“Terima kasih banyak Pak Joko,” kataku sambil tersenyum, berjalan menjauhi kantornya di gedung kampusku.
Helaan napas panjang dan senyum sumringah aku berikan kepada tak siapapun ketika aku sampai di depan gedung jurusan geografi dan melihat ke memori-memori di depanku. Mengenang waktu-waktu yang kuhabiskan di salah satu universitas terbaik di Indonesia ini. Aku sungguh bangga pada diriku sendiri karena berhasil melewati segala hal buruk dan menikmati segala hal baik yang pernah terjadi empat tahun belakangan.
Kalau saja Ayah masih hidup. Pikirku, merenungi lantai di depan.
Bayangan-bayangan tak nyata tentang Ayah yang bangga kepadaku ketika namaku ada di pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Wajah bahagianya ketika aku mengenakan jaket kuning kebanggaan kami, semangat yang ia berikan ketika aku pertama kali masuk kuliah, dekapannya ketika aku merasa semua ini sulit, semua sarannya mengenai kehidupan, dan semua teladan yang ia berikan. Diterimanya beasiswa ke Amerika yang kuajukan, serta tangis haru dan bangga di wajahnya sebelum aku pergi ke sana sebentar lagi.
Air mata tak mampu lagi kubendung. Aku berjalan cepat ke arah toilet sebelum menutup biliknya dan menangis tertahan. Aku rindu Ayah. Rindu berat.
Ayah, Rama mau cerita. Banyak sekali hal yang terjadi setahun belakangan. Salsa udah masuk SMA dan sekarang Rania kuliah di Bandung. Ambil jurusan arsitektur, seperti yang dulu Ayah pernah bayangkan tentangnya. “Rania suka sekali dengan bangunan ya? Nanti besar bisa jadi arsitek!", kata Ayah. Lalu Rania mulai menggambar denah-denah rumah impian Ayah, Ibu, Rama, Salsa, dan Rania sendiri di buku milimeter blok yang Ayah belikan. Dan ketika Rania tanya, Ayah bilang bahwa rumah impian Ayah adalah rumah yang ketika dibuka pintunya, ada Ibu, Rama, Rania, dan Salsa yang menyambut Ayah. (Air mata keluar lagi di sudut mataku). Lalu Ayah bilang dimanapun Ayah tinggal, kalau tidak ada kami semua, itu berarti bukan rumah untuk Ayah. (Aku terdiam sejenak). Ayah, apakah Surga itu bukan rumah untuk Ayah?
Setengah jam rasanya seperti setahun lamanya. Untung sedang tidak terlalu banyak orang di kampus, pikirku. Helaan napas panjang keluar beriringan dengan doa yang kupanjatkan untuk Ayah. Hatiku cukup lega karena telah menangis dan mengeluarkan hampir semua rasa ini.
Terima kasih Ayah.
Toilet di gedung fakultasku cukup besar. Beberapa urinoir terletak di sudut sehingga tidak begitu terlihat ketika orang membuka pintu. Ada beberapa bilik dan kaca besar di depan wastafel yang hampir tidak pernah dipakai terlalu sering oleh mahasiswa laki-laki – sebaliknya pasti yang terjadi di toilet untuk perempuan – dan satu gudang kecil yang menyimpan alat-alat kebersihan.
Pantulan di cermin memperlihatkan pria setinggi 170 cm dengan rambut cepak dan berkulit putih, kalau kalian ingin tau tentang diriku. Namun mata dan hidungku sekarang merah karena habis menangis. Ditambah kepalaku sakit sekali. Aku berencana untuk segera kembali ke kos dan menunggu pukul 3 sore untuk bertemu dengan Fadhil di kafe dekat kampus.
Ohya, ngomong-ngomong tentang Fadhil, ia berubah drastis sekarang. Semenjak berkuliah di Bandung ia jadi lebih memperhatikan penampilan dan mulai berolahraga, ketika beberapa mahasiswa baru laki-laki yang populer – dapat dilihat bahwa mereka tampan dan menaiki mobil mewah – tanpa sengaja (atau sengaja?) melempar botol minuman ke arahnya. Mereka pikir Fadhil tempat sampah. Sialan, memang.
“Oops, sorry.” Beberapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih dengan celana hitam sedang duduk-duduk sambil merokok di dalam sebuah mobil yang keempat pintunya terbuka. Pagi itu Fadhil sedang terburu-buru kembali ke fakultasnya untuk menghadiri pertemuan mahasiswa baru, dan sialnya harus dibuat jengkel oleh mereka, mahasiswa-mahasiswa baru dari entah fakultas apa.
“Brengsek!” kata Fadhil dalam hati. Ia tidak begitu memperhatikan karena sedang membersihkan noda minuman di kemeja putihnya. Dan ia juga tidak bisa menghadapi mereka sendirian. “Goblok, gue masih sama pengecutnya kaya Fadhil waktu kecil,” katanya dalam hati.
Aku ingat waktu itu sore hari di perpustakaan kampus. Di layar ponselku, Fadhil menelpon. Ia teriak-teriak sampai hampir terdengar seisi ruangan tempatku membaca. Aku berlari ke area koridor dan mendengar semua cerita Fadhil mengenai anak-anak populer yang ia sebut anak-orang-kaya-gila tadi pagi di kampusnya.
“Persetan dengan mereka, akan kubuat anak-anak itu melongo!” kata Fadhil dengan napas yang terengah-engah saking kesalnya.
“Bagus, jadiin ini bahan bakar lo, Dhil.” Aku setuju.
“Dan lo mau tau apa yang lebih gila lagi, Ram?” kata Fadhil sungguh-sungguh.
“Apa?” tanyaku penasaran.
Aku bisa merasakan di ujung telepon Fadhil sedang tersenyum dan wajahnya merona, sebelum ia berkata, “tadi ada perempuan tipe gue banget yang langsung nyamperin gue dan bilang brengsek ke anak-orang-kaya-gila itu. Gue dibantuin dia buat bersihin baju gue, Ram. Ah, rasanya seneng banget!”
Aku diam seribu bahasa. Baru kali ini aku melihat. Ralat. Mendengar teman baikku itu jatuh cinta.
“Dhil, lo jatuh cinta? Perdana?”
“Yeee, perdana lagi.. Dasar lo! Gue pernah jatuh cinta, kali. Tapi dulu banget, waktu SD. Di SMA kita engga ada perempuan yang tipe gue,” kata Fadhil sok keren.
“Heh jangan sok Anda,” kataku, tertawa.
“Hahaha iya maaf-maaf. Sejelek-jeleknya gue ya boleh kan gue punya tipe perempuan yang gue suka?!”
“Hahaha, ya boleh dong..” Kami tertawa.
Dan kalian mau tau, tipe perempuan seperti apa yang Fadhil sukai? Nanti jam 3 sore ketika aku bertemu dengannya, akan kuberitau kalian semua.
Kamar kos yang kutempati tidak begitu besar. Lebih besar daripada kamarku di rumah, namun tidak lebih besar dibanding kamar di rumahku dulu waktu masih ada Ayah. Jendela persis di samping ranjang ditutup dengan gorden seadanya milik penghuni sebelumnya. Warna merahnya sudah luntur sampai-sampai kalian akan mengira itu memang warna pinksedari awal. Tidak, sebelumnya itu berwarna merah. Tapi tidak masalah. Yang jadi masalah buatku adalah kadang jika hujan turun begitu deras, atap kamarku hampir pasti bocor dan tepat mengenai meja belajar. Alhasil, aku selalu menggesernya ke dekat ranjang supaya bisa kutaruh ember di bawah atapnya. Tapi yang patut aku syukuri dari semua hal ini adalah karena aku masih diberikan kelengkapan tubuh dan kesehatan, sehingga setiap hari libur Sabtu dan Minggu aku bisa bekerja sebagai fotografer di acara-acara pernikahan ataupun pensi sekolah. Bayarannya lumayan untuk kutabung supaya bisa mencicil rumah untuk istri dan anakku nanti. Kam
“Rama, nanti ada satu temen gue sama Caca ikut juga ya.. Sekalian, belum ketemu sama kami juga soalnya. Besok gue udah langsung ke Bandung lagi kan,” kata Fadhil di telepon. Aku mengiyakan perkataannya dan berencana melanjutkan tidur siang karena kepalaku masih sakit. Sekarang pukul 11, aku akan bangun pukul 2 dan bersiap-siap, pikirku. Kurebahkan lagi tubuhku yang tadi sempat bangun tiba-tiba karena panggilan telepon. Aku bermimpi bertemu dengan Ayah di suatu tempat yang tidak kukenal. Ruangan itu bernuansa biru dengan detil-detil yang samar. Aku hanya melihat Ayah berdiri di tengah dengan banyak sekelebatan seperti orang-orang berjalan hilir mudik. Yang jelas bagiku hanya Ayah. Ia memakai kemeja putih dan celana coklat favoritnya. Aku tidak begitu memperhatikan sepatunya karena agak samar. Wajahnya persis seperti Ayah namun kelihatan lebih muda dan bahagia. Tidak ada guratan lelah ataupun sakit, hanya ada wajah yang segar. Ayah melihat ke arahku dan tersenyum haru.
Satu jam berlalu dengan piring yang sudah kosong dan minuman kami berdua yang hampir habis di depan meja. Kami bicara banyak hal mengenai apapun dan itu sangat menyenangkan untukku. Dan kuharap juga untuknya. Beberapa kali ia memiringkan kepalanya dan tersenyum, menyangga dagu di tangannya seraya mendengarku menceritakan kehidupan di kampus. Ia juga menceritakan dosen-dosen di jurusannya yang membuat dia pusing bukan kepalang. Kami tertawa banyak di cerita mengenai ospek dan ia ikut berduka ketika aku menceritakan temanku di jurusan sastra Indonesia yang meninggal. Hujan tinggal gerimis waktu itu namun langit masih gelap. Di sana, sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara mengenai suatu acara sudah pulang, seorang mahasiswa berambut ikal yang tadi kelihatannya sedang mengerjakan tugas juga sudah tidak kelihatan. Meja-meja yang kosong kini sudah hampir terisi, dan kebanyakan dari meja itu diisi oleh pasangan kekasih yang sepertinya sedang malam mingguan bersama. Aku
“Ngomong-ngomong kalian kenapa udah balik lagi ke Bandung? Aku kan masih kangen.” Maria cemberut sambil memegang tangan Caca yang duduk persis di depannya. Caca balas memegang tangannya dan bersayang-sayangan. Aku melihat hal ini sambil menelan ludah. Haruskah aku berpegangan tangan juga dengan Fadhil, yang duduk persis di depanku sambil memperlihatkan tatapan kau-jangan-sentuh-aku. Kuputuskan untuk menggodanya dengan mengikuti perkataan Maria. Fadhil terlihat jijik denganku dan semuanya tertawa. “Iya, kami mau bulan madu,” kata Caca, melingkarkan pelukannya di lengan Fadhil. Mereka berciuman. Maria dan aku sama-sama menelan ludah ketika bibir mereka berpagutan. Mata mereka terpejam dan tangan Fadhil sudah mejalar kemana-mana hampir meremas payudara Caca sebelum Maria dengan berbisik menyuruh mereka berhenti karena tidak enak dilihat pengunjung kafe lainnya. Fadhil dan Caca saling tersenyum dan melihat mata keduanya lekat-lekat, sebelum akhirn
Hujan turun tidak berhenti sedari pagi. Rupanya aku memang tidak diizinkan untuk pergi keliling Jakarta hari ini. Rencanaku bisa saja berubah karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan, namun bukan karena aku tidak mengusahakannya. Aku sudah menunggu sampai siang dan berencana segera berangkat jika saja hujan reda. Namun malam menjelang dan hujan hanya berhenti sebentar, kembali lagi saat aku mau siap-siap berangkat untuk makan di luar. Tidak masalah. Dan terima kasih Tuhan karena atap kamar kos-ku tidak bocor kali ini. Aneh juga sebenarnya. Hujan yang dari tadi pagi turun ini cukup deras, dan hampir pasti jenis hujan begini akan membuatku menggeser meja belajar ke samping ranjang sehingga aku bisa menadahkan air hujan ke dalam ember. Yah, disyukuri saja. Jarang-jarang kejadian seperti ini terjadi, pikirku. Sebenarnya tubuhku butuh sedikit olahraga karena dari pagi aku hanya mendekam saja di kamar. Namun ragaku menyukainya. Bermalas-malasan di atas ranja
Tidak seperti kemarin, pagi ini langit cerah luar biasa. Suara kicau burung bersahutan mengisi keindahan yang selalu ada di bayanganku, yang kini jadi nyata. Aku baru saja selesai sarapan dan mandi, sebelum ponselku berdering, Ibu memanggil. “Halo, Ibu. Ada apa Bu?” tanyaku. Aku bisa merasakan di ujung telepon, air muka Ibu sumringah mendengar suaraku, seperti biasanya. “Halo, Nak Rama. Kabarmu baik? Kapan pulang ke rumah?” “Rama baik, Ibu baik? Iya Bu, Rama pulang ke rumah akhir minggu ini ya setelah semua barang dibereskan.” “Ibu baik. Oh begitu, yasudah kalau begitu. Kalau butuh bantuan Mas Yanto, bilang ke Ibu ya, supaya Ibu bisa suruh Mas Yanto ke sana.” Mas Yanto adalah salah satu tetangga yang tinggalnya hanya beberapa rumah dari kami. Ia seorang pria bertubuh kurus yang biasanya membantu memperbaiki AC dengan kakaknya. Namun ia bisa dipanggil sewaktu-waktu jika sedang tidak ada kerjaan untuk membantu Ibu mengantarkan kue-kue buat
Kami berjalan ke arah halte bus yang akan menuju ke Stasiun Kota. Sudah hampir pukul 9 dan haltenya cukup ramai. “Ngomong-ngomong kamu engga ada kuliah hari ini?” tanyaku. Maria tertawa kecil, malu-malu. “Hehe aku bolos.” Kami berdua tertawa. “Kenapa bolos?” “Hm…” Maria mempertimbangkan apakah akan meberitauku atau tidak, ia kelihatannya urung. “It’s okaykok kalau engga mau kasih tau,” kataku sambil tersenyum. Ia membalas senyumku. Lalu kami bicara hal-hal lainnya sambil naik ke dalam bus yang baru saja sampai. Kota Tua tidak begitu jauh dari sini, berarti berdiri sebentar lagi tidak akan membuat kakiku sakit, karena toh nanti aku akan jalan seharian. Dan mungkin akan seharian dengan Maria, itupun kalau ia ingin. “Kamu sendiri, kenapa ke Kota Tua?” tanya Maria. “Oh, aku mau keliling Jakarta sebelum berangkat.” “Wah, mau kemana aja kalau begitu?” tanya Maria semangat. “Hm, e
Kafe Batavia tidak terlalu ramai di hari Selasa siang waktu itu. Hanya ada beberapa turis dan orang Indonesia yang sepertinya berkantor dekat Kota. Kami mengambil meja di samping jendela lantai dua agar bisa melihat Museum dengan jelas. Makanan kami datang tidak terlalu lama dan kami bicara banyak hal. Dari hal-hal remeh sampai sudah menyinggung hal-hal personal mengenai keluarga, teman, diri sendiri, maupun cinta. “Sebenarnya alasanku bolos hari ini karena aku lagi bermasalah sama pacarku, Rama.” Hatiku mencelos mendengarnya. Maria sudah punya pacar? Kenapa tidak ada yang bilang? Kenapa Fadhil malah menyuruhku mendekatinya? Brengsek Fadhil! Hatiku bergejolak namun kutau yang harus kulakukan adalah mendengarnya bercerita. “Kamu punya pacar?” tanyaku, teringat bahwa wajah Maria memang seperti habis menangis di awal bertemu tadi. “Punya. Aku dan Gilang udah pacaran tiga tahun,” kata Maria lesu. Gilang namanya. Laki-laki keparat
Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami. Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”
Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang. Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.
Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya. “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis. Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa. Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa. Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra
Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka. Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium
Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama. Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis. Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel
Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan. “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya. “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani
Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang. “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama
Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku. Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…” Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?” “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut. “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya. Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t
Kami bicara banyak hal lagi sambil makan dan kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumahku dan Maria yang tidak begitu jauh dari sana. Kami sampai di sana, mengantar Fadhil dan Caca melihat-lihat. Mereka suka sekali dengan rumah kami karena rumah ini mengingatkan Caca dan Fadhil pada rumah kakek dan nenek mereka.“Aku suka banget sama rumahnya.” Caca bicara pada kami semua ketika sudah sampai di taman belakang rumah yang luas dan ia mulai memberi saran, membayangkan bahwa di sudut sebelah sana ditaruh gazebo dan di samping dekat pintu ada ayunan untuk anak-anak. Di tengah-tengah taman akan sangat bagus kalau ada air mancur kecil yang dikelilingi tanaman-tanaman kecil.Kami semua tertawa dan Fadhil memeluk tunangannya itu.“Gue mau taruh di Maps, lokasi rumah kalian, gue tulis ya Rumah Rama & Maria,” kata Fadhil merogoh sakunya dan mengambil ponsel.“Dhil, aku sama Rama udah punya sebutan untuk ru