Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil.
“Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya.
“Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?”
“Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.”
“Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.”
Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buatannya ke toserba atau mengganti bohlam yang rusak.
“Iya Bu, nanti kalau Rama butuh bantuan, dua hari sebelumnya Rama kabari ya.”
“Baiklah kalau begitu, hari ini ada rencana apa, Nak?”
“Hari ini aku mau keliling Jakarta dulu Bu, sebelum pergi. Jadi seminggu terakhir aku bisa di rumah saja sama Ibu, Rania, dan Salsa,” kataku sumringah.
Ibu menangkap senyumku dan aku yakin ikut tersenyum di ujung telepon. “Syukulah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya Nak.”
“Iya Bu, terima kasih. Ibu juga baik-baik di sana ya,” kataku, sambil menutup sambungan telepon kami.
Ibu itu salah satu malaikat tanpa sayap yang berjalan di Bumi sebagai seorang manusia. Ia tidak kenal lelah jika sudah menyangkut anak-anak dan keluarganya. Beberapa kali pernah jatuh sakit karena kelelahan, namun untungnya tidak pernah parah. Aku selalu mengingatkan untuk makan dengan benar dan istirahat yang cukup, karena semua kebutuhan tambahan Rania dan Salsa sudah bisa kutanggung. Tapi ya mungkin yang namanya Ibu, pasti ingin memberikan yang terbaik dan lebih untuk anak-anaknya. Kadang sisa uang keperluan sehari-hari Ibu tabung untuk dibelikan pakaian baru bagi Rania dan Salsa yang Ibu perhatikan jarang sekali membeli baju baru.
Rania dan Salsa juga mengikuti jejakku. Mereka bekerja paruh waktu di dua tempat berbeda. Salsa menjadi pelayan di sebuah restoran di sebuah mall setiap hari Sabtu dan Minggu, sedangkan Rania mengajar les privat untuk anak-anak sekolah di Bandung. Mereka berdua juga mendapat beasiswa prestasi dari sekolah dan kampusnya. Aku bahagia juga karena mereka bisa menjadi anak-anak yang dibanggakan Ayah, Ibu, dan kakaknya.
Tujuanku hari ini adalah Kota Tua. Aku berjalan ke Stasiun Universitas Indonesia untuk menaiki kereta arah Mangga Besar, begitu rutenya yang kulihat di Maps. Masih pukul 8 pagi dan stasiun UI cukup ramai. Tidak berdesak-desakkan, tapi semua orang kelihatan saling mendahului karena pasti di antara mereka ada mahasiswa yang terlambat masuk kelas. Semua hal ini mengingatkanku lagi pada masa-masa kuliah yang lalu. Syukur di hati terucap kembali pada Tuhan untuk kesempatan berharga yang Ia berikan.
Kereta arah Mangga Besar disebutkan oleh announcer akan segera tiba di stasiun UI. Aku bersiap-siap dan mengambil gerbong di tengah. Hempasan angin terasa di wajahku ketika kereta melaju ke arah utara dan berhenti di depanku. Pintu terbuka, beberapa orang turun dan beberapa orang naik. Tempat duduk terisi penuh, aku dan beberapa orang berdiri berpegangan pada hand-strap yang berjajar menggantung di langit-langit kereta. Kereta melaju dengan kecepatan seperti biasanya. Dan seperti biasanya juga, pandanganku sepenuhnya teralihkan ke pemandangan kota Jakarta di luar, yang dalam beberapa hari ini akan kutinggalkan.
Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sebelum berangkat ke Amerika, pikirku. Semua pemandangan dan memorinya akan kuserap penuh untuk kujadikan pegangan ketika rindu Jakarta.
Aku ingat sekali waktu pertama kali mendapatkan jaket kuning dari UI. Waktu itu aku berencana pulang ke rumah naik kereta, pulang hanya untuk memperlihatkan jaket ini ke Ibu. Bersama beberapa orang temanku, kami rasanya sangat bangga ketika membawa jaket kuning di genggaman kami. Hampir semua penumpang di kereta melihat dan kami tertawa kecil. Sok keren, kalau kata Rania, bercanda. Ibu bangga sekali melihatnya. Ia menangis dan memelukku erat. Lalu Ibu berkata bahwa kalau saja Ayah masih ada, pasti Ayah akan bangga luar biasa denganku.
Lamunanku dibuyarkan oleh pengumuman dari speaker kereta bahwa stasiun dimana aku akan turun sudah dekat. Aku bersiap-siap dan mengantre di depan pintu untuk keluar. Ada beberapa orang juga yang akan turun. Seorang ibu dan anak perempuan kecil yang membawa boneka beruang di tangannya. Ia menatap ke arahku sambil tersenyum, memperlihatkan bonekanya. Aku balas senyumnya dan melambaikan tangan ketika kami berpisah di luar.
Ternyata stasiun ini ramai. Kami berjalan agak berdesakkan. Beberapa orang membawa keranjang besar-besar yang entah apa isinya. Aku hendak mendahului sepasang muda-mudi yang berjalan agak lambat sebelum kulihat sesuatu seukuran kartu jatuh dua langkah di depanku. Aku melihat wanita yang sepertinya tidak sengaja menjatuhkannya, ia tidak sadar karena terus jalan. Aku mengambil kartu tersebut, kartu commuter line rupanya.
“Mba, Mba, permisi.” Suaraku kalah dengan bunyi riuh rendah di stasiun.
Aku berusaha menjangkaunya dengan tanganku namun tidak berhasil. Wanita itu mengenakan rok dan kemeja biru dongker. Jalannya cepat juga, pikirku.
Kemudian aku mengikutinya sampai di dekat jalan keluar, dimana orang harus mendekatkan kartu ke sensor barrier gate agar dapat keluar dari stasiun. Aku akan menunggu wanita tersebut menyadari bahwa kartunya hilang, dan benar saja, si wanita berhenti ketika merogoh kantung kemejanya.
Aku langsung menghampiri dan menepuk pundaknya. “Mba, kartunya jatuh.”
Aku kaget bukan main ketika yang kulihat di depanku adalah Maria. Ia pun sama kagetnya denganku. Tapi ada sesuatu yang membuatku tambah bertanya-tanya. Air muka Maria tidak seperti yang kulihat tiga hari lalu. Wajah wanita di depanku ini terlihat sembab dan hidungnya merah seperti habis menangis. Aku mengurungkan niat untuk menanyakannya langsung, maka untuk memecahkan tanyaku, aku tersenyum menyapanya. “Loh, Maria?”
“Rama? Wah kok kita bisa ketemu di sini ya?” Maria tersenyum.
“Iya, kebetulan banget,” kataku.
Kebetulan? Tapi Ayah pernah bilang bahwa tidak ada yang kebetulan. Semuanya saling terkait dan bahkan untuk kejadian-kejadian besar nan penting, semuanya telah direncanakan. Yang ada hanyalah manusia masuk ke dalam rencana itu.
Di sela-sela lamunan sepersekian detikku, mataku terbuka dan aku ingat meminta tanda dari Tuhan yang tidak terelakkan. Inikah tandanya? Sepertinya iya. Kita lihat saja.
“Ohya, ini kartumu tadi jatuh.” Aku memberikan kartu bernuansa merah muda yang kelihatannya memang milik Maria.
Maria tersenyum dan mengambilnya. “Makasih ya, aku tadi bingung kok engga ada di saku kemejaku.” Ia tertawa kecil.
“Kembali kasih.” Aku tersenyum padanya. “Maria mau kemana? Aneh juga kita bisa engga sengaja – (tanpa mempercayai ketidaksengajaan) – ketemu di sini.”
“Aku mau ke Kota Tua. Hahaha iya aneh ya kita bisa engga sengaja ketemu lagi.”
Aku sumringah. “Kota Tua? Aku juga mau ke sana. Wah, kamu ada acara kampus di sana?”
Inikah tanda yang lainnya?
“Oh engga kok, aku cuma mau jalan-jalan aja.” Wajahnya agak lesu. Entah kenapa aku bisa merasakan ada sesuatu yang sebelumnya mengganggu pikirannya dan ia berencana menghibur hati dengan jalan-jalan.
“Oh, sama dong. Kalau begitu, mau bareng aja?” tanyaku spontan. Aku baru sadar bahwa mungkin ia butuh waktu sendiri dan mempertanyakan pertanyaan yang baru saja kutanyakan hanya akan membuat Maria tidak enak hati menolaknya. Kemudian langsung kulanjutkan. “Hm, tapi kalau Maria sepertinya butuh waktu untuk sendiri, atau engga berkenan, engga masalah kok, aku bisa pergi sendiri,” kataku sambil tersenyum.
Maria memiringkan kepalanya dan senyum merekah di sudut bibirnya. Ada setitik haru terlihat di matanya.
“Aku mau kok,” katanya malu-malu.
Aku membalas senyumnya. “Yuk…”
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta
Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi
Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah
Hari ini ulang tahun Salsa yang ke-17. Aku sudah berada di rumah sedangkan Fadhil dan Caca sudah kembali ke Bandung setelah Gilang dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Aku bisa merasakan bahwa kini Maria lebih ceria karena ia tidak perlu khawatir dengan teror ataupun kedatangan Gilang tiba-tiba di kos-nya, karena ia yakin Gilang tidak bisa kabur dari penjara semudah itu. Aku baru selesai mandi dan melihat Salsa yang baru bangun tidur berjalan menuju meja makan. Niatku mengagetkannya digagalkan dengan kedatangan tiba-tiba Ibu dan Rania yang berteriak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahunsambil membawa kue dengan lilin menyala di atasnya, menuju meja makan. Aku bergabung bersama mereka. Salsa terlihat ingin menangis menahan haru, masih menggunakan piyama tidurnya dengan rambut panjang belum disisir. Wajah manis berkulit sawo matang yang kulihat ini diwarisi dari Ayah. Ia kelihatan gembira. Aku memeluknya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun, diikuti
Untunglah di depan lampu merah. Aku memalingkan wajahku padanya dan tersenyum terpana. Ia membalas senyumku dengan malu-malu. Ia berkali-kali membuatku jatuh hati. Dan menurutku tidak ada pria yang sepertinya dapat menahan bayangan di pikirannya mengenai menjadikan Maria seorang istri kalau ia sudah membicarakan hal seputar pernikahan. Dan aku pria yang beruntung itu. Angan akan menikah dengannya, memiliki anak dari rahimnya, dan membentuk sebuah keluarga bersamanya menjadikanku tambah punya arti dan keinginan untuk memiliki hatinya. Sambil bersenandung mengikuti alunan musik, Maria memainkan jari manis di tangan kirinya yang memang sudah lama kuperhatikan ada cincin di sana. Aku membayangkan jika suatu saat nanti aku adalah pria yang ia percayakan memasang cincin di jari manisnya. “Cincin itu dari siapa, Mar?” tanyaku. Maria mengangkat tangan, memegang cincinnya dan berkata, “oh, ini dari temenku. Waktu itu dia ke Jepang dan beliin ini.”
Kami tiba di bandara sekitar pukul 2 siang. Pesawatku akan berangkat pukul 4 sore dengan dua kali transit sebelum sampai di Bandara Internasional Logan di Boston. Aku yang menyetir mobil ke Soekarno-Hatta dan nanti mobil akan dibawa Rania waktu mereka pulang. Aku bersyukur bisa menghabiskan dua setengah minggu waktu dengan sangat baik bersama teman-teman dan keluargaku. Beberapa kali aku ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama Ayah untuk mengingat kembali memori-memori yang lalu. Aku juga sudah menyempatkan diri hampir seharian berkunjung ke makam Ayah, membersihkan rumput-rumput liar di sekitarnya dan menaburkan banyak sekali bunga di pusaranya. Ayah, aku akan pergi sebentar. Hanya tiga tahun. Ini engga akan terlalu lama kalau tidak terus dipikirkan. (Aku menghibur hatiku sendiri).Ayah jagain Ibu, Rania, dan Salsa ya. Jagain aku juga dari atas sana. Setelah pulang nanti dan bekerja, aku berjanji akan membeli rumah untukku dan kelua
Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami. Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”
Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang. Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.
Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya. “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis. Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa. Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa. Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra
Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka. Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium
Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama. Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis. Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel
Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan. “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya. “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani
Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang. “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama
Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku. Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…” Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?” “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut. “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya. Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t
Kami bicara banyak hal lagi sambil makan dan kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumahku dan Maria yang tidak begitu jauh dari sana. Kami sampai di sana, mengantar Fadhil dan Caca melihat-lihat. Mereka suka sekali dengan rumah kami karena rumah ini mengingatkan Caca dan Fadhil pada rumah kakek dan nenek mereka.“Aku suka banget sama rumahnya.” Caca bicara pada kami semua ketika sudah sampai di taman belakang rumah yang luas dan ia mulai memberi saran, membayangkan bahwa di sudut sebelah sana ditaruh gazebo dan di samping dekat pintu ada ayunan untuk anak-anak. Di tengah-tengah taman akan sangat bagus kalau ada air mancur kecil yang dikelilingi tanaman-tanaman kecil.Kami semua tertawa dan Fadhil memeluk tunangannya itu.“Gue mau taruh di Maps, lokasi rumah kalian, gue tulis ya Rumah Rama & Maria,” kata Fadhil merogoh sakunya dan mengambil ponsel.“Dhil, aku sama Rama udah punya sebutan untuk ru