"Laura?!"
"Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.
Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?"
"Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda."
"Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura.
"Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak."
"Tapi..."
"Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."
Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara.
"Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."
Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."
Miranda memutuskan untuk undur diri dan menjauh kumpulan ksatria yang sedang menikmati teh buatannya.
****************
Megan menghela nafas panjang membuat Miranda yang berada di sebelahnya merasa keheranan.
"Kamu kenapa, Megan?" tanyanya kepada wanita di sebelahnya.
"Entah kenapa... Badanku merasa tidak enak," mendengarnya, Miranda langsung berkata, " Mending kamu pulang saja dulu, Megan. Istirahat lebih cukup dan kamu bisa kembali ke sini sampai kamu benar-benar sehat kembali."
"Apa tidak apa-apa, bos? Siapa yang akan melayani pelanggan?"
"Tenang... Ada aku atau Derren yang mengatasi semuanya. Pulanglah..." Megan dengan berat hati akhirnya memutuskan untuk pulang.
Setelah Megan pulang, Miranda melanjutkan aktivitasnya. Ia sudah tau kalau Megan sedang sakit, tetapi ia tidak menyadarinya sama sekali.
Sebagai bos yang baik, Miranda berusaha meyakinkan karyawannya agar menjaga kesehatan tubuh.
"Kemana Megan?" tanya Derren menyadari kalau wanita paruh baya itu tidak ada di tempat kerjanya.
"Dia pulang dulu karena tidak enak badan," ucap Miranda.
"Kamu harus menjaga kesehatan, Derren. Apalagi kamu masih belajar di akademi."
"Iya, aku tau," balasnya dan Derren langsung bergegas menuju ke kebun kebun belakang rumah teh ini.
Sebuah lonceng terdengar dan pagi ini, Demian datang sendirian tanpa membawa teman-temannya.
"Selamat pagi. Mau pesan apa?"
"Es Teh Lemon saja dan juga kue kering," Miranda mengangguk paham dan segera membuatkan pesanan untuk Demian.
"Ini teh dan camilannya, tuan," ujar Miranda meletakan pesanan di atas meja Demian.
"Terima kasih banyak, Nona Forst."
Miranda mengangguk kecil dan undur diri sejenak.
"Nona Forst..." panggil Demian membuat Miranda menoleh ke arahnya.
"Iya, tuan?"
"Apakah anda sibuk? Saya ingin mengobrol dengan anda sejenak," Miranda menujukkan senyuman terbaiknya.
"Tentu saja, tuan."
Mereka berdua duduk saling berhadapan. Demian menikmati teh buatan Miranda dan wanita itu diam sambil melihat gerak-gerik lelaki di depannya.
"Sudah sejak kapan anda membuka bisnis ini, Nona Forst?" Miranda tampak berpikir sejenak.
"Sekitar 8 bulan yang lalu, tuan."
"8 bulan, ya... Itu termasuk sangat muda."
"Apa... Apa Laura melakukan hal-hal aneh di sini, nona?" tiba-tiba Demian menanyakan kepada Miranda mengenai Laura.
"Tidak, tuan. Dia selalu datang setiap hari ke sini sambil mengerjakan naskah ia buat."
"Benarkah?" Miranda mengangguk yakin.
"Bahkan ia meminta aku sebagai pembaca sampel untuk memberi masukan kepadanya. Ceritanya sangat bagus. Aku sangat menantikan perilisan novel Laura."
Demian terdiam cukup lama sambil mengambil camilan.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan yang melintas di pikiran Miranda. "Boleh saya bertanya?"
"Tentu saja boleh. Silahkan."
"Apakah hubungan kalian dekat?" pertanyaan itu membuat Demian terdiam seribu bahasa.
"Seperti yang kamu lihat kemarin," dari jawabannya sudah dipastikan kalau hubungan mereka tidak baik.
"Kami memiliki perbedaan yang cukup jauh. Laura berusia 14 tahun, sementara aku berusia 20 tahun."
"Kami jarang berinteraksi satu sama lain karena aku sibuk belajar di akademi militer, setelah lulus, aku langsung ikut perang."
"Itulah kenapa hubungan kami tidak baik seperti saudara lain," Miranda dengan diam mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Demian.
"Saat aku mendengar ia ingin menjadi penulis buku, aku tidak setuju dengan keputusannya."
"Kenapa?" tanya Miranda penasaran. Itu adalah sebuah hal yang harus dicari tau kenapa Demian tidak mau adiknya menjadi penulis buku.
"Untuk apa menjadi penulis buku? Lagipula dia adalah seorang putri bangsawan. Bahkan kedua orang tua kami juga tidak mengijinkannya."
Ahh... Jadi begitu...
"Tetapi... Kalau misalnya dia benar-benar suka dan niat menulis buku, apa tuan akan mendukungnya?"
Demian terdiam sejenak. "Pernakah anda menyukai hal sesuatu? Kalau misalnya sesuatu yang anda suka dilarang oleh orang lain, apa yang kamu lakukan?"
Demian langsung menjawab, " Mungkin aku akan sedih..."
Demian tersenyum dan menjawab, " Itu juga yang dilakukan oleh Nona Wood. Dia sedih kalau orang terdekatnya tidak mendukung hal-hal yang dilakukannya."
"Menjadi seorang penulis buku atau novel bukan dari status darimana dia seorang. Semua kalangan bisa menjadi penulis."
Demian yang mendengar nasehat secara tidak langsung dari Miranda hanya diam seribu bahasa. Perkataan Miranda memang benar.
Adiknya ingin menjadi penulis yang bisa membagikan ide kreasinya kepada semua orang.
Sebagai kakaknya, ia harus mendukung keinginan Laura.
"Kenapa kakak ada di sini?" tanya Laura kaget melihat Demian berada di rumah teh ini.
"Laura..." panggilnya memandang Laura yang baru saja tiba.
Laura mulai mengalihkan pandangannya ke arah Miranda. " Aku pesan Teh Oolong, ya."
"Baik..." Miranda bangkit berdiri dari kursi dan segera menuju tempatnya untuk membuatkan teh kepada Laura.
Kini mereka berdua saling pandang satu sama lain.
"Aku sudah dengar cerita dari pemiliki tempat ini..." tiba-tiba Demian membuka suara.
"Setelah nona muda itu menjelaskan betapa kamu menyukai bidang itu... Aku tidak bisa berbuat apa-apa."
"Maksudnya?" Laura menatap ke arah kakaknya dan pertama kalinya Laura menatap wajah kakaknya secara langsung.
Demian tersenyum hangat. " Aku mendukung keputusanmu, Laura."
"Tetapi..." kemudian dia menunduk kepalanya merasa ada sesuatu hal yang masih janggal di pikirannya.
Tentang keputusan kedua orang tuanya. Demian terkekeh melihat reaksi adiknya yang sedikit ketakutan itu.
"Tenang saja... Kalau mereka berdua menolak keinginanmu, biar aku yang membelamu paling depan," balasnya dengan rasa percaya dirinya.
Laura seketika tertawa kecil diikuti oleh Demian. Miranda yang melihat hubungan kedua kakak-adik yang kini sudah baikan. Wanita itu tersenyum lega dan setelah membuat pesanan untuk Laura, Miranda berjalan menghampiri mereka berdua.
"Nona Forst..." Miranda menoleh ke arah Laura.
"Terima kasih banyak," balas Laura dengan senyuman sumrigah dan Laura membalas dengan anggukan saja.
"Boss!!" tiba-tiba Derren berlari dengan rasa kepanikan.
"Kenapa Derren?" tanya Miranda dengan kebingungan. Perasaan dirinya mengatakan ada hal buruk yang sebentar lagi tiba.
"Black Knight... Black Knight akan tiba di sini!!"
Mendengar kata Black Knight, Demian langsung menoleh ke arah Derren dan Miranda bersamaan.
"Kak... Ada apa?" tanya Laura melihat tingkah laku kakaknya.
Demian menoleh ke arah adiknya dan menggeleng kepala tanda tidak apa-apa.
Kemudian lelaki itu terdiam sambil memikirkan kenapa Black Knight tiba-tiba datang ke tempat seperti ini?
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."