Share

Bab 9

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-18 18:22:22

Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai.

“Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku.

Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.”

Kami berdua tertawa.

“Kenapa bolos?”

“Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung.

It’s okay kok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum.

Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai.

Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin.

“Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria.

“Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.”

“Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat.

“Hm, e

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Rumah Ramaria   Bab 10

    Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 11

    Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 12

    Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 13

    Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 14

    Hari ini ulang tahun Salsa yang ke-17. Aku sudah berada di rumah sedangkan Fadhil dan Caca sudah kembali ke Bandung setelah Gilang dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Aku bisa merasakan bahwa kini Maria lebih ceria karena ia tidak perlu khawatir dengan teror ataupun kedatangan Gilang tiba-tiba di kos-nya, karena ia yakin Gilang tidak bisa kabur dari penjara semudah itu. Aku baru selesai mandi dan melihat Salsa yang baru bangun tidur berjalan menuju meja makan. Niatku mengagetkannya digagalkan dengan kedatangan tiba-tiba Ibu dan Rania yang berteriak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahunsambil membawa kue dengan lilin menyala di atasnya, menuju meja makan. Aku bergabung bersama mereka. Salsa terlihat ingin menangis menahan haru, masih menggunakan piyama tidurnya dengan rambut panjang belum disisir. Wajah manis berkulit sawo matang yang kulihat ini diwarisi dari Ayah. Ia kelihatan gembira. Aku memeluknya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun, diikuti

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 15

    Untunglah di depan lampu merah. Aku memalingkan wajahku padanya dan tersenyum terpana. Ia membalas senyumku dengan malu-malu. Ia berkali-kali membuatku jatuh hati. Dan menurutku tidak ada pria yang sepertinya dapat menahan bayangan di pikirannya mengenai menjadikan Maria seorang istri kalau ia sudah membicarakan hal seputar pernikahan. Dan aku pria yang beruntung itu. Angan akan menikah dengannya, memiliki anak dari rahimnya, dan membentuk sebuah keluarga bersamanya menjadikanku tambah punya arti dan keinginan untuk memiliki hatinya. Sambil bersenandung mengikuti alunan musik, Maria memainkan jari manis di tangan kirinya yang memang sudah lama kuperhatikan ada cincin di sana. Aku membayangkan jika suatu saat nanti aku adalah pria yang ia percayakan memasang cincin di jari manisnya. “Cincin itu dari siapa, Mar?” tanyaku. Maria mengangkat tangan, memegang cincinnya dan berkata, “oh, ini dari temenku. Waktu itu dia ke Jepang dan beliin ini.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 16

    Kami tiba di bandara sekitar pukul 2 siang. Pesawatku akan berangkat pukul 4 sore dengan dua kali transit sebelum sampai di Bandara Internasional Logan di Boston. Aku yang menyetir mobil ke Soekarno-Hatta dan nanti mobil akan dibawa Rania waktu mereka pulang. Aku bersyukur bisa menghabiskan dua setengah minggu waktu dengan sangat baik bersama teman-teman dan keluargaku. Beberapa kali aku ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama Ayah untuk mengingat kembali memori-memori yang lalu. Aku juga sudah menyempatkan diri hampir seharian berkunjung ke makam Ayah, membersihkan rumput-rumput liar di sekitarnya dan menaburkan banyak sekali bunga di pusaranya. Ayah, aku akan pergi sebentar. Hanya tiga tahun. Ini engga akan terlalu lama kalau tidak terus dipikirkan. (Aku menghibur hatiku sendiri).Ayah jagain Ibu, Rania, dan Salsa ya. Jagain aku juga dari atas sana. Setelah pulang nanti dan bekerja, aku berjanji akan membeli rumah untukku dan kelua

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-18
  • Rumah Ramaria   Bab 17

    Udara sedang hangat-hangatnya di Boston. Semilir angin menerpa wajahku di bawah sebuah pohon rindang di komplek universitas. Aku sedang duduk-duduk di sini sambil melihat momen-momen yang kuabadikan dengan keluargaku di Indonesia melalui foto-foto yang saling kami kirim. Fotoku dengan profesor, fotoku dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di sini, dan beberapa foto pemandangan di sekitar kampus yang kukirim di grup keluarga dan Maria secara terpisah. Foto Ibu, Rania, dan Salsa di ruang keluarga, foto Ibu dan Salsa sedang dalam perjalanan ke Bandung untuk mengunjungi Rania, serta beberapa foto mereka bertiga di makam Ayah dan tempat-tempat lain yang tidak kukenal di Bandung. Dari Maria ada fotonya dengan Ibu ketika ia sedang berkunjung ke rumah, foto Maria sedang tiduran di ranjang kamarnya waktu bertelepon denganku, dan foto Maria bersama keluarganya ketika mereka berlibur ke Jogja. Sudah satu tahun lebih aku mengenal Maria lewat

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-25

Bab terbaru

  • Rumah Ramaria   Bab 37

    Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami. Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”

  • Rumah Ramaria   Bab 36

    Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang. Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.

  • Rumah Ramaria   Bab 35

    Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya. “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis. Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa. Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa. Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra

  • Rumah Ramaria   Bab 34

    Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka. Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium

  • Rumah Ramaria   Bab 33

    Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama. Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis. Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel

  • Rumah Ramaria   Bab 32

    Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan. “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya. “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani

  • Rumah Ramaria   Bab 31

    Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang. “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama

  • Rumah Ramaria   Bab 30

    Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku. Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…” Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?” “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut. “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya. Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t

  • Rumah Ramaria   Bab 29

    Kami bicara banyak hal lagi sambil makan dan kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumahku dan Maria yang tidak begitu jauh dari sana. Kami sampai di sana, mengantar Fadhil dan Caca melihat-lihat. Mereka suka sekali dengan rumah kami karena rumah ini mengingatkan Caca dan Fadhil pada rumah kakek dan nenek mereka.“Aku suka banget sama rumahnya.” Caca bicara pada kami semua ketika sudah sampai di taman belakang rumah yang luas dan ia mulai memberi saran, membayangkan bahwa di sudut sebelah sana ditaruh gazebo dan di samping dekat pintu ada ayunan untuk anak-anak. Di tengah-tengah taman akan sangat bagus kalau ada air mancur kecil yang dikelilingi tanaman-tanaman kecil.Kami semua tertawa dan Fadhil memeluk tunangannya itu.“Gue mau taruh di Maps, lokasi rumah kalian, gue tulis ya Rumah Rama & Maria,” kata Fadhil merogoh sakunya dan mengambil ponsel.“Dhil, aku sama Rama udah punya sebutan untuk ru

DMCA.com Protection Status