"Keributan?""Iya Bu. Di luar ada wanita teriak-teriak," ucap Bibi yang membuatku penasaran, aku pun segera ke depan gerbang. "Ada apa ini, Pak?""Entahlah, Bu. Perempuan itu ingin masuk ke dalam.""Dita!""Hey, perempuan pelakor, tidak tahu diri, buka gerbangnya aku cabik-cabik kamu!" ucap perempuan yang bersama Dita yang tidak kukenal, tapi mendengar ucapannya kontan saja membuatku emosi. "Hai, siapa kamu? dan kamu Dita, apa-apaan ini?""Teh Evita, sepertinya adik saya salah paham.""Salah paham apa, Teh! Jelas -jelas si Evita ini pelakor dia sering jalan dengan suami Mila."Aku yang kebingungan akhirnya menyuruh Pak Satpam untuk membuka gerbangnya. "Pak, buka saja gerbangnya biarkan mereka masuk.""Baik, Bu."Saat gerbang di buka, wanita yang datang bersama Dita malah menerjang tubuhku, aku yang tidak siap sampai jatuh dan terhuyung. Pak Satpam juga Dita mencoba melepaskan cengkaraman wanita sialan itu, tapi tangannya mencengkam kuat rambutku. "Aww, sakiiit.""Rasakan ini, pela
Saat aku berbalik badan perempuan itu ternyata pingsan, kutinggalkan saja mereka, biar Kang Andi dan Dita yang urus, dasar wanita jalang! Renal…! Tiba-tiba aku teringat ketika Kang Andi memperingatkanku untuk menjauhi Renal, ternyata ini jawabannya pantas saja, ternyata Renal adik ipar Kang Andi. "Bu Evita tidak apa-apa?" tanya Bibi. "Aku baik-baik saja, Bi. Cuma pusing saja.""Jangan terlalu dipikirkan apa yang wanita tadi katakan, Bu. Bibi yakin Ibu orang baik.""Sudahlah, Bi. Tidak usah dibahas.""Bunda, lain kali Aa janji bakal jagain Bunda, Aa tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Bunda.""Terimakasih, sayang. Bunda izin ke kamar dulu, ya. Aa bisa main dulu sama Bibi.""Baik, Bunda."Setelah masuk ke kamar aku pun berpikir untuk segera mengamankan CCTV aku harus menyimpan video bagian wanita itu menyerang tadi, bisa kugunakan untuk mengancamnya, karena aku yakin perempuan gila itu tidak akan melepaskanku begitu saja. Iseng kubuka handphoneku beberapa chat dari Renal masuk
Tiada yang tahu kedalaman hati seseorang, namun terkadang semua tergambar dari pandangan mata. Kenalkan namaku Dita Pratama Putri, aku anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Saat itu Abah (panggilanku kepada bapak) hendak menjodohkanku dengan seorang laki-laki yang ia kenal dari lingkungan pondok pesantren. Namun, dia bukanlah seorang Ustadz, Abah bilang dia hanya seorang tukang kebun. "Teh, Abah rasa usia kamu sudah cukup untuk memulai bahtera rumah tangga, apakah Teteh tidak punya teman dekat?"tanya Abah hati-hati waktu itu. Sedangkan aku tidak menjawab hanya menggelengkan kepala saja. Saat itu adikku Mila sudah berniat untuk menikah, karena desakan dari orang tua calon suaminya yang ingin segera mungut mantu, mungkin karena alasan itu Abah akhirnya mencarikanku jodoh, agar tidak dilangkahi Mila, karena jika itu terjadi menurut mitos, hal itu akan membuatku menjadi perawan tua. "Begini ya, Teh. Emak tidak mau kalau kamu sampai dilangkahi oleh Mila, Emak in
Semenjak aku mengijinkan Kang Andi untuk bertemu dan menjalin silaturahmi dengan anaknya, hatiku selalu gelisah. Yah, karena Kang Andi selalu lupa waktu, bahkan ketika aku menghubunginya ia selalu menjawab dengan formal tidak seperti biasanya, panggilan sayang yang selalu diucap seolah hilang. [Hallo assalamu'alaikum,Kang. Kamu masih di mana? Sudah makan belum] [Eh-ini Um, aku sedang di rumah Aa] ucapnya terbata.[Kok, Abi, tidak menjawab salam Umi?][Ya Allah, maaf Um, eh Um, sudah dulu ya.] ucapnya segera memutus sambungan telpon bahkan tidak mengakhirinya dengan ucapan salam. Aku berpikir mungkin dia sedang dengan Teh Evita, sehingga merasa canggung. Aneh kan? Mengapa dia harus merasa canggung kalau memang sudah tidak ada apa-apa, lagipula aku istrinya.______Di dalam kamar saat hendak tidur kubernikan diri untuk bertanya, karena setelah pertemuannya dengan mantan istrinya Kang Andi tak pernah lagi menggauliku."Kang, Umi lihat akhir-akhir ini Akang berubah." "Berubah bagaiman
Sinar matahari memasuki celah-celah jendela, pagi-pagi sekali Kang Andi izin berangkat ke kebun, ia bilang siangnya ada urusan penting, entah apa aku tak berani bertanya. "Um, Abi berangkat dulu ya," ujarnya "Sepagi ini, Bi? Emang mau ke mana?""Mau ke kebun.""Kok, rapi?""Aku cuma ngecek saja kok, setelahnya akan langsung berangkat ada urusan penting, mungkin ngga pulang dulu.""Oh, yasudah tapi Abi gendong Kinara sebentar, gih. Pamitan dulu sama putri kecilnya.""Oh, iya. Abi lupa, Kinara sayang sini Abi gendong, cium Abi dong. Abi berangkat ya, sayang…." Kinara pun mencium tangan Abinya. Setelahnya aku memandikan Kinara ketika hendak memakaikan baju untuk Kinara. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu begitu keras. Tok … tok … tok …."Teh, buka pintunya cepat! Kamu ada di dalam, kan? Teh buka pintunya!"Aku yang sedang memakaikan Kinara baju begitu kaget, karena aku hafal suara itu, tapi mengapa suaranya diiringi tangisan, aku pun bergegas membuka pintu meninggalkan Kinara
Dua minggu berlalu sejak kejadian di mana Mila melabrak Teh Evita, Kang Andi tak lagi menerima pesan atau pun telpon darinya, bahkan sepertinya nomor kami di blokir, jujur aku senang. Tutt … tut … Ponselku bergetar kulihat di layar ternyata nama Emak terpampang di sana. "Hallo assalamu'alaikum, Teh. Apa kabar kalian?""Waalaikumsalam, baik. Mak, ada apa tumben telpon?""Teh sebentar lagi Abah sama Emak mau ke rumahmu, Abah dapat pesan dari pamanmu kalau beliau mau berkunjung, nanti jelasnya Emak ceritain, ya. Emak mau siap-siap dulu, ngga sabar pengen ketemu cucu Emak.""Alhamdulillah kalau Emak mau ke sini, mau di masakin apa Mak?""Tak perlu repot, Nak. Yasudah ya, kami mau siap-siap, Assalamu'alaikum," ucap Emak mengakhiri obrolan. "Oke, Mak. Waalaikumsalam." "Siapa Um?" tanya Kang Andi. "Oh, itu tadi Emak. Katanya mereka mau datang ke sini, karena pamanku mau berkunjung, tapi aku juga ngga ngerti jelasnya gimana, kata Emak mau ngobrol langsung, nanti kalau sudah sampai di si
"Um, Abi ke kamar dulu ya, mau ganti baju.""Baiklah." Kulihat raut wajahnya tampak tak senang, entah mengapa Kang Andi bersikap seperti itu. Aku pun melanjutkan berbincang dengan Paman dan Bibi, mengenang masa kecil aku dahulu bersama Mesya. "Duh, ngga kerasa ya, sudah sore saja," ujar Paman sambil melihat arlojinya. "Mesya sayang sudah waktunya Papah dan Mamah pulang, kamu baik-baik ya, di sini.""Ya ampun, Mamah ini, seperti Mesya masih SD saja, Mesya sudah kuliah loh, Mah. Bukan anak kecil lagi.""Tetep saja, bagi Mamah kamu masih kecil, baik-baik ya, sayang," ucap Mamah Mesya seraya memeluknya. "Teh Dita dan Kang Andi, kami titip anak kamii ya, dia ini agak sedikit manja, tapi tidak apa-apa kalau dia habis selesai makan jangan sungkan-sungkan nyuruh dia buat cuci piring," ujar Paman kali ini. "Ih, Papah, kok tega ke Mesya.""Bukan tega, tapi kamu harus belajar mandiri sayang."Aku, Mesya, juga Kang Andi mengantar Papah,Mamah Mesya ke depan, tak lupa kami memberikan oleh-ole
"Ya Allah … Akang, Mesya, kalian kehujanan. Kenapa tidak berteduh dulu.""Kami tadi berteduh, tapi karena sudah malam jadi kami pulang, iya kan. Kang?" tanya Mesya. Namun, kulihat Kang Andi diam saja, dia malah langsung masuk ke dalam tanpa berucap apa-apa."Mesya, kamu tidak apa-apa, sana gih, ganti baju dulu.""Iya, Teh. Makasih ya, Mesya memang kedinginan.""Kamu mau Teteh masakin air hangat buat mandi?""Tidak, Teh. Mesya mau langsung ganti baju, terus tidur saja."Di kamar…."Kang ada apa?""Tidak ada apa-apa, aku hanya capek saja, duh putri Abi sudah tidur rupanya." ucap Kang Andi sambil menciumi Kinara. "Kang, Maaf ya, Dita sudah maksa Akang buat anter Mesya. Aku cuma khawatir saja sama dia kalau sampai jalan sendiri.""Kamu tidak perlu sekhawatir itu, Mesya bukan anak kecil lagi!" ucap Kang Andi menekankan kalimatnya. Entah mengapa aku merasa Kang Andi tidak menyukai Mesya. Sikapnya sangat dingin. Aku jadi merasa tidak enak hati. Esoknya…."Teh, itu kok air di kamar mandi t
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,