Berita pembunuhan Isabella Falcon tersebar begitu cepat. Aktris teater yang sedang naik daun tiba-tiba dibunuh di taman kota.
Sampai sekarang belum menemukan siapa pelaku sebenarnya dan rumah teh milik Miranda masih terlihat normal saja.
Kini, Derren sedang berhadapan dengan putri seorang count yang banyak tingkahnya.
"Teh ini enak, tidak?"
"Semuanya enak kok, nona," balasnya dengan pasrah.
"Eh... Tapi apa tidak terlalu pahit, ya..."
Uhh... Rasanya aku ingin hantam tubuh dia secara langsung batinnya menahan emosinya.
Sabar... Sabar... Derren anak baik... Anak pintar...
"Nona... Bagaimana kalau saya rekomendasikan Teh Rooibos. Manis menyegarkan dan tidak mengandung kafein."
Tiba-tiba Miranda meletakan minuman itu kepada putri bangsawan tersebut.
Putri bangsawan itu memandang cangkir teh tersebut dengan lama. " Kalau tidak enak, bagaimana?" tanyanya lagi.
"Saya menjamin kalau teh buatan saya sangat enak. Mohon dicoba dulu."
Dia langsung mencoba teh buatan Miranda dan diam cukup lama.
"Rasanya..." Derren menelan ludahnya berharap hal positif dari putri bangsawan.
"Ini benar-benar enak!! Ini nama tehnya apa?!"
"Ini adalah Teh Rooibos, nona," jawab Miranda dengan tenang.
Derren menghela nafas lega. Untung saja bosnya dengan sigap mengatasi masalah pelanggan lain.
"Fyuuhh... Aku kira dia tidak menyukai tehnya," ujar Derren lega.
"Kalau tidak salah... Dia putri Count, bukan?" tanya Miranda kepada Derren.
"Iya. Dan kamu tau tidak? Dia adalah adik ipar dari Isabella Falcon."
Mendengar kabar terbaru, Miranda langsung terkejut. " Benarkah?" ia langsung menoleh ke arah gadis tersebut.
"Ia tampaknya biasa saja mendengar kakak iparnya meninggal."
"Bisa saja hubungan dia sama si aktris itu tidak terlalu dekat."
"Kalian sedang gosip apa?" tanya seseorang membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah asal suara.
"Oh... Profesor Petterson. Lama tidak bertemu, ya..."
Profesor Petterson, seorang dosen yang mengajar di akademi sihir dan ksatria tempat Derren sekolah.
Selain Tuan Brooke, Profesor Petterson adalah pelanggan tetap di rumah teh ini.
"Pasti anda sibuk sekali dengan murid-muridmu," lelaki itu hanya tertawa saja. "Beginilah menjadi seorang pengajar. Terutama berurusan dengan modelan murid seperti dia," tunjuk ke Derren yang membuat orang yang ditunjuk merasa kebingungan.
"Aku dengar ada kasus besar kemarin, ya..."
"Iya. Tadi pagi, polisi mendatangi ke tempat ini."
"Benarkah?" tanyanya sedikit kaget.
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Profesor penasaran.
"Kamu mulai tertarik hal-hal seperti itu, Harry..." tiba-tiba Marco berjalan mendekati Miranda dan Profesor tersebut.
"Hai, ayah... Bagaimana kondisi tanganmu?" tanya Harry Petterson, anak dari Marco.
"Kau belum menjawab pertanyaan ayahmu, Harry."
"Ayah tidak menanyakan sesuatu barusan," balasnya dengan polosnya.
Miranda menghela nafas panjang. Kalau sudah berurusan dengan ayah-anak, gadis ini tidak bisa membantu banyak.
"Profesor... Anda ingin memesan apa?" tanya Miranda mencegah terjadinya perselisihan antara ayah-anak ini.
"Oh ya... Aku hampir saja lupa. Aku pesan Teh susu saja."
Miranda mengangguk paham dan ia kembali ke tempatnya. "Astaga... Gara-gara kasus kemarin aku tidak bisa melihat idolaku," ujar Marco sambil duduk dihadapan anaknya.
"Siapa? Si Isabella Falcon?" Marco mengangguk.
Harry melihat seorang gadis muda berambut merah sedang menikmati hidangannya. " Oh... Apakah gadis itu yang ayah ceritakan kemarin, ayah?"
Harry menunjuk ke arah putri bangsawan itu kepada Marco. " Bukan!! Bukan dia yang aku bahas kemarin. Tampaknya dia sedang tidak datang hari ini."
"Ngomong-ngomong soal Isabella Falcon..." Marco melirik ke arah Harry, begitupun dengan Harry.
"Aku dengar kalau pihak kepolisian datang ke sini. Mereka menanyakan apa?"
"Astaga... Kenapa kamu peduli sekali? Biasanya kami tidak begitu tertarik dengan begituan."
Marco hanya mengangkat kedua bahunya dengan cuek. "Ini pertama kalinya pihak kepolisian jauh-jauh dari kota ke sini selain jam istirahat atau libur."
Marco diam seribu bahasa. Menyerah berdebat dengan anaknya. " Mereka bertanya hal sepele. Seperti jam berapa dia datang ke sini atau pergi dari sini atau hal-hal aneh selama dia berada di sini."
Miranda datang dengan membawa pesanan untuk Harry. " Apakah ada hal aneh dengan dia kemarin?" tanya Harry kepada Miranda.
"Tidak. Hanya menikmati teh, terus tidak lama ia langsung pergi begitu saja."
Terdengar suara lonceng yabg menandakan bahwa ada pengunjung datang.
"Kalau begitu... Aku harus kembali ke taman belakang," ucap Marco dan bergegas pergi meninggalkan Miranda dan Harry.
Megan yabg berada di sekitar pintu masuk/keluar melayani pengunjung yang baru saja masuk.
"Selamat datang di rumah teh kami. Mari saya antarkan ke tempatnya."
Pengunjung kali ini adalah pasangan kekasih muda. Kata mereka, mereka menyempatkan diri untuk berlibur selama 3 hari dua malam di penginapan yang sama dengan pemandian air panas.
"Mau pesan apa, tuan dan nona?"
"Aku pesan Teh hijau dengan lemon, ya... Kamu pesan apa, sayang?" tanya pemuda itu kepada kekasihnya.
"Aku ingin teh mawar."
"Baik... Silahkan tunggu sebentar," Megan sedang menyampaikan pesanan kepada Miranda dan putri count itu langsung membayar dan pergi setelahnya.
Tidak lama, Megan memberikan dua cangkir teh kepada sepasang kekasih tersebut. "Maaf mengganggu... Apakah kalian sedang berlibur?"
Mereka berdua menoleh ke Megan dan gadis berambut hitam gelam mengangguk. " Benar. Sekalian merayakan hari jadi kita ke 5 tahun."
"Oh ya?! Selamat untuk kalian berdua," ucap Megan memberi semangat.
"Terima kasih banyak," balas pemuda itu dan Megan segera meninggalkan sepasang kekasih itu.
Bersamaan dengan kehadiran novelis muda yang membawa naskah novel buatannya, namun tampaknya ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Selamat datang, nona... Mau pesan apa?"
"Seperti biasa..." balasnya dengan lemah. Megan tampak bingung dengan wanita muda itu.
Kemarin-kemarin, dia kelihatan semangat, kenapa sekarang dia kelihatan letih lesu begitu?
Megan tidak banyak bicara setelah itu dan memutuskan untuk pergi menemui Miranda.
"Teh Chamomile untuk novelis yang sedang tidak baik-baik saja," Miranda yang sedang mengelap cangkir teh langsung menoleh ke rekannya.
"Kenapa dia?" wanita berusia 40-an itu hanya mengangkat bahu tanda tidak tau.
Miranda memandang gadis yang tampak lemas di sana. "Biar aku yang ngasih ke dia, Megan."
Megan hanya mengangguk tanda mengerti dan melanjutkan tugas lain.
"Boss..." panggil Derren kepada bosnya.
"Ada surat untukmu..." Miranda menoleh ke arah surat yang berada di tangan pemuda itu.
"Letakan di mejaku, Derren," Derren mengangguk saja dan melaksanakan perintah bosnya.
"Ini Teh Chamomile anda, nona," ujar Miranda meletakan cangkir teh kepada gadis itu.
"Ah... Ternyata kamu rupanya..."
"Aku dengar dari rekanku kalau kamu ada masalah ya?" gadis itu terdiam dan mengangguk paham.
"Kamu tau? Idemu ternyata berhasil lolos oleh editor."
"Benarkah? Bagus deh... Setidaknya anda bisa menggambarkan keseluruhan cerita yang anda buat."
"Iya.... Bagus... Tapi..." kepala gadis itu langsung jatuh ke atas meja.
"Deadlinenya untuk bab pertama seminggu lagi dan aku baru menyelesaikan 4 paragaf doang...."
"Deadlinenya seminggu lagi?"
"Iya..." balasnya dengan lemah. Miranda tersenyum paham.
"Lebih baik anda rehat sejenak dan menikmati teh buatan saya. Mungkin setelah anda rehat, anda memilki ide lagi."
"Benar juga... Terima kasih banyak, Nona-"
"Panggil saja Miranda," balasnya sambil tersenyum lembut.
"Oh ya aku lupa memperkenalkan diriku... Namaku Laura Wood, panggil saja Laura."
Dia bilang marganya adalah Wood?
"Salam kenal, Laura."
"Sejak kapan bisnis ini dibuka?" tanya seorang gadis imut kepada Miranda."Hampir setahun yang lalu, nona," balas Miranda dengan tenang."Wow... Masih muda tapi perkembangan bisnismu begitu pesat, ya...""Tidak juga... Lagipula setiap hari pengunjung yang datang sekitar 3-5 orang. Belum termasuk untuk hari libur lainnya.""Kalau begitu... Bisakah kamu menceritakan-""Sayang... Ini bukan waktunya untuk bekerja. Ingat, kita sedang liburan," ujar pemuda di depannya yang diketahui adalah pacarnya."Tapi aku penasaran sekali..." Miranda hanya diam seribu bahasa."Maaf kalau pertanyaan saya lancang, tapi apakah nona adalah jurnalis?" tanya Miranda berusaha hati-hati."Oh! Benar aku adalah jurnalis. Darimana kamu bisa tau?"Tentu saja... Pacarmu menjelaskan profesimu dengan jelas batin Miranda."Anda kerja di perusahaan apa, nona?""Daily Week's," seketika Miranda dibuat terkejut."Oh! Aku sering membaca ko
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."