Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar.
Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku.
Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranjang tidak pernah terasa semenyenangkan ini. Dan juga, aku lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur seharian. Mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu dan itupun masih ada yang harus kukerjakan bersamaan. Tapi sekarang, beasiswaku ke Amerika sudah disetujui dan aku hanya tinggal berangkat ke sana. Tidak ada masalah-masalah lain yang harus segera kucari jalan keluarnya. Jadi, terima kasih Tuhan aku boleh seharian tidur di kamar.
Mataku terpejam dan kurasa aku terlelap.
Aku duduk di sisi sebuah tempat tidur berukuran besar yang berada di sebuah kamar. Sepertinya ini di hotel. Meja kayu persegi di samping ranjang berhiaskan lampu tidur dengan nyala temaram. Di depanku berdiri siluet yang membentuk tubuh manusia samar-samar. Aku menggosok mataku, memperbaiki pandangan yang kupikir kabur. Namun tetap saja seperti bayangan. Aku mengamatinya dan menemukan kemiripan dengan tubuh Maria. Ya, ini mirip Maria. Tingginya, rambutnya, dan lekuk tubuhnya. Lalu lama kelamaan, siluet yang tadinya samar makin jelas dan membentuk tubuh seseorang yang kukenal. Maria. Ia hanya mengenakan balutan handuk putih seperti habis mandi. Bibirnya dipoles lipstik merah dan wajahnya habis berdandan. Rambut panjang sepunggung ditaruh di sisi kanan pundaknya. Ia tersenyum dan berjalan ke arahku. Jatungku berdegub kencang dan nafsuku makin tak keruan ketika ia tiba persis di depanku dan perlahan membuka handuknya, membiarkannya jatuh ke lantai.
Di depanku bergantung payudara indah yang tidak begitu besar, ukurannya mungkin sekepalan tanganku. Puting berwarna agak kecoklatan dan rambut-rambut halus di sekelilingnya membuat naik nafsuku. Aku bergantian memandanginya dan bibir merah Maria yang tersenyum memesona. Matanya mengisyaratkan cinta dan nafsu sekaligus. Aku tak tahan dibuatnya.
Ia mulai memegang pundakku, mendekatkan wajahnya, dan menciumku. Aku membalas kecupannya dengan tergesa-gesa dan napas yang menderu. Kedua tanganku memeluk pinggulnya dan kurasakan kemaluannya yang sudah basah ada di perutku. Ia membuka bajuku dan mengajakku berdiri. Aku melihat tatapannya menggoda, sambil ia membuka ritsleting celanaku. Kami berdua berdiri tanpa sehelai pakaianpun.
Ia tesenyum melalui bibir dan matanya. Aku bahagia luar biasa melihatnya. Kami berdua saling memandangi tubuh satu sama lain sebelum aku dengan tidak sabar menerjang tubuhnya ke ranjang, setelah ia menggigit bibir bawahnya dan bergerak mendekat, memegang kemaluanku yang sudah berdiri sedari tadi.
Aku menghujani lehernya dengan kecupan yang membuat Maria mengeluarkan suara desah dan membuatku tambah dimabuk kepayang. Tangannya mulai meraba bokongku dan ia menggesekkan kemaluannya dengan milikku. Payudaranya kucium bergantian, membuat tubuhnya menggelinjang dan suara desahnya makin keras.
Aku sudah tak kuasa menahan nafsu dan akhirnya kumasukkan milikku ke dalam liang senggamanya. Kami berdua saling pandang dan mata kami membelalak saking nikmatnya. Aku terus bergerak memberikan kenikmatan untuk Maria. Ia memejamkan mata dan terus mendesah, kadang melihat ke arahku dengan tatapan haru. Aku tersenyum dan mencium bibirnya lembut.
Aku terus memperhatikan reaksinya ketika pinggulku bekerja keras membuat Maria menggeliat kenikmatan dan makin liar menggerakkan tubuhnya. Sampai setelah beberapa menit, kurasakan ada sesuatu yang akan keluar dari milikku, namun kutahan. Kutambah kecepatan gerakanku sampai Maria mendesah berteriak, menancapkan kuku-kukunya di punggungku, dan mengarahkan payudaranya supaya kucium. Kurasakan otot-otot kemaluannya bergerak melumat milikku seraya kaki dan tangannya bergerak tak keruan, menandakan ia mendapatkan puncak kenikmatannya. Aku memberikan dua dorongan kencang lagi, sampai otot-otot kepalaku serasa menegang, dan kemaluanku mengeluarkan air m**i yang membasahi seluruh dinding dalam kemaluannya. Kami berdua mengeluarkan napas lega sebelum bibir kami saling berpagutan dibarengi rasa cinta luar biasa yang kurasakan terhadapnya.
Maria tidur memeluk dadaku, dan aku mengelus rambutnya yang sudah tidak beraturan. Kuraskan kembali gelombang kenikmatan yang tadi kami rasakan berdua, sebelum akhirnya aku tertidur pulas.
Aku bangun dengan keringat bercucuran membasahi kaos abu-abu yang kupakai. Semua bagian celanaku basah dan napasku terengah-engah. Aku sadar baru saja mimpi basah. Menelan ludah dan mengambil gelas berisi air di meja belajarku. Helaan napas panjang keluar setelah tegukan air terakhir lewat di tenggorokan. Dingin.
Di luar hujan reda dan sekarang hanya jadi gerimis rintik-rintik. Aku mengawasi jalanan depan tempat kos seraya melihat pantulan wajahku di kaca yang tembus pandang. Aku bukan termasuk pria yang sangat tampan, tapi orang-orang bilang mataku indah. Dan banyak sekali yang mengatakan bahwa aku berkharisma. Aku terkekeh. Tidak ingin sombong, namun ada benarnya juga. Setiap kali aku datang ke kelompok manapun, aku merasa keberadaanku berarti dan diinginkan. Aku bisa membuat siapa saja bicara denganku karena aku ramah.
Syukurlah. Mungkin ini salah satu hal baik yang diturunkan Ayah kepadaku. Jadi orang yang ramah, Rama. Kata Ayah waktu itu. Aku bisa mengikuti apa yang ia katakan karena Ayah juga terbukti melakukannya, bukan hanya di mulut saja.
Kamu ini duplikat Ayah.. Ayah mengelus kepalaku ketika aku menghampirinya sewaktu pulang sekolah, setelah aku bicara dengan banyak teman-temanku dan mereka semua terkesima. Aku ingat waktu itu kukatakan bahwa aku akan bersekolah di Amerika suatu saat nanti. Kemudian kulanjutkan dengan menggambarkan di udara tempat-tempat menarik di sana yang ingin kukunjungi. Teman-temanku di sekolah dasar jadi terpesona dan berteriak kegirangan karena caraku bercerita membuat mereka bersemangat. Beberapa dari mereka bahkan berkata mau ikut denganku bersekolah di Amerika. Aku bilang pada mereka untuk belajar yang giat supaya kami sama-sama bisa ke sana.
Ayah, terima kasih ya..
Aku menggaruk belakang rambutku dan mengingat kejadian mimpi basah yang baru kualami tadi. Menelan ludah sebelum akhirnya aku bercerita lagi dengan Ayah di dalam hati.
Ayah, Ayah engga lihat kan? Hehehe.
Aku bisa merasakan bahwa di suatu tempat entah dimana, Ayah sedang tersenyum. Entahlah, mungkin hanya pikiranku saja.
Ayah, ada seorang wanita yang kemarin lalu kutemui. Namanya Maria, temannya Fadhil dan Caca. Rasanya campur aduk. Waktu pertama kali ketemu aku deg-degan luar biasa. Setelah ngobrol dan terbiasa, ada ketentraman dan bahagia di hatiku. Katanya Fadhil, aku harus mulai mendekatinya. Tapi masih ada sesuatu yang menahanku. Aku takut karena aku akan pergi ke Amerika dan kalau-kalau di sana aku tidak bisa menjaga hatiku. Ada yang pernah bilang bahwa yang setia akan kalah sama yang dekat. Aku entah percaya atau tidak. Tapi beberapa kasus yang terjadi pada temanku seperti itu. Putus dengan pacarnya karena mereka berjauhan. Tapi ada juga yang berhasil di hubungan jarak jauh, bahkan beda negara, dan akhirnya menikah. Ah, entahlah Ayah, aku bingung harus bagaimana. (Di dalam perenunganku, aku merasakan Ayah berkata, “Apa lagi yang kamu tunggu?”). Aku berhenti berpikir.
Logika dan perasaanku seimbang. Jadi kuputuskan untuk mengikuti kemana arah hatiku melangkah namun tetap menjaganya selurus logika.
Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Kereta yang kami naiki untuk sampai ke stasiun UI penuh. Kami semua harus berdesak-desakkan agar lebih banyak orang yang pulang kantor dapat segera sampai di rumah mereka masing-masing. Aku memikirkan Maria yang kelihatannya tidak begitu nyaman, berdiri benar-benar menyentuh tubuhku dengan aku yang berusaha tidak menyentuh tubuhnya. Tangan kiriku memegang hand-strapdan Maria memegang tangan kananku. Masih ada sisa ruang di antara kami, jadi kami bisa saling berpandangan, tertawa kecil jika beberapa orang berdesak-desakan turun atau naik di stasiun berikutnya. Namun di stasiun ketiga, lebih banyak orang masuk dan tidak ada yang dapat kami lakukan selain berpelukan. Tidak ada ruang di sekeliling kami, semua terisi dengan manusia-manusia yang sepertinya tidak butuh berpegangan karena semuanya saling berdempetan. Untungnya aku sempat menarik Maria ke pojok persis di sebelah pintu keluar kereta agar kami bisa menghirup udara segar kalau pintu terbuka di stasiun-sta
Malam ini Maria tidur di tempat kos temannya yang baru bisa kuhubungi setelah Maria selesai berpakaian. Aku sempat tanya padanya apakah ada bagian tubuhnya yang sakit. Wajahnya kembali memerah dan ia mulai menangis sesenggukan. Aku peluk lagi tubuhnya untuk menenangkannya. Januari, teman yang satu jurusan dengan Maria tiba segera dan memeluknya erat. Tangisan Maria pecah lagi di pundak temannya. Aku kaget karena Januari tak ada habis-habisnya mengucapkan sumpah serapah di udara untuk Gilang. Aku belum sempat mengenalkan diri, namun Januari sudah tau namaku. “Halo, Rama kan?” katanya masih memeluk Maria dan menatapku. Aku mengangguk sambil mengelus rambut Maria. “Malam ini Maria tidur di kos-mu dulu ya..” “Iya Mar, malam ini kamu tidur di kos-ku dulu ya. Biar nanti kami yang urus si bajingan itu.” Januari mengangguk ke arahku, mengisyaratkan bahwa kami berdua yang akan ke kantor polisi mengurus masalah ini. Maria masih sesenggukan, sebelum akhi
Di sela-sela haru begitu pikiranku bisa-bisanya melayang ke mimpi basah yang waktu itu kualami mengenai Maria. Ia juga hanya mengenakan handuk, namun tanpa riasan di wajahnya. Dan bedanya lagi, ia sedang menangis tepat di depanku sekarang. Fadhil ikut memeluk Maria dan menenangkannya. Aku mengelus-elus pundaknya dan tangis Maria makin menjadi-jadi. Sekilas ia melihat ke arahku dan menggenggam tanganku erat. Sekitar lima menit berlalu dengan Caca dan Fadhil yang terus berkata menenangkan Maria yang tidak ada habis-habisnya meminta maaf karena tidak mau percaya dengan kata-kata kedua sahabatnya itu. Caca dan Fadhil saling pandang dengan iba pada Maria dan terus menenangkannya, berkata bahwa tidak masalah, mereka akan terus bersama Maria. Ohya, aku belum menceritakan ini pada kalian, bagaimana Fadhil, Caca, dan Maria bisa saling kenal. Maria itu sahabat Caca sedari SD, walaupun mereka beda 2 tahun. Dulu rumah mereka berdekatan sebelum Caca dan keluarganya pindah
Hari ini ulang tahun Salsa yang ke-17. Aku sudah berada di rumah sedangkan Fadhil dan Caca sudah kembali ke Bandung setelah Gilang dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Aku bisa merasakan bahwa kini Maria lebih ceria karena ia tidak perlu khawatir dengan teror ataupun kedatangan Gilang tiba-tiba di kos-nya, karena ia yakin Gilang tidak bisa kabur dari penjara semudah itu. Aku baru selesai mandi dan melihat Salsa yang baru bangun tidur berjalan menuju meja makan. Niatku mengagetkannya digagalkan dengan kedatangan tiba-tiba Ibu dan Rania yang berteriak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahunsambil membawa kue dengan lilin menyala di atasnya, menuju meja makan. Aku bergabung bersama mereka. Salsa terlihat ingin menangis menahan haru, masih menggunakan piyama tidurnya dengan rambut panjang belum disisir. Wajah manis berkulit sawo matang yang kulihat ini diwarisi dari Ayah. Ia kelihatan gembira. Aku memeluknya dan memberikan ucapan selamat ulang tahun, diikuti
Untunglah di depan lampu merah. Aku memalingkan wajahku padanya dan tersenyum terpana. Ia membalas senyumku dengan malu-malu. Ia berkali-kali membuatku jatuh hati. Dan menurutku tidak ada pria yang sepertinya dapat menahan bayangan di pikirannya mengenai menjadikan Maria seorang istri kalau ia sudah membicarakan hal seputar pernikahan. Dan aku pria yang beruntung itu. Angan akan menikah dengannya, memiliki anak dari rahimnya, dan membentuk sebuah keluarga bersamanya menjadikanku tambah punya arti dan keinginan untuk memiliki hatinya. Sambil bersenandung mengikuti alunan musik, Maria memainkan jari manis di tangan kirinya yang memang sudah lama kuperhatikan ada cincin di sana. Aku membayangkan jika suatu saat nanti aku adalah pria yang ia percayakan memasang cincin di jari manisnya. “Cincin itu dari siapa, Mar?” tanyaku. Maria mengangkat tangan, memegang cincinnya dan berkata, “oh, ini dari temenku. Waktu itu dia ke Jepang dan beliin ini.”
Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami. Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”
Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang. Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.
Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya. “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis. Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa. Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa. Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra
Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka. Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium
Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama. Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis. Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel
Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan. “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya. “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani
Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang. “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama
Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku. Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…” Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?” “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut. “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya. Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t
Kami bicara banyak hal lagi sambil makan dan kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumahku dan Maria yang tidak begitu jauh dari sana. Kami sampai di sana, mengantar Fadhil dan Caca melihat-lihat. Mereka suka sekali dengan rumah kami karena rumah ini mengingatkan Caca dan Fadhil pada rumah kakek dan nenek mereka.“Aku suka banget sama rumahnya.” Caca bicara pada kami semua ketika sudah sampai di taman belakang rumah yang luas dan ia mulai memberi saran, membayangkan bahwa di sudut sebelah sana ditaruh gazebo dan di samping dekat pintu ada ayunan untuk anak-anak. Di tengah-tengah taman akan sangat bagus kalau ada air mancur kecil yang dikelilingi tanaman-tanaman kecil.Kami semua tertawa dan Fadhil memeluk tunangannya itu.“Gue mau taruh di Maps, lokasi rumah kalian, gue tulis ya Rumah Rama & Maria,” kata Fadhil merogoh sakunya dan mengambil ponsel.“Dhil, aku sama Rama udah punya sebutan untuk ru