Di siang yang begitu terik, lelah melanda tubuhku, sejenak kami beristirahat untuk makan siang juga sholat, tiba-tiba datang seseorang membawa sebuah surat dari kantor pos yang ditujukan untukku. "Apa di sini ada yang namanya Andi?" tanya Pak Kurir. "Iya, Pak. Saya sendiri." Ia pun segera memberikan amplop berisi surat yang beralamatkan dari Banten. Saat kubaca ternyata surat panggilan dari pengadilan agama Banten. Aku yang terkejut segera menghubungi Evita, ternyata ini keputusan akhirnya. "Halo ... Assalamu'alaikum.""Waalaikum salam.""Apa kabar bun?""Kabar baik, ada apa jangan basa-basi." Ketus Evita" Apa ini sudah menjadi keputusanmu?" "Soal apa? Oh apa kamu sudah dapat suratnya? Tanya Evita"Iya, soal sidang cerai kita.""Ya tentu saja, aku sudah capek, nunggu dan berharap Akang berubah, nyatanya sama saja.""Baik jika itu penilaian kamu, Akang Terima.""Oh iya, baiknya Akang ga perlu hadir saat mediasi supaya semua cepat kelar!""Iya, jika itu mau kamu Akang pasrah saj
Memikirkan ucapan Dita, entah mengapa aku merasa diriku hina, tidak! Aku bukan seorang pelakor, ada pun jika Kang Andi kembali padaku itu bukan karena aku merebutnya. Untuk menghilangkan jenuh aku pun pergi nongkrong ke sebuah Cafe. "Permisi Mbak, mau pesan apa?""Bawakan saya secangkir kopi cappucino saja.""Baiklah, ditunggu sebentar ya," ucap seorang pelayan Cafe. Tiba-tiba saja. "Wah, ada perempuan cantik sedang sendirian, boleh aku duduk di sini?""Renal!""Iya, Vi. Kok kamu nongkrong sendirian saja?""Iya, aku lagi gabut saja di rumah.""Bagaimana kabar anak kamu?" "Baik."Aku pun berbincang-bincang ringan saja dengan Renal, sampai akhirnya Renal di panggil teman-temannya untuk bernyanyi rupanya dia seorang vocalis band. Beberapa lagu ia nyanyikan, kudengar suaranya enak juga. Aku pun menikmati secangkir Cofe sambil menikmati musik. "Vi, kemari. Di belakang Cafe ini ada spot foto yang bagus loh, ayo kita foto-foto dulu." Ketika Renal selesai ia mengajakku berfoto dengan te
"Keributan?""Iya Bu. Di luar ada wanita teriak-teriak," ucap Bibi yang membuatku penasaran, aku pun segera ke depan gerbang. "Ada apa ini, Pak?""Entahlah, Bu. Perempuan itu ingin masuk ke dalam.""Dita!""Hey, perempuan pelakor, tidak tahu diri, buka gerbangnya aku cabik-cabik kamu!" ucap perempuan yang bersama Dita yang tidak kukenal, tapi mendengar ucapannya kontan saja membuatku emosi. "Hai, siapa kamu? dan kamu Dita, apa-apaan ini?""Teh Evita, sepertinya adik saya salah paham.""Salah paham apa, Teh! Jelas -jelas si Evita ini pelakor dia sering jalan dengan suami Mila."Aku yang kebingungan akhirnya menyuruh Pak Satpam untuk membuka gerbangnya. "Pak, buka saja gerbangnya biarkan mereka masuk.""Baik, Bu."Saat gerbang di buka, wanita yang datang bersama Dita malah menerjang tubuhku, aku yang tidak siap sampai jatuh dan terhuyung. Pak Satpam juga Dita mencoba melepaskan cengkaraman wanita sialan itu, tapi tangannya mencengkam kuat rambutku. "Aww, sakiiit.""Rasakan ini, pela
Saat aku berbalik badan perempuan itu ternyata pingsan, kutinggalkan saja mereka, biar Kang Andi dan Dita yang urus, dasar wanita jalang! Renal…! Tiba-tiba aku teringat ketika Kang Andi memperingatkanku untuk menjauhi Renal, ternyata ini jawabannya pantas saja, ternyata Renal adik ipar Kang Andi. "Bu Evita tidak apa-apa?" tanya Bibi. "Aku baik-baik saja, Bi. Cuma pusing saja.""Jangan terlalu dipikirkan apa yang wanita tadi katakan, Bu. Bibi yakin Ibu orang baik.""Sudahlah, Bi. Tidak usah dibahas.""Bunda, lain kali Aa janji bakal jagain Bunda, Aa tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Bunda.""Terimakasih, sayang. Bunda izin ke kamar dulu, ya. Aa bisa main dulu sama Bibi.""Baik, Bunda."Setelah masuk ke kamar aku pun berpikir untuk segera mengamankan CCTV aku harus menyimpan video bagian wanita itu menyerang tadi, bisa kugunakan untuk mengancamnya, karena aku yakin perempuan gila itu tidak akan melepaskanku begitu saja. Iseng kubuka handphoneku beberapa chat dari Renal masuk
Tiada yang tahu kedalaman hati seseorang, namun terkadang semua tergambar dari pandangan mata. Kenalkan namaku Dita Pratama Putri, aku anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Saat itu Abah (panggilanku kepada bapak) hendak menjodohkanku dengan seorang laki-laki yang ia kenal dari lingkungan pondok pesantren. Namun, dia bukanlah seorang Ustadz, Abah bilang dia hanya seorang tukang kebun. "Teh, Abah rasa usia kamu sudah cukup untuk memulai bahtera rumah tangga, apakah Teteh tidak punya teman dekat?"tanya Abah hati-hati waktu itu. Sedangkan aku tidak menjawab hanya menggelengkan kepala saja. Saat itu adikku Mila sudah berniat untuk menikah, karena desakan dari orang tua calon suaminya yang ingin segera mungut mantu, mungkin karena alasan itu Abah akhirnya mencarikanku jodoh, agar tidak dilangkahi Mila, karena jika itu terjadi menurut mitos, hal itu akan membuatku menjadi perawan tua. "Begini ya, Teh. Emak tidak mau kalau kamu sampai dilangkahi oleh Mila, Emak in
Semenjak aku mengijinkan Kang Andi untuk bertemu dan menjalin silaturahmi dengan anaknya, hatiku selalu gelisah. Yah, karena Kang Andi selalu lupa waktu, bahkan ketika aku menghubunginya ia selalu menjawab dengan formal tidak seperti biasanya, panggilan sayang yang selalu diucap seolah hilang. [Hallo assalamu'alaikum,Kang. Kamu masih di mana? Sudah makan belum] [Eh-ini Um, aku sedang di rumah Aa] ucapnya terbata.[Kok, Abi, tidak menjawab salam Umi?][Ya Allah, maaf Um, eh Um, sudah dulu ya.] ucapnya segera memutus sambungan telpon bahkan tidak mengakhirinya dengan ucapan salam. Aku berpikir mungkin dia sedang dengan Teh Evita, sehingga merasa canggung. Aneh kan? Mengapa dia harus merasa canggung kalau memang sudah tidak ada apa-apa, lagipula aku istrinya.______Di dalam kamar saat hendak tidur kubernikan diri untuk bertanya, karena setelah pertemuannya dengan mantan istrinya Kang Andi tak pernah lagi menggauliku."Kang, Umi lihat akhir-akhir ini Akang berubah." "Berubah bagaiman
Sinar matahari memasuki celah-celah jendela, pagi-pagi sekali Kang Andi izin berangkat ke kebun, ia bilang siangnya ada urusan penting, entah apa aku tak berani bertanya. "Um, Abi berangkat dulu ya," ujarnya "Sepagi ini, Bi? Emang mau ke mana?""Mau ke kebun.""Kok, rapi?""Aku cuma ngecek saja kok, setelahnya akan langsung berangkat ada urusan penting, mungkin ngga pulang dulu.""Oh, yasudah tapi Abi gendong Kinara sebentar, gih. Pamitan dulu sama putri kecilnya.""Oh, iya. Abi lupa, Kinara sayang sini Abi gendong, cium Abi dong. Abi berangkat ya, sayang…." Kinara pun mencium tangan Abinya. Setelahnya aku memandikan Kinara ketika hendak memakaikan baju untuk Kinara. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu begitu keras. Tok … tok … tok …."Teh, buka pintunya cepat! Kamu ada di dalam, kan? Teh buka pintunya!"Aku yang sedang memakaikan Kinara baju begitu kaget, karena aku hafal suara itu, tapi mengapa suaranya diiringi tangisan, aku pun bergegas membuka pintu meninggalkan Kinara
Dua minggu berlalu sejak kejadian di mana Mila melabrak Teh Evita, Kang Andi tak lagi menerima pesan atau pun telpon darinya, bahkan sepertinya nomor kami di blokir, jujur aku senang. Tutt … tut … Ponselku bergetar kulihat di layar ternyata nama Emak terpampang di sana. "Hallo assalamu'alaikum, Teh. Apa kabar kalian?""Waalaikumsalam, baik. Mak, ada apa tumben telpon?""Teh sebentar lagi Abah sama Emak mau ke rumahmu, Abah dapat pesan dari pamanmu kalau beliau mau berkunjung, nanti jelasnya Emak ceritain, ya. Emak mau siap-siap dulu, ngga sabar pengen ketemu cucu Emak.""Alhamdulillah kalau Emak mau ke sini, mau di masakin apa Mak?""Tak perlu repot, Nak. Yasudah ya, kami mau siap-siap, Assalamu'alaikum," ucap Emak mengakhiri obrolan. "Oke, Mak. Waalaikumsalam." "Siapa Um?" tanya Kang Andi. "Oh, itu tadi Emak. Katanya mereka mau datang ke sini, karena pamanku mau berkunjung, tapi aku juga ngga ngerti jelasnya gimana, kata Emak mau ngobrol langsung, nanti kalau sudah sampai di si