Share

Rumah Ramaria
Rumah Ramaria
Penulis: Sepenuhnya.Manusia

Bab 1

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-04 21:20:59

Cahaya matahari masuk dari sela-sela jendela dan membentuk sebuah pola berulang yang indah di dinding kamar. Tanaman anggrek yang ditaruh di pojok ruangan kelihatannya akan tumbuh tambah indah karena bermandikan cahaya hangat sang surya. Namun, tak ada yang lebih indah kelihatannya dibandingkan dengan istriku, Maria. Ia masih terlelap tanpa balutan pakaian apapun, hanya ditutupi selimut yang kami pakai berdua. Wajahnya juga bermandikan cahaya matahari pagi. Matanya, bibirnya, hidungnya, rambutnya yang panjang, jarinya ... jari manis bercincin yang mengikat janji pernikahan kami satu tahun yang lalu.

Aku tersenyum melihatnya meregangkan tubuh sedikit setelah kuelus rambutnya. Ia masih belum bangun dan kelihatannya lelah luar biasa karena semalaman kami memadu kasih. Aku bisa berlama-lama memandangi wajahnya, pikirku. Seulas senyum terbentuk di sudut bibirnya ketika aku mencium wajahnya. Hatiku luar biasa bahagia, dan sekelebat masa lalu hadir di memoriku, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami dahulu.

Waktu itu aku baru lulus kuliah dan sedang menunggu keberangkatanku untuk melanjutkan S2 ke Amerika. Nilai-nilaiku bagus, reputasiku sebagai mahasiswa juga baik, dan salah seorang dosen yang membimbingku memberikan bantuan untuk mendapatkan beasiswa, karena beliau tau aku juga ingin menjadi dosen.

“Rama, menjadi mahasiswa S2 di Amerika itu tidak mudah, kamu harus tetap semangat karena akan jauh dari rumah.” Pak Joko masih menatap layar komputernya, mengerjakan beberapa berkas terakhir yang akan dikirimkan ke universitas di Amerika untukku.

“Saya tau kamu itu salah satu mahasiswa yang paling berprestasi di jurusan ini, dan saya yakin mau bantu kamu. Jadi, jangan kecewakan saya ya di sana,” ujar Pak Joko sambil menatapku sekilas.

Aku mengangguk pelan dengan senyuman dan tekad yang kuat di hati untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Pun sebenarnya, ini bukan kali pertama aku harus berjuang mati-matian demi keberlangsungan hidupku sendiri.

Aku terlahir di keluarga yang sederhana, tidak pernah kekurangan maupun kelebihan. Semuanya cukup. Ayahku seorang pegawai negeri sipil dan ibuku tinggal di rumah mengurus ketiga anaknya. Aku anak pertama dan dua adikku perempuan, masing-masing jarak kami tiga tahun. Hidup kami baik-baik saja sampai ketika aku lulus SMP, Ayah meninggal tiba-tiba karena sakit jantung. Dunia seperti runtuh seketika di hadapanku. Bukan hanya karena aku bingung akan keberlangsungan hidup keluarga ini setelahnya, namun yang paling besar yaitu karena Ayah adalah mercusuar untuk kami semua. Ia adalah sosok ayah, suami, dan pribadi yang sangat baik. Tidak pernah dilihat olehku serta kedua adikku dimana Ayah dan Ibu bertengkar ataupun tidak saling mencintai. Rumah kami selalu penuh dengan cinta dan ketika mercusuar itu tiba-tiba menghilang, kami semua jadi kehilangan arah...

“Nak Rama, tolong bantu Ibu untuk kasih ini Mama Fani ya.” Ibu memberikan sekeranjang penuh kue-kue kecil yang ia buat sendiri untuk dijual.

Setiap harinya sebelum berangkat ke sekolah, aku selalu mampir ke toserba di dekat rumahku yang baru di pinggiran Jakarta, untuk memberikan kue-kue buatan Ibu ke Mama Fani yang anaknya juga satu sekolah denganku. Ya, setelah Ayah meninggal dunia, kami semua pindah ke rumah milik salah seorang saudara yang juga akan pindah bersama orang tuanya ke luar daerah. Jadi kami diperbolehkan untuk mengurus rumah tersebut dan menempatinya tanpa membayar.

“Pagi Mama Fani, halo Dhil,” kataku, memberikan keranjang berisi kue kepada Mama Fani.

“Hai Rama, sudah sarapan?” Mama Fani sedang bersiap-siap membuka toko makanan miliknya.

“Sudah, Mama Fani.” Aku berdiri sambil menggerecoki Fadhil, anaknya Mama Fani sekaligus temanku yang paling dekat.

“Mah, ini si Rama gangguin aku terus.” Fadhil  berambut kribo, berkulit sawo matang, dan bertubuh gempal, sedang duduk di atas dua tumpuk kursi plastik di sisi toko, melahap makanannya. Sepertinya ia merasa risih karena diganggu olehku.

“Ih kak Fadhil cengeng,” ledek Fani, adiknya yang berbeda 180 derajat dengan kakaknya.

Fani adalah anak perempuan cantik dan berkulit putih yang duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Ia adalah anak kedua dari Mama Fani – yang sebenarnya bernama Sinta.

Loh, tapi kenapa Mama Fani tidak dipanggil Mama Fadhil saja? Atau, kenapa tidak dipanggil sesuai nama aslinya, yaitu Ibu Sinta?

“Udahlah, gue ini anak yang engga diinginkan,” kata Fadhil bercanda, setiap kali aku bertanya padanya mengenai hal ini.

“Tapi kenapa engga dipanggil Ibu Sinta aja?” Aku bersikeras.

“Nah kalau itu ada ceritanya. Waktu Fani masih kecil, di komplek rumah kami ada ibu-ibu yang namanya Sinta juga, dan lebih dulu tinggal di daerah sana. Jadi orang-orang panggil Mama dengan sebutan Mama Fani, alih-alih Ibu Sinta,” cerita Fadhil.

“Tapi kenapa engga dipanggil Mama Fadhil, sih?” Aku terus menggodanya, ingin membuat Fadhil kesal dengan pertanyaan bertubi-tubi yang kulemparkan.

“Yah, bentuk gue dahulu kala itu persis sama yang kaya lo lihat sekarang, Ram. Mungkin karena orang-orang engga sadar gue itu anaknya Mama juga, bukan Fani doang. Hahahaha,” kata Fadhil. Kami berdua tertawa.

Fani dan Mama Fani memang dapat dikategorikan sebagai perempuan yang cantik dan berkulit putih, sedangkan Fadhil lebih mirip Ayah mereka, berkulit sawo matang. Tapi rambut kribonya entah dari gen siapa.

“Dari Mama,” kata Fadhil sambil lalu waktu itu.

Ohya mungkin, karena Mama Fani pakai hijab dan aku belum pernah melihat rambutnya.

Fadhil juga beberapa kali cerita padaku bahwa dulu ketika anak-anak di komplek rumahnya sedang bermain di taman, ia selalu ditertawakan karena hanya diam saja dan memiliki bentuk tubuh yang mereka sebut gorilla.

Dan lebih sedihnya lagi, Fani itu anak yang sangat aktif, sehingga Mama Fani lebih memperhatikannya karena berlarian kesana-kemari. Alhasil, Fadhil hanya akan duduk di bawah pohon mangga yang besar dan melihat anak-anak seumurannya bermain bola. Mungkin itu juga alasan kenapa tidak ada orang yang sadar bahwa Fadhil adalah anaknya Mama Fani.

“Gue bahkan pernah dikira genderuwo, Ram.” Mata Fadhil membelalak ketika kami sedang makan di kantin.

“Serius? Gimana ceritanya?” Aku tak bisa menahan tawa.

Kemudian Fadhil bercerita lagi bahwa ia pernah ketiduran di bawah pohon dan langit sudah mulai gelap. Mama Fani rupanya lupa bahwa Fadhil masih di sana dan tidak mengajaknya pulang ke rumah. Tiba-tiba saja beberapa anak perempuan dan laki-laki yang mau pulang lewat situ, menjerit kaget sambil berteriak, “ada genderuwo,” ketika melihat ke arah Fadhil yang waktu itu memakai kaos dan celana hitam. Semuanya berlari ketakutan. Begitupun dengan Fadhil, yang tidak menyangka bahwa dirinya-lah yang dikira hantu.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak mendengar kisah-kisah menyedihkan yang sekarang bisa dengan santai Fadhil tertawakan.

Di SMA, setelah pulang sekolah sekitar pukul 3 sore, aku dan Fadhil langsung kembali ke toserba di dekat rumah. Fadhil akan membantu ibunya, sedangkan aku akan bekerja menjaga warnet sampai tengah malam.

“Uang pensiun Ayah, sisanya Ibu tabung untuk keperluan mendesak atau sekolah Rania sama Salsa aja ya Bu. Untuk sekolah Rama, Rama ada uangnya kok.” Ibu memang sudah tau bahwa aku bekerja menjaga warnet, tapi ia tidak tau kalau aku juga banyak melakukan pekerjaan kasar seperti membantu mengangkat galon di rumah susun samping toserba, membantu mengerjakan skripsi untuk anak kuliahan, menjadi fotografer lepas yang kameranya aku pinjam dari Fadhil, dan beberapa pekerjaan lain.

Sudahlah, Ibu tidak perlu tau. Kataku dalam hati. Aku baru pulang dari toserba pukul 1 pagi, kasihan melihat Ibu sedang bersiap-siap membuat kue untuk dijual.

“Ibu mau Rama bantuin?”

Guratan-guratan tipis di wajah Ibu yang kelihatan lesu tiba-tiba berubah karena senyumnya. “Engga, engga, jangan nak, kamu tidur aja. Pasti cape.”

Ibu menahanku ketika kakiku masuk ke area dapur. Ia tersenyum dan memegang pundakku. “Nak Rama istirahat saja ya...”

Aku membalas senyumnya dan pergi ke kamar. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Rumah Ramaria   Bab 2

    “Terima kasih banyak Pak Joko,” kataku sambil tersenyum, berjalan menjauhi kantornya di gedung kampusku. Helaan napas panjang dan senyum sumringah aku berikan kepada tak siapapun ketika aku sampai di depan gedung jurusan geografi dan melihat ke memori-memori di depanku. Mengenang waktu-waktu yang kuhabiskan di salah satu universitas terbaik di Indonesia ini. Aku sungguh bangga pada diriku sendiri karena berhasil melewati segala hal buruk dan menikmati segala hal baik yang pernah terjadi empat tahun belakangan. Kalau saja Ayah masih hidup. Pikirku, merenungi lantai di depan. Bayangan-bayangan tak nyata tentang Ayah yang bangga kepadaku ketika namaku ada di pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Wajah bahagianya ketika aku mengenakan jaket kuning kebanggaan kami, semangat yang ia berikan ketika aku pertama kali masuk kuliah, dekapannya ketika aku merasa semua ini sulit, semua sarannya mengenai kehidupan, dan semua teladan yang ia berikan. Diterima

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • Rumah Ramaria   Bab 3

    Kamar kos yang kutempati tidak begitu besar. Lebih besar daripada kamarku di rumah, namun tidak lebih besar dibanding kamar di rumahku dulu waktu masih ada Ayah. Jendela persis di samping ranjang ditutup dengan gorden seadanya milik penghuni sebelumnya. Warna merahnya sudah luntur sampai-sampai kalian akan mengira itu memang warna pinksedari awal. Tidak, sebelumnya itu berwarna merah. Tapi tidak masalah. Yang jadi masalah buatku adalah kadang jika hujan turun begitu deras, atap kamarku hampir pasti bocor dan tepat mengenai meja belajar. Alhasil, aku selalu menggesernya ke dekat ranjang supaya bisa kutaruh ember di bawah atapnya. Tapi yang patut aku syukuri dari semua hal ini adalah karena aku masih diberikan kelengkapan tubuh dan kesehatan, sehingga setiap hari libur Sabtu dan Minggu aku bisa bekerja sebagai fotografer di acara-acara pernikahan ataupun pensi sekolah. Bayarannya lumayan untuk kutabung supaya bisa mencicil rumah untuk istri dan anakku nanti. Kam

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • Rumah Ramaria   Bab 4

    “Rama, nanti ada satu temen gue sama Caca ikut juga ya.. Sekalian, belum ketemu sama kami juga soalnya. Besok gue udah langsung ke Bandung lagi kan,” kata Fadhil di telepon. Aku mengiyakan perkataannya dan berencana melanjutkan tidur siang karena kepalaku masih sakit. Sekarang pukul 11, aku akan bangun pukul 2 dan bersiap-siap, pikirku. Kurebahkan lagi tubuhku yang tadi sempat bangun tiba-tiba karena panggilan telepon. Aku bermimpi bertemu dengan Ayah di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu bernuansa biru dengan detil-detil yang samar. Aku hanya melihat Ayah berdiri di tengah dengan banyak sekelebatan seperti orang-orang berjalan hilir mudik. Yang jelas bagiku hanya Ayah. Ia memakai kemeja putih dan celana coklat favoritnya. Aku tidak begitu memperhatikan sepatunya karena agak samar. Wajahnya persis seperti Ayah namun kelihatan lebih muda dan bahagia. Tidak ada guratan lelah ataupun sakit, hanya ada wajah yang segar. Ayah melihat ke arahku dan tersenyum haru.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 5

    Satu jam berlalu dengan piring yang sudah kosong dan minuman kami berdua yang hampir habis di depan meja. Kami bicara banyak hal mengenai apapun dan itu sangat menyenangkan untukku. Dan kuharap juga untuknya. Beberapa kali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum, menyangga dagu di tangannya seraya mendengarku menceritakan kehidupan di kampus. Ia juga menceritakan dosen-dosen di jurusannya yang membuat dia pusing bukan kepalang. Kami tertawa banyak di cerita mengenai ospek dan ia ikut berduka ketika aku menceritakan temanku di jurusan sastra Indonesia yang meninggal. Hujan tinggal gerimis waktu itu namun langit masih gelap. Di sana, sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara mengenai suatu acara sudah pulang, seorang mahasiswa berambut ikal yang tadi kelihatannya sedang mengerjakan tugas juga sudah tidak kelihatan. Meja-meja yang kosong kini sudah hampir terisi, dan kebanyakan dari meja itu diisi oleh pasangan kekasih yang sepertinya sedang malam mingguan bersama. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 6

    “Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya. Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria. Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa. “Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman. Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya. Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirn

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 7

    Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar. Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku. Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranja

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 8

    Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 9

    Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18

Bab terbaru

  • Rumah Ramaria   Bab 37

    Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami. Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”

  • Rumah Ramaria   Bab 36

    Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang. Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.

  • Rumah Ramaria   Bab 35

    Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya. “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis. Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa. Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa. Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra

  • Rumah Ramaria   Bab 34

    Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka. Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium

  • Rumah Ramaria   Bab 33

    Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama. Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis. Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel

  • Rumah Ramaria   Bab 32

    Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan. “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya. “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani

  • Rumah Ramaria   Bab 31

    Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang. “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama

  • Rumah Ramaria   Bab 30

    Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku. Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…” Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?” “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut. “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya. Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t

  • Rumah Ramaria   Bab 29

    Kami bicara banyak hal lagi sambil makan dan kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumahku dan Maria yang tidak begitu jauh dari sana. Kami sampai di sana, mengantar Fadhil dan Caca melihat-lihat. Mereka suka sekali dengan rumah kami karena rumah ini mengingatkan Caca dan Fadhil pada rumah kakek dan nenek mereka.“Aku suka banget sama rumahnya.” Caca bicara pada kami semua ketika sudah sampai di taman belakang rumah yang luas dan ia mulai memberi saran, membayangkan bahwa di sudut sebelah sana ditaruh gazebo dan di samping dekat pintu ada ayunan untuk anak-anak. Di tengah-tengah taman akan sangat bagus kalau ada air mancur kecil yang dikelilingi tanaman-tanaman kecil.Kami semua tertawa dan Fadhil memeluk tunangannya itu.“Gue mau taruh di Maps, lokasi rumah kalian, gue tulis ya Rumah Rama & Maria,” kata Fadhil merogoh sakunya dan mengambil ponsel.“Dhil, aku sama Rama udah punya sebutan untuk ru

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status