teh tersebut tidak serame itu.
"Boss!!" seru seseorang membuat Miranda yang sibuk baca koran langsung menurunkan begitu ia terpanggil.
"Persediaan susu sudah mulai habis. Apakah-"
"Langsung aja beli," balas Miranda, kemudian ia membaca koran lagi.
"Boss!!"
"Apa?"
"Apa bos turuti saja perkataan Ratu kemarin? Kita bisa mendapatkan keuntungan lebih-"
"Ogah!! Aku tidak mau tema rumah tehku langsung hancur karena banyak pengunjung," balas Miranda menolak mentah-mentah.
"Lagian aku suka suasana seperti ini. Seperti minuman teh yang selalu menenangkan jiwa dan raga," ucapnya menjelaskan tujuannya kepada anak buahnya.
"Betul, Marco. Kamu ingat, bukan kalau tujuan rumah teh ini untuk apa?" tanya seorang wanita berusia 40-an datang menghampiri mereka berdua.
Lelaki sepuh itu hanya bisa menghela nafas panjang saja. "Aku tau, kok. Megan."
Tiba-tiba seorang pengunjung pertama datang dan mereka bertiga langsung kembali ke tugas.
"Mau pesan apa, nona muda?" tanya Megan langsung menghampiri begitu seorang wanita muda menemukan tempat duduk.
"Ini pertama kalinya saya datang ke sini... Apakah anda bisa merekomendasikan minuman yang bisa terjaga tidur? Aku sedang membuat naskah novel sampai malam."
Megan tersenyum sumringah seakan-akan dia tau solusinya. " Baiklah... Saya permisi dulu, nona muda.
Megan menghampiri Miranda yang sedang membaca koran dan berkata. " Dia bilang kalau dia sedang mengerjakan naskah novel."
"Naskah novel?" Megan mengangguk.
"Tampaknya dia seorang novelis," bisiknya dan mereka berdua menoleh ke gadis muda itu.
Miranda mengangguk dan langsung membuatkan teh untuk dia. " Apakah ini pertama kali baginya?"
"Iya. Ini pertama kali katanya," Miranda mengangguk dan dengan cepatnya dia menyerahkan pesanan kepada Megan.
Megan langsung mengambil dan berjalan menghampiri gadis muda itu.
"Ini pesanan anda, nona. Namanya adalah Teh Chamomile. Teh ini sebagai pengganti kopi. Anda bisa terjaga tidur selama anda mengerjakan naskahnya."
"Teh Chamomile? Terima kasih banyak," ucap gadis itu dan mencicipi teh buatan Miranda.
"Ini benar-benar enak. Pantas saja Ratu Julia sangat menyukai tempat ini."
"Terima kasih atas pujiannya. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Megan undur diri dan kembali ke tempat Miranda.
"Dia suka..." jawab Megan setelah ia kembali dari pelanggan baru itu.
"Baguslah..."
"Ngomong-ngomong.... Kemana Derren?" tanya Miranda yang baru menyadari sesuatu.
Megan menghela nafas panjang. " Biasa... Dia sedang berurusan dengan 'kemampuannya'."
Seketika ekspresi Miranda berubah. " Dia masih belum menguasai tahap 3? Aku kira dia mau mempersiapkan ujiannya?" tanya Miranda tidak percaya.
"Yah begitulah... Sebentar lagi dia akan tiba," bersamaan itu datanglah pengunjung lain.
"Selamat pagi, Tuan Brooke. Mau pesan seperti biasa?" tanya Miranda langsung.
"Ternyata kamu, Nona Forst. Tentu saja seperti biasa."
Miranda langsung sigap membuatkan teh kepada pria tersebut. Tidak lama, Miranda secara langsung menyerahkan secangkir Teh Jasmine kepada tuan Brooke.
"Bagaimana dengan bisnismu, Tuan Brooke?"
"Hahaha... Kau seperti biasanya, ya. Kamu selalu memulai percakapan dengan perihal bisnis," Bianca langsung menaikkan kedua bahunya.
"Bisnisku semuanya lancar, bahkan Grand Duke sangat positif untuk memulai bisnis kerja sama denganku."
"Ooh... Benarkah? Aku dengan Grand Duke itu orangnya sangat susah untuk bekerja sama dengan partner bisnis lain," balas Miranda sedikit terkejut dengan berita baik dari Tuan Brooke.
"Benar katamu. Grand Duke sangat susah untuk bekerja sama dengan orang lain, tetapi berkatmu, Grand Duke secara langsung suka dan mau bekerja sama dengan bisnisku. Terima kasih banyak, Nona Forst."
Miranda membalas dengan senyuman. " Saya hanya membantu anda yang kesusahan, Tuan Forst."
Tanpa sengaja ia melihat gadis muda tadi sedang mengalami kesusahan.
"Sepertinya dia sedang dalam kesusahan..." Miranda melirik ke arah Tuan Brooke, begitupun juga Tuan Brooke.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Brooke," pamitnya dan langsung berjalan menghampiri gadis muda itu.
"Tampaknya anda kesusahan, nona muda?" gadis yang sedang fokus itu langsung terkejut bukan main dan langsung menoleh ke arah Miranda di sebelahnya.
"Oh... Apakah saya membuat anda kaget? Maafkan saya, nona."
"B-bukan masalah kok. S-saya saking fokusnya jadi mudah kagetnya."
"Kalau begitu.... Apakah saya bisa bantu? Tampaknya anda kesusahan," gadis muda itu menggelengkan kepalanya lemah.
"T-tidak apa-apa... Ini hanya hal sepele saja."
Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya, sementara Miranda diam-diam memperhatikan gerak-gerik gadis muda itu.
"Aduuhh.... Kenapa otakku tidak bekerja sih?!" akhirnya dia menyerah dan menghela nafas panjang.
Ia melirik ke sebelahnya dan menyadari kalau Miranda sedang membersihkan meja yabg tidak jauh darinya.
Apakah aku minta bantuan kepadanya? batinnya.
Selama beberapa menit, ia memikirkan dengan keras, akhirnya gadis itu memanggilnya.
"P-permisi..." Miranda langsung menoleh ke arah gadis itu dan menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Gadis itu justru menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia bingung harus meminta bantuan apa.
"A-anu... B-bisakah anda membaca hasil karya saya. S-saya sedang mengerjakan karya pertama saya dan s-saya bingung banget harus menulis seperti apa kelanjutannya."
Miranda mengangguk dan ia mengambil naskah gadis itu secara permisi. Ia membaca setiap kata dan kalimat yang gadis muda itu tulis.
"I-itu masih bagian kasarnya..." jelasnya saat Miranda membaca naskah novel dengan serius.
"Bagus... Struktur kata dan kalimatnya rapi. Apakah novel anda ber-genre romantis?" gadis itu mengangguk.
"Seorang raja hebat dikutuk oleh penyihir karena keserakahan dia. Untuk melepaskan kutukannya, dia harus mencari wanita bermata merah ruby sebagai jaminan.... Ia mencari segala penjuru dunia, tetapi dia tidak menemukannya, hingga ia bertemu dengan seorang perpustakaan wanita yang memiliki warna mata yabg sama dengan perkataan penyihir itu...."
Miranda tersenyum mengerti. " Aku bingung dengan bagian konflik hingga akhirnya... Apakah kamu bisa memberikan ide?"
Akhirnya Miranda menjawab, " Bagaimana kalau wanita bermata merah itu adalah penyihir yang dia kutuk?"
"Maksudnya?" ujar gadis itu semakin bingung. Kenapa dia berpikir seperti itu.
Miranda menjelaskan pikirannya kepada gadis itu dan setelah itu dia menujukkan ekspresi senang karena akhirnya ia menemukan inspirasinya.
"I-itu sangat.... Menakjubkan. Aku akan menulisnya dengan segera, terima kasih banyak!!" gadis itu langsung mengerjakan tugasnya dengan semangat.
Miranda tersenyum senang dan kembali ke tempatnya. " Tampaknya kamu menyelesaikan maslaah dengan cepat. Sudah aku duga," ucap Tuan Brooke tiba-tiba sambil menikmati Teh Melati buatan Miranda.
Miranda berkata, " Saya senang kalau orang-orang bisa menemukan masalahnya."
Seperti biasa, rumah teh Miranda masih sepi, bahkan yang sering berkunjung adalah Tuan Brooke.Maklum, rumahnya dekat dengan rumah teh maupun pemandian air panas.Megan yang sibuk bersih-bersih, Marco yangs sedang sibuk dengan tanaman miliki Miranda, dan Miranda hanya membaca koran di pagi hari."Hmmm.... Kenapa berita hari ini tidak menarik sih?" ucapnya sambil menikmati tehnya."Memangnya berita apa yang dimuat oleh koran?" tanya Megan penasaran."Biasa... Politik," jawabnya, kemudian ia menutup korannya.Bersamaan itu, seorang pemuda datang menghampiri mereka berdua. "Selamat pagi.""Bagaimana dengan ujianmu, Derren?" tanya Miranda kepada pemuda bernama Derren.Derren menghela nafas panjang. " Berjalan lancar. Hasilnya akan diumumkan minggu depan."Derren berjalan menuju ruang belakang dan tidak lama ia keluar dengan se
Berita pembunuhan Isabella Falcon tersebar begitu cepat. Aktris teater yang sedang naik daun tiba-tiba dibunuh di taman kota.Sampai sekarang belum menemukan siapa pelaku sebenarnya dan rumah teh milik Miranda masih terlihat normal saja.Kini, Derren sedang berhadapan dengan putri seorang count yang banyak tingkahnya."Teh ini enak, tidak?""Semuanya enak kok, nona," balasnya dengan pasrah."Eh... Tapi apa tidak terlalu pahit, ya..."Uhh... Rasanya aku ingin hantam tubuh dia secara langsung batinnya menahan emosinya.Sabar... Sabar... Derren anak baik... Anak pintar..."Nona... Bagaimana kalau saya rekomendasikan Teh Rooibos. Manis menyegarkan dan tidak mengandung kafein."Tiba-tiba Miranda meletakan minuman itu kepada putri bangsawan tersebut.Putri bangsawan itu memandang cangkir teh tersebut dengan lama. " Kalau tidak enak, bagaimana?" tanyanya lagi."Saya menjamin kalau teh buatan saya sangat enak. Moho
"Sejak kapan bisnis ini dibuka?" tanya seorang gadis imut kepada Miranda."Hampir setahun yang lalu, nona," balas Miranda dengan tenang."Wow... Masih muda tapi perkembangan bisnismu begitu pesat, ya...""Tidak juga... Lagipula setiap hari pengunjung yang datang sekitar 3-5 orang. Belum termasuk untuk hari libur lainnya.""Kalau begitu... Bisakah kamu menceritakan-""Sayang... Ini bukan waktunya untuk bekerja. Ingat, kita sedang liburan," ujar pemuda di depannya yang diketahui adalah pacarnya."Tapi aku penasaran sekali..." Miranda hanya diam seribu bahasa."Maaf kalau pertanyaan saya lancang, tapi apakah nona adalah jurnalis?" tanya Miranda berusaha hati-hati."Oh! Benar aku adalah jurnalis. Darimana kamu bisa tau?"Tentu saja... Pacarmu menjelaskan profesimu dengan jelas batin Miranda."Anda kerja di perusahaan apa, nona?""Daily Week's," seketika Miranda dibuat terkejut."Oh! Aku sering membaca ko
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."