Seperti biasa, rumah teh Miranda masih sepi, bahkan yang sering berkunjung adalah Tuan Brooke.
Maklum, rumahnya dekat dengan rumah teh maupun pemandian air panas.
Megan yang sibuk bersih-bersih, Marco yangs sedang sibuk dengan tanaman miliki Miranda, dan Miranda hanya membaca koran di pagi hari.
"Hmmm.... Kenapa berita hari ini tidak menarik sih?" ucapnya sambil menikmati tehnya.
"Memangnya berita apa yang dimuat oleh koran?" tanya Megan penasaran.
"Biasa... Politik," jawabnya, kemudian ia menutup korannya.
Bersamaan itu, seorang pemuda datang menghampiri mereka berdua. "Selamat pagi."
"Bagaimana dengan ujianmu, Derren?" tanya Miranda kepada pemuda bernama Derren.
Derren menghela nafas panjang. " Berjalan lancar. Hasilnya akan diumumkan minggu depan."
Derren berjalan menuju ruang belakang dan tidak lama ia keluar dengan seragam kerjanya.
"Aku kira kamu sudah melewati tahap ke-3?" tanya Miranda.
Sebelah alis Derren terangkat satu. " Tidak. Aku masih dalam tahap 2. Untuk menuju ke tahap 3, itu sangat susah."
Derren, seorang bangsawan bergelar Marquess yang memiliki kemampuan sihir. Keluarganya secara turun-temurun memiliki kemampuan sihir tersebut.
Meski dia adalah anak bangsawan, Derren memilih membunyikan identitasnya dan membaur dengan banyak semua kalangan. Karena menurutnya, di dunia ini tidak hanya kalangan bangsawan saja, tetapi berbagai macam status dan latar belakang yang ia bisa pelajari.
Itulah ia memutuskan untuk bekerja di rumah teh ini, walau jaraknya sangat jauh.
"Oh ya... Apa ada kejadian menarik dari kemarin?" tanya Derren sambil melipatkan kedua tangannya.
"Tidak ads yang seru. Hanya ada pelanggan baru yang datang ke sini."
"Siapa? Apakah dari kalangan bangsawan yang penasaran dengan tempat ini?" tanya Derren makin penasaran.
"Tidak. Dia calon novelis. Mungkin dia akan menjadi pelanggan tetap seperti Tuan Brooke," baru saja Miranda berbicara, gadis kemarin itu akhirnya datang juga.
"Derren. Layani dia, oke?" Derren mengangguk saja dan berjalan menghampiri gadis itu.
"Selamat pagi di rumah teh kami. Mau pesan apa, nona?" Gadis itu memandang Derren dengan ekspresi aneh.
"Nona... Mau pesan apa?"
"Ah! Maaf... A-aku tidak pernah melihatmu kemarin, makanya saya bingung."
Derren hanya cengir saja. " Ah... Begitu. Kemarin aku tidak masuk, nona."
"Kalau begitu saya pesan Teh Chamomile saja."
"Oke. Mohon tunggu, ya..." Derren kembali ke Miranda dan mengatakan kalau gadis itu memesan Teh Chamomile.
Miranda mengangguk paham dan segera membuatkan pesanan gadis itu.
"Ini tehnya. Semoga anda menikmatinya," ujar Derren memberikan secangkir teh kepada gadis itu.
"Terima kasih banyak. Akan saya nikmati."
Dan kini para pekerja di rumah teh ini menunggu pengunjung lainnya.
Beberapa menit kemudian, muncul seseorang wanita berusia 20-an berjalan menuju salah satu meja yang tersedia.
"Selamat datang, nona. Mau pesan apa?"
"Saya pesan apa saja," balasnya dan Derren langsung undur diri.
"Dia ingin mesan apa saja," ucapnya kepada Derren dan pemuda itu mengangguk yakin.
Miranda menoleh ke arah wanita yang sedang sibuk kipas-kipas manja. " Tampaknya dia orang penting atau sesuatu."
Wanita itu langsung membuatkan teh kepada wanita bergaun mewah itu dan diberikan kepada Derren.
"Ini adalah Teh mawar, nona. Semoga anda menyukainya."
Wanita itu memandang cangkir tersebut cukup lama, sementara Derren dan Miranda hanya bisa melihat wanita itu dari kejauhan.
Wanita itu perlahan meletakan cangkirnya dengan pelan dan kedua orang yang melihat wanita itu memandang dengan serius.
Wanita itu mengangguk yang bertanda kalau minuman ini sangat enak. Miranda dan Derren langsung menghela nafas panjang.
"Kenapa kalian menghela nafas gitu?" tanya lelaki sepuh itu datang secara tiba-tiba.
"Ah... Marco. Kamu lihat di sana deh..." Derren menunjuk ke arah seorang wanita elegan dengan busana mewah. Melihat arah yang ditunjuk Derren Marco seketika terkejut bukan main.
"Kalian tidak tau siapa dia?!" serunya kepada Miranda dan Derren.
Miranda menggeleng dengan wajah polosnya dan Derren berkata. " Memangnya dia siapa, Marco?"
Marco, pria berusia 60-an itu hanya bisa memukul jidatnya sendiri. Mereka berdua justru tidak tau siapa dia sebenarnya.
"Dia adalah Isabella Falcon, aktris teater yabg sedang populer akhir-akhir ini. Masa kalian tidak tau sih?"
Mereka berdua justru menggelengkan kepalanya bertanda kalau mereka berdua benar-benar tidak tau.
"Astaga... Ini pertama kalinya dia datang ke tempat seperti ini. Apakah dia sengaja datang ke sini untuk menemuiku?"
"Ge'er sekali kamu. Belum tentu dia ingin bertemu denganmu," balas Miranda dengan pedas.
"Jangan berkata seperti itu dong, anak muda...."
Tiba-tiba wanita itu mengangkat tangannya mengatakan kalau dia ingin memanggil mereka.
Derren langsung menghampiri si aktris tersebut. " Ya. Bisa saya bantu?"
"Saya ingin membayar pesanan ini."
"B-baiklah..."
Setelah wanita itu membayar pesanan tersebut, wanita itu segera pergi meninggalkan rumah teh itu.
"Cepat sekali dia pergi..." ucap Miranda sambil membersihkan cangkir-cangkir tersebut.
"Namanya juga orang populer. Selalu sibuk..."
Tiba-tiba Derren melihat sebuah kipas bewarna emas terletak di atas meja. Derren segera berlari menghampiri wanita tersebut, tetapi sayangnya si aktris tersebut langsung menghilang.
"Ada apa, Derren?" tanya Megan melihat Derren yang habis kembali dari keluar.
"Kipas wanita itu.... Ketinggalan."
"Kipasnya... Unik sekali," ujar Miranda melihat kipas tersebut.
"Nanti juga dia kembali lagi ke sini."
"Kapan dia akan kembali?"
"Tidak tau. Bisa sampai berbulan-bulan kalau dia masih ingat dengan kipasnya."
"Sini... Biar aku yang menyimpan kipasnya," kata Miranda kepada Derren.
Tak lama tibalah Tuan Brooke datang seperti biasa.
"Saya pesan Teh Lemon Balm satu, ya..."
"Tumben sekali tidak memesan seperti biasanya?" ujar Megan menyadari sesuatu.
Tuan Brooke hanya tertawa saja. " Aku ingin mencari suasana baru saja."
"Baiklah... Mohon tunggu."
Beberapa menit kemudian, pesanan untuk Tuan Brooke. Ia menghirup aroma lemon dipadu dengan aroma mint.
"Sangat menyegarkan... Terima kasih, Megan."
"Sama-sama, Tuan Brooke."
Malamnya...
Di tengah hujan yang lebat, di sebuah area taman kota, seorang wanita dengan kondisi baju yang penuh basah akibat turun hujan sedang berlari ketakutan hingga ia tanpa sengaja terjatuh.
Ia berusaha bangkit, tetapi orang misterius sudah berada di dekatnya.
"Kumohon... Jangan bunuh saya... Kum-"
"KYYAAAA!!!"
****************
Keesokan harinya, bisnis rumah teh masih berjalan dengan normal.
Miranda memutar tag label 'OPEN' dan berjalan menuju ke tempatnya sambil membuka koran.
Hmm... Hari ini berita apa saja di koran ini. Baru melihat setengah judul Headline di koran, kedua mata Miranda langsung terbuka dengan lebar.
"Apa-apaan ini...."
Tanpa sengaja Miranda melihat Marco yang baru saja tiba. " Ada apa, bos?"
"Kamu tau wanita yang kemarin datang ke sini, bukan?"
"Iya. Ada apa memangnya?"
"Dia ditemukan tewas di taman kota."
"Tewas... TEWAS KATAMU?!!"
Berita pembunuhan Isabella Falcon tersebar begitu cepat. Aktris teater yang sedang naik daun tiba-tiba dibunuh di taman kota.Sampai sekarang belum menemukan siapa pelaku sebenarnya dan rumah teh milik Miranda masih terlihat normal saja.Kini, Derren sedang berhadapan dengan putri seorang count yang banyak tingkahnya."Teh ini enak, tidak?""Semuanya enak kok, nona," balasnya dengan pasrah."Eh... Tapi apa tidak terlalu pahit, ya..."Uhh... Rasanya aku ingin hantam tubuh dia secara langsung batinnya menahan emosinya.Sabar... Sabar... Derren anak baik... Anak pintar..."Nona... Bagaimana kalau saya rekomendasikan Teh Rooibos. Manis menyegarkan dan tidak mengandung kafein."Tiba-tiba Miranda meletakan minuman itu kepada putri bangsawan tersebut.Putri bangsawan itu memandang cangkir teh tersebut dengan lama. " Kalau tidak enak, bagaimana?" tanyanya lagi."Saya menjamin kalau teh buatan saya sangat enak. Moho
"Sejak kapan bisnis ini dibuka?" tanya seorang gadis imut kepada Miranda."Hampir setahun yang lalu, nona," balas Miranda dengan tenang."Wow... Masih muda tapi perkembangan bisnismu begitu pesat, ya...""Tidak juga... Lagipula setiap hari pengunjung yang datang sekitar 3-5 orang. Belum termasuk untuk hari libur lainnya.""Kalau begitu... Bisakah kamu menceritakan-""Sayang... Ini bukan waktunya untuk bekerja. Ingat, kita sedang liburan," ujar pemuda di depannya yang diketahui adalah pacarnya."Tapi aku penasaran sekali..." Miranda hanya diam seribu bahasa."Maaf kalau pertanyaan saya lancang, tapi apakah nona adalah jurnalis?" tanya Miranda berusaha hati-hati."Oh! Benar aku adalah jurnalis. Darimana kamu bisa tau?"Tentu saja... Pacarmu menjelaskan profesimu dengan jelas batin Miranda."Anda kerja di perusahaan apa, nona?""Daily Week's," seketika Miranda dibuat terkejut."Oh! Aku sering membaca ko
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
Kali ini, di rumah teh ini didatangi oleh seorang putri bangsawan bergelar Count.Gadis muda itu pernah datang ke tempat itu saat sehari setelah kejadian pembunuhan Isabella Falcon."Mau pesan apa, nona?" tanya Megan dengan profesional."Aku ingin memesan teh susu saja," ujar perempuan itu dan dianggukin oleh Megan."Tumben sekali dia ingin meminum teh susu. Putri bangsawan seperti dia seharusnya meminum teh yang sangat mahal," ujar Derren setelah Megan berbicara kepada Miranda."Mungkin dia ingin menikmati teh lainnya. Kita tidak akan tau orang-orang inginnya seperti apa," jawab Miranda sambil meracik teh tersebut."Selamat pagi semuanya!!" seru Laura dengan senyuman merekah kepada para pekerja rumah teh tersebut."Anda tampaknya senang sekali, Nona Wood? Ada kabar gembira?" tanya Megan menyadari sikap Laura.Laura mengangguk mantap. "Naskah novelku sudah jadi dan 2 minggu lagi n
"Hah? Kamu akan menikah?!" seru Derren tidak percaya bahwa Miranda akan menikah secara mendadak.Miranda mengangguk lesu sebagai jawaban. "Tapi... Kenapa kamu tidak bersemangat? Seharusnya kamu bahagia ada pria yang akan menikahimu, nona bos," timpal Marco."Siapa pria akan menikahimu, bos?" tanya Megan penasaran dan bersamaan itu, datanglah Harry dengan senyuman ramah seperti biasa.Mereka semua menoleh ke arah lelaki itu dan Marco menjawab, " Apa anakku, nona bos?""Bukan," balas Miranda singkat dan Marco langsung sedih."Ada apa?" tanya Harry bingung melihat semua orang melihat ke arahnya."Bukan apa-apa," balas semuanya dengan kompak dan kembali dengan kerjaan masing-masing.Tidak lama, L
Miranda menghela nafas panjang. Gara-gara kemarin malam, ia tidak bisa tidur karena pria zirah gelap aneh yang mengajak dirinya nikah.DIA BENAR-BENAR GILA!!"Bos..." panggil Megan membuat Miranda menoleh ke arah perempuan tersebut."Ada apa?" Megan menyerahkan sebuah surat kepada wanita muda tersebut."Ini untukmu.""Untukku? Siapa?" tanya Miranda sambil membuka surat di tangannya."Kepolisian Kerajaan," Miranda langsung berhenti sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Megan."Apa?"...****************...Kini, Miranda duduk manis dan melihat sekeliling."Apakah anda Non
"Siapa mereka?" tanya Megan berbisik kepada Miranda, bosnya. "Black Knight, Megan." "Black Knight? Perasaan di kerajaan kita tidak ada Black Knight," balas Megan tampak bingung. "Kamu tidak tau, Megan? Black Knight, pasukan khusus Kerajaan Tortan yang sangat terkenal." Megan menggelengkan kepalanya tanda tidak tau sama sekali dengan sosok Black Knight. "Aku sama sekali tidak tau mereka siapa. Jangankan para ksatria itu, Kerajaan Tortan yang bos sebut saja aku tidak tau." "Astaga... Pengetahuanmu sangat sempit sekali," balas Marco secara mengejutkan tiba di hadapan mereka berdua. "Apa kamu bilang?" tanya Megan tidak terima dengan 'ejekan' dari Marco. "Tetapi... Tumben sekali mereka datang lagi. Apakah pemburuan monster telah selesai?" "Benar juga.... Setahuku, dari sini ke Gunung Pinda membutuhkan waktu sekitar 3 hari, belum mengalahkan mereka. Bisa seminggu lebih itu."
"Kamu tau banyak dengan kepolisian kerajaan, Derren," balas Megan kepada pemuda itu."Sebenarnya... Pamanku bekerja di sana. Makanya aku tau begituan," jawab Derren."Kalau pernyataan Derren benar, kasus pembunuhan Isabella pasti akan sulit.""Dan juga... Besok lusa, mereka akan ke sini lagi untuk mengecek.""Permisi..." tiba-tiba mereka berempat menoleh ke seorang wanita muda di ujung sana."Oh bukannya si jurnalis itu?" ujar Miranda mengenal sosok wanita itu."Biar aku saja yang ke sana,' ujar Derren dan langsung menghampiri wanita itu."Selamat datang. Mau pesan apa, nona?" tanya Derren kepada wanita itu."Ada kopi, tidak?""K-kopi?" tanya Derren bingung dan melihat ke belakang. " K-kami tidak menjual kopi, nona.""Kalau begitu, ada teh yang rasanya pahit? Kalau ada, aku pesan itu," balas dan Derren segera menuju ke Miranda."Kita punya te
Miranda memandang dua orang di hadapannya dengan rasa ketakutan. Secara mengejutkan Harry membawa seorang wanita seusia Megan dan kata Derren, Harry sedang berkencan dengan wanita itu.Tetapi yang membuat Miranda semakin terkejut adalah secara gamblangnya Harry menujukkan ke arah wanita itu bahwa dirinya tengah memilih kekasih dan menujukkan Miranda sebagai pacarnya Harry."Kau... Kenapa kamu tega kepadaku?" tanya Nyonya Baum kepada Harry dan pemuda itu hanya bisa menghela nafas saja. " Maaf, Nyonya Braum. Saya sudah mengatakan kalau saya sudah memiliki kekasih sekarang.""Kenapa?!! Kenapa?!!" teriaknya tidak terima. Miranda yang tidak tau apa-apa hanya diam saja perlahan mundur perlahan. Ia tidak ingin ikut urusan asmara orang.Setelah beberapa menit menyelesaikan masalah yang rumit dan tidak terduga, wanita itu akhirnya pulang dengan perasaan sakit hati. Harry menghela nafas panjang dan lega dan menoleh ke arah bos ayahnya itu."Maaf ya... Gara-g
"Derren!! Bisa kamu ke sini, tidak?" Derren menoleh ke arah bosnya dan langsung berlari ke arah dia."Ada apa, bos?" tanya Derren dengan antusias."Keran air di tempat kita mati deh... Kamu bisa tolong minta air ke sebelah, tidak?""Sebelah? Maksudnya penginapan di sebelah?" Miranda mengangguk mantap."Baiklah... Aku akan minta ke mereka," jawabnya dan segera ia membawa 2 ember berukuran sedang berjalan menuju ke penginapan di sebelah rumah teh ini."Apakah sudah cukup, nak?" tanya seorang nenek kepada Derren."Sudah cukup kok, Nenek Sani. Terima kasih banyak," ucap Derren berterima kasih kepada nenek tersebut."Lain kali kalau ada waktu luang, bilang bosmu untuk mampir ke sini," kata Nenek Sani kepada Derren."Pasti kok, nek!" saat Derren mengangkat 2 ember berisi air, seorang gadis remaja memasuki dapur dan berjalan menghampiri Nenek Sani."Nenek Sani!! Lihat deh!!
2 orang memakai zirah baja bewarna gelap memasuki rumah teh milik Miranda.Ini pertama kalinya Black Knight mengunjungi tempat yang adem seperti ini. Dan juga di tengah hutan seperti ini.Derren berinsiatif berjalan mendekati dan menanyakan kepada dua orang tersebut."Kalian ingin pesan apa, tuan-tuan?" ujar Derren dengan senyuman ramahnya.Mereka berdua saling diam satu sama lain dan akhirnya salah satu dari mereka membuka suara."Terserah," balasnya dengan singkat. Derren buru-buru langsung pergi menghampiri tempat Miranda di sana."Mereka berdua benar-benar sangat menakutkan," ucap Derren membisikan sesuatu kepada bosnya."Tetapi kenapa mereka bisa ada di sini? Tumben sekali mereka datang ke tempat sejauh ini.""Ini ada kaitannya dengan monster yang berkeliaran Di sekitar Gunung Pinda," ucap Demian tiba-tiba datang disekitar Miranda dan Derren."Monster?" ucap Mira
"Laura?!""Kakak?! kenapa kakak bisa ada di sini?" tanya Laura penasaran dengan kehadiran kakaknya.Demian menghela nafas panjang. "Aku dan rekan-rekanku sedang dalam perjalanan pulang. Kamu sendiri?""Aku sedang menulis novel sambil menikmati teh buatan Miranda.""Kamu menulis novel lagi?!" seru Demian kepada adiknya. Dilihat dari nada bicaranya, sepertinya Demian tidak menyukai aktivitas Laura."Memang kenapa kalau aku menulis buku? Itu bukan suatu kriminal, kakak.""Tapi...""Ah sudahlah... Aku males berdebat sama kakak. Miranda, ini uangnya. Aku pulang dulu."Laura segera meninggalkan area secepatnya dan Miranda hanya bisa diam sambil menyaksikan perkelahian 'kecil' antar saudara."Tampaknya kamu tidak menyukai kegiatan adikmu, Jendral Wood."Demian hanya menghela nafas pasrah. "Begitulah..."