"Sejak kapan bisnis ini dibuka?" tanya seorang gadis imut kepada Miranda.
"Hampir setahun yang lalu, nona," balas Miranda dengan tenang.
"Wow... Masih muda tapi perkembangan bisnismu begitu pesat, ya..."
"Tidak juga... Lagipula setiap hari pengunjung yang datang sekitar 3-5 orang. Belum termasuk untuk hari libur lainnya."
"Kalau begitu... Bisakah kamu menceritakan-"
"Sayang... Ini bukan waktunya untuk bekerja. Ingat, kita sedang liburan," ujar pemuda di depannya yang diketahui adalah pacarnya.
"Tapi aku penasaran sekali..." Miranda hanya diam seribu bahasa.
"Maaf kalau pertanyaan saya lancang, tapi apakah nona adalah jurnalis?" tanya Miranda berusaha hati-hati.
"Oh! Benar aku adalah jurnalis. Darimana kamu bisa tau?"
Tentu saja... Pacarmu menjelaskan profesimu dengan jelas batin Miranda.
"Anda kerja di perusahaan apa, nona?"
"Daily Week's," seketika Miranda dibuat terkejut.
"Oh! Aku sering membaca koran itu tiap pagi. Itu koran yang sangat populer."
"Iya. Bahkan orang yang jarang baca koran tau itu," tampaknya pemuda itu langsung dicuekin saat kekasihnya asik mengobrol dengan orang lain.
"Hubungan kalian sudah berapa lama?" tanya Miranda mengganti topik.
"Sudah 5 tahun kami menjalani," balas pemuda itu akhirnya.
"Lama sekali.... Seharusnya kalian bisa langsung nikah kalau kalian sudah mengenal satu sama lain."
Mereka berdua langsung terdiam seribu bahasa membuat Miranda menyadari kejanggalan mereka.
"Ah... Maafkan saya. Kalau begitu saya permisi dulu," balasnya dan segera pergi meninggalkan pasangan muda itu.
"Aku pesan camilan lagi, Miranda," tiba-tiba Harry meminta pesanan.
"Aku kira anda sudah pergi, Profesor," Harry hanya tertawa saja.
"Aku ingin menikmati suasana damai ini, Miranda."
Miranda hanya manut-manut saja. Ia segera mengambil camilan untuk Harry.
Sementara itu...
Pasangan tadi saling diam satu sama lain.
"Sayang..." panggil gadis itu dan pemuda di depannya hanya bisa menghela nafas panjang.
"Benar kata perempuan tadi... Seharusnya kita sudah nikah sekarang. Andai saja kalau orang tuamu menerimaku..."
"Jangan seperti itu, Peter. Memang orang tuaku belum menerima hubungan kita, tapi kita harus meyakinkan mereka lagi, oke?"
Tampaknya pemuda bernama Peter sedang tidak ingin membahas itu sekarang dan kekasihnya mengerti itu.
"Bagaimana kalau kita kembali ke penginapan dan mencoba pemandian air panas yang terkenal itu?" ajak gadis itu berusaha mencairkan suasana.
"Lily... Baiklah kalau gitu kita kembali sekarang," mereka berdua memutuskan untuk membayar dan pergi meninggalkan rumah teh tersebut.
Kini tinggallah Laura dan Harry yabg masih bertahan di rumah teh tersebut.
Sementara itu, Derren yang sedang membantu Marco mengurusi perkebunan teh milik Miranda melihat cuaca yang sebentar lagi mendung.
"Uh oh... Sepertinya aku harus cepat-cepat mengangkat jemuran serbet-serbet," Derren segera menuju jemuran dan mengangkat kain-kain yang digunakan sebagai serbet dan memasuki ke area penyimpanan.
Sementara itu, Marco langsung masuk ke dalam dan melihat anaknya masih berada di sana.
"Kau tidak pulang?" Harry melirik ke ayahnya.
"Ayah mengusirku?" balasnya membuat Marco tidak berkutit.
"Sebentar lagi hujan... Kamu pasti tidak membawa payung kan. Pulanglah dan istirahat dengan baik. Besok kamu harus mengajar, kan?"
Ia mendengus kesal. "Padahal aku sedang menikmati tempat ini, malah ayah yang mengusirku."
Sementara itu, Miranda melihat langit yang sudah mulai mendung menandakan bahwa sebentar lagi akan hujan tiba.
"Astaga... Kenapa harus mendung sih? Merusak estetika saja."
"Miranda... Saya harus pamit dulu," ujar Harry pamit kepada pemilik rumah teh tersebut.
"Kenapa cepat sekali?" Harry melirik ke arah Marco yang sedang mengangkat vas bunga dan Miranda langsung tau alasan kepulangan Harry.
"Hati-hati di jalan, profesor," ucap Miranda ketika Harry membuka pintu rumah teh itu.
Dan semakin sepi tempat ini.
Miranda melihat Laura yang sedang fokus mengerjakan naskahnya yang katanya deadline-nya sampai minggu depan.
Kalau tidak salah nama marga Laura adalah Wood, bukan?
Hmm... Miranda merasa bahwa marga itu sangat familiar dengannya, tetapi ia lupa ada dimana.
Tidak lama, pengunjung yang lain akhirnya datang. Tidak sendirian, ada sekitar 5 orang dengan mengenakan baju zirah.
Dari penampilan luarnya bisa ditebak kalau mereka adalah seorang ksatria yabg sedang bertugas ke suatu tempat.
"Selamat datang di rumah teh kami. Mau pesan apa, tuan-tuan?" ucap Megan kepada para ksatria di sana.
Mereka sedang berdiskusi sesuatu yang cukup lama dan akhirnya pria berambut hitam gelam itu berkata, " Bisakah kalian membuat teh yabg menghangatkan tubuh? Karena sebentar lagi hujan, jadi kami memutuskan untuk menghangatkan diri."
Megan mengangguk kecil. "Apakah semuanya sama?" mereka semuanya mengangguk kompak dan perempuan berusia 40-an segera menuju ke arah Miranda.
"Oke..." balas Miranda paham dan segera membuatkan teh.
"Biar aku yang membawa teh-teh ini. Kamu bisa membantu Marco ke area penyimpanan di sana."
"Baik..." setelah Megan pergi ke ruang penyimpanan untuk membantu Derren dan Marco, Miranda mengangkat pesanan ke arah para ksatria tersebut.
"Ini pesanan anda, tuan-tuan sekalian..."
Salah satu ksatria itu menyahut, " bau ini... Aku pernah tau bau ini..."
"Ini adalah teh putih, tuan. Teh ini diolah dari tanaman Camelia Sinsenis yang dipetik dalam keadaan tertutup oleh rambut putih tanaman ini. Ini sangat khasiat untuk menghangatkan tubuh."
"Selamat mencoba..." mereka semua mencoba teh buatan Miranda dan tidak lama reaksi mereka sangat positif.
"Benar... Tubuhku terasa hangat setelah meminum ini," Miranda tersenyum mendengarnya.
"Ngomong-ngomong..." Miranda membuka suara.
"Kalian datang ke sini pasti menjalani tugas dari kerajaan, bukan?" tebak wanita itu kepada para ksatria di sana.
"Ya, tapi kami sedang menjalani tugas di daerah perbatasan Kerajaan Gerand dan Republik Tonto."
"Tapi, hari ini masa tugas kami sudah selesai dan kami dengar ada rumah teh yang sangat terkenal sejak Ratu Julia berkunjung ke sini."
"Jadi kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini," jelasnya.
"Saya sangat senang banyak orang berkunjung ke sini karena sang ratu," ucap Miranda.
Pemuda itu berkata, "Apakah kamu adalah pemilik tempat ini, nona?"
Miranda mengiyakan dan semuanya langsung takjub dengan kabar terbaru mereka. "Perkenalkan, nama saya Miranda Forst, pemilik rumah teh ini."
Pemuda itu segera bangkit dan memperkenalkan dirinya. " Nama saya Demian Wood, saya pemimpin dari pasukan White Dragoon Gerand," kemudian ia mencium tangan Miranda sebagai bentuk penghormatan kepada Miranda.
Tunggu!! Demian Wood?!
Jangan bilang...
"Dia adalah pahlawan dari utara, Demian Wood. Nona pasti tau dia, kan?" ujar salah satu anak buah Demian.
Pantas saja Miranda sangat familiar dengan nama lelaki itu, ternyata ia pernah lihat di koran akhir-akhir ini.
"Saya sangat senang bisa bertemu anda secara langsung, pahlawan dari utara yabg sering dibicarakan oleh banyak orang."
"Tidak perlu memuji terlalu berlebihan, nona Forst. Itu sudah kewajiban saya sebagai ksatria."
"Miranda..." tiba-tiba Laura berjalan menghampiri wanita itu.
"Aku harus pamit dulu... Oh ya soal pem-" perkataan Laura langsung terpotong saat ia melihat pria di sebelahnya.
"Laura?!"
"Kakak?!"
Ah... Miranda hampir saja kelupaan. Ia harusnya bertanya hubungan antara Laura dengan Demian karena marganya sama, tetapi terjawab oleh orangnya langsung.
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."