Minggu berikutnya. Aku kembali menunggu Ana di depan masjid. Aku tak yakin dia akan kembali. Tapi usaha saja.Ana ternyata datang. Aku segera menghampirinya. Menangkap tangan wanita yang buru-buru mau kabur ini."Tunggu, Ana!""Ada apa lagi sih, Mas. Mau pamer kebahagiaan lagi?"“Ayo kita pulang!”“Pulang? Sejak kapan aku punya tempat di rumah itu?”“Mas minta maaf, Ana. Mas hanya emosi malam itu.” Aku tidak mengerti perasaanku, tapi rumah itu harus diisi kembali oleh Ana. Rumahku terlalu sepi tanpa Ana.“Tapi perbuatan Mas Adrian membuat aku mengerti kalau Mas Adrian tidak akan pernah mencintaiku dan bayi yang aku kandung.” Ana selalu bilang ‘Ana’ pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyebut ‘aku’ seolah menunjukkan kalau aku bukan orang terdekatnya lagi.“Itu tidak benar, Ana.”“Itu artinya Mas mencintaiku?”Aku terdiam. Bimbang.“Aku tahu jawabannya. Mas Adrian hanya minta aku kembali untuk Ibu kan? Agar aku bisa menemani Ibunya Mas Adrian. Maaf, Mas. Aku tidak bisa.” Ana kembali be
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
Bab 7: Kejutan dari AnaPertengkaran dengan Mas Radit membawa emosi sampai rumah. Aku mencengkeram rambut dan terus mondar-mandir di ruang tamu.Punya kakak kok sialan sekali. Istri dan anakku dia jadikan lelucon. Meski aku mencintai Ketrin, aku tak ikhlas kalau Ana menikah dengannya. Mana mungkin kubiarkan anakku memanggil ayah pada orang lain.Aku menepuk-nepuk jidat. Ke mana lagi harus kucari Ana.“Ustazah ... Ustazah ....” suara panggilan anak-anak terdengar ramai di depan rumah.Aku segera menghampiri mereka. “Cari siapa kalian?”“Ustazahnya belum pulang, Om?”“Belum. Tidak ada Ustazah di sini.”“Yaaah ....” Mereka mengeluh, lalu pergi meninggalkan halaman rumah.“Ana...!” Aku menggaruk kepala agak kasar. “Semua orang mencarimu.”*Bulan berganti. Ana tak juga kembali. Ibu tetap sakit. Hubunganku dengan Mas Radit juga kurang baik. Aku tak memiliki keberanian untuk datang ke kampung Ana karena mereka pasti menolak kehadiranku.Sedikit sekali yang kutahu tentang Ana. Selain tempat
Minggu berikutnya. Aku kembali menunggu Ana di depan masjid. Aku tak yakin dia akan kembali. Tapi usaha saja.Ana ternyata datang. Aku segera menghampirinya. Menangkap tangan wanita yang buru-buru mau kabur ini."Tunggu, Ana!""Ada apa lagi sih, Mas. Mau pamer kebahagiaan lagi?"“Ayo kita pulang!”“Pulang? Sejak kapan aku punya tempat di rumah itu?”“Mas minta maaf, Ana. Mas hanya emosi malam itu.” Aku tidak mengerti perasaanku, tapi rumah itu harus diisi kembali oleh Ana. Rumahku terlalu sepi tanpa Ana.“Tapi perbuatan Mas Adrian membuat aku mengerti kalau Mas Adrian tidak akan pernah mencintaiku dan bayi yang aku kandung.” Ana selalu bilang ‘Ana’ pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyebut ‘aku’ seolah menunjukkan kalau aku bukan orang terdekatnya lagi.“Itu tidak benar, Ana.”“Itu artinya Mas mencintaiku?”Aku terdiam. Bimbang.“Aku tahu jawabannya. Mas Adrian hanya minta aku kembali untuk Ibu kan? Agar aku bisa menemani Ibunya Mas Adrian. Maaf, Mas. Aku tidak bisa.” Ana kembali be
Bab 13: Radit Keterlaluan (Pov Adrian)Jujur aku sangat syok melihat Ana bersama Pak Rafasya. Kok bisa dia berkenalan dengan orang atas. Aku pun sulit sekali ingin berbicara dengan Pak Rafasya—harus menunggu berjam-jam.Istri kurang ajar. Apa dia selingkuh dengan bosku?"Mas, Kok, diam saja." Ketrin menghempas tanganku yang sejak tadi dia peluk."Aku juga tidak tahu kenapa Ana kenal sama Pak Rafasya.""Jangan-jangan mereka selingkuh? Lihat Pak Rafasya hari ini bawa mobil apa? Itu mobil yang gak pernah dia bawa ke kantor loh. Masa orang yang gak spesial diajak pake mobil mewah itu. Pak Rafasya bukain pintunya pula." Ketrin jadi gusar. Dia buru-buru ke jalan raya untuk melihat kepergian Ana."Aku harus cari tahu kenapa Pak Rafa bisa kenal sama si kampungan itu. Masa iya jadi selingkuhannya Pak Rafa. Gak mungkin selera Pak Rafa rendahan begitu. Dia lagi buncit pula."Aku tidak suka mendengar perkataan Ketrin yang terakhir. Ana bukan buncit, dia hamil anakku.Aku segera naik mobil dengan
“Mangganya terlihat enak, ya?”“Mangga punya orang lain, Mas. Ayo sebaiknya kita pulang.” Aku takut air liurku meleleh.“Tunggu dulu.” Mas Radit menghampiri sekuriti, lalu dia meminta mangga yang ada di sana. “Adik saya sedang hamil muda, Pak. Boleh saya minta?”“Boleh saja, Mas. Asal petik sendiri.”“Gampang.”“Mas, tidak perlu.” Aku menghadangnya.“Kamu tunggu di sini. Mas manjat sebentar.” Mas Radit menaikkan lengan sweter. Kemudian dia langsung manjat. Memetik tiga mangga dengan mudah. Setelahnya dia loncat turun.“Tiga ya, Pak.” Mas Radit menunjukkan Mangga muda yang dipetiknya pada sekuriti.“Ya,” seru sekuriti pendek.“Punya kantong keresek. Ini masukkan.”“Ada kantung obat.” Aku mengemasi mangga muda itu dengan perasaan sangat bahagia. Aku memang tak bisa makan rujak, tapi mangga muda ini bukan rujak. Jadi aku pasti bisa memakannya.Sepanjang jalan, aku memeluk tasku dengan amat senang. Aku akan langsung memotongnya begitu sampai di yayasan.Mas Radit mengantarkanku sampai ger
Bab 12: Pamer KemesraanAwalnya aku akan menumpang tinggal di yayasan sementara saja, setidaknya sampai punya uang sendiri, tapi Mbak Diana memintaku tetap tinggal di yayasan mengingat aku yang sering bantu-bantu para pengurus.“Dari pada kamu tinggal di luar, harus bayar kontrakan dan makan, mending kamu tinggal di sini, Ana. Mbak lihat para pekerja merasa terbantu dengan adanya kamu,” seru Mbak Diana.“Sebetulnya Ana mau-mau saja, tapi tempat ini kan untuk orang yang membutuhkan, Mbak. Ana sudah punya uang dan Ana tidak termasuk pada orang yang membutuhkan itu.”“Ya tak apa-apa kamar juga masih banyak yang kosong. Kita saling membutuhkan. Apa lagi kamu harus ngajar ngaji malam hari, Mbak khawatir ada masalah sama kandungan kamu. Mbak sering lihat kamu memberikan motivasi buat anak-anak yatim dan pengidap kanker di sini. Pak Tomo, yang kemarin selalu ngamuk gara-gara kecewa tak diurusi keluarganya saja sekarang bisa adem ayem kok habis ngobrol sama kamu.”Aku tersenyum sambil berpiki
Aku membuka bingkisan yang dikemas keresek ini. Begitu membuka isinya aku langsung merasa mual sampai ulu hatiku terasa nyeri. Aku masih ingat bentuk, rasa, dan pedasnya rujak yang diberikan Mas Adrian. Aku masih hafal bagaimana menyambutnya dengan segenap suka cita berharap bisa memakan rujak. Aku juga tak akan pernah melupakan Mas Adrian yang menumpahkan seluruh rujak pedas ke mukaku. Perut mual dan ulu hatiku sakit. Aku tak bisa menahan diri hingga aku mengotori mobil Mas Radit. Mas Radit langsung turun dan membuka pintu belakang. Mulanya aku menduga bahwa dia akan marah atau memaki-maki karena sudah membuatnya jijik, tapi Mas Radit malah menyerahkan tisu. "Cium ini Ana." Mas Radit buru-buru menyerahkan obat oles. Dia mengajakku ke luar karena mobil jadi kotor. "Maaf Mas, aku mengotori mobilnya." "Kamu bicara apa? Itu hanya mobil." Mas Radit menyerahkan tisu basah. "Bersihkan diri kamu ke toilet, Mas akan membersihkan mobil." "Jangan, Mas. Mas Radit tunggu saja, biar Ana yang
Bab 11: Minta MaafMas Radit turun dari mobil dan menghampiriku. “Astaga, Ana. Susah sekali mencarimu.”“Untuk apa mencari Ana, Mas?”“Ibu selalu menangis ingin bertemu kamu.”“Ana sudah memaafkan Ibu.”“Ibu ingin bertemu denganmu langsung. Kalau kamu benci pada Adrian, seharusnya tidak perlu membenciku dan Mbak Yuri, apa lagi Ibu.”“Ana tidak membenci kalian.”“Kalau begitu jangan menghindar. Kasihan Mbak Yuri, Ana. Ibu selalu mengamuk. Dimandiin ingin Ana, disuapin nolak pengin Ana. Pokonya Mbak Yuri gak bisa istirahat karena ibu selalu mengamuk ingin ketemu Ana.”Aku menghela napas. Aku bisa membayangkan kesulitan Mbak Yuri yang harus mengurus orang tua stroke yang punya keinginan.“Please, Ana. Kalau tidak bisa datang buat ibu setidaknya datanglah untuk Mbak Yuri.”Aku menimbang. “Oke, Ana akan datang. Tapi ada syaratnya.”“Apa?”“Jangan bilang Mas Adrian kalau kalian bertemu Ana. Ana tidak mau bertemu dengan Mas Adrian. Dan kedatangan Ana hanya untuk menengok, tidak untuk yang la
Bab 10: Upah NgajiAku melihat Mas Adrian ada di parkiran bersama dengan kekasihnya. Ketrin memakai selendang dan kaca mata hitam, Mas Adrian membetulkan letak selendang Ketrin dengan sangat perhatian.Aku mengusap perut. Menghela napas dengan berat. Kuurungkan niat bertemu Bu Santi. Untuk apa aku peduli pada ibunya Mas Adrian sementara Mas Adrian saja berusaha menggantikan namaku di hati ibunya.Aku mengawasi mereka dari kejauhan sampai mereka pulang. Aku harus bisa menerima dengan ikhlas kesakitan ini. Rasanya dicampakkan memang tidak enak, tapi inilah yang terbaik. Kita bisa saling melepaskan.“Ya Allah, jika istri yang dicampakkan suaminya termasuk orang yang terdolimi, maka tolong kabulkan doaku. Engkau tak perlu menghukum Mas Adrian, cukup limpahkan rezeki anakku hingga tumpah ruah, sehatkan badannya, sempurnakan fisiknya, jadikan di sebagai qurotaayun-ku yang akan mengganti setiap air mata ini.”Aku pulang dan kembali mengabari ibu. “Ana tak bisa menengok Bu Santi karena Ketrin
Bab 9. Rumah BaruIstana. Ini terlalu mewah jika dibilang yayasan. Ini rumah konglomerat. Sangat megah, besar, dan luas.“Ana, karena yayasan sudah tutup, jadi malam ini kamu tidur di rumahku. Besok saya berjanji akan mengantarkanmu ke yayasan.”Aku sungkan. Memangnya boleh orang asing masuk ke rumah semegah ini. Mbak Diana menjelaskan kalau ini biasa baginya, dia tak khawatir memasukkan orang yang butuh bantuan karena niatnya tulus.Aku langsung dijamu begitu memasuki rumah megah itu. Banyak sekali makanan yang mereka sediakan, aku tidak bisa makan banyak karena selalu mual. Beberapa kali menahan muntah saat makan sepotong apel.Mbak Diana melihatku dengan aneh.“Maaf, Mbak, Bukan tak sopan. Saya sebenarnya sedang hamil muda.”“Hamil muda?” Mbak Diana mengernyit. “Terus suamimu melakukan KDRT saat kamu hamil begini?”“Saya tadi mengganggu tidurnya karena pingin rujak. Tapi suami saya marah dan malah menumpahkan semua rujaknya ke muka saya.”“Astagfirullah. Kok ada ya lelaki sejahat i
Bab 8: Menyerah (POV Anaya)Malam tragedi itu. Mataku sangat perih dan rasanya seperti terbakar. Aku buru-buru ke kamar mandi dan membilas muka. Seluruh wajahku terasa panas. Perihnya bahkan tidak bisa hilang dengan dibilas air. Apa lagi di bagian mata. Sangat sakit.Aku mengganti pakaian, lalu duduk di sofa sambil memeluk lutut. Tangan tidak henti-hentinya mengusap mata. Sebetulnya ada yang lebih sakit dari mataku ini, yaitu seonggok daging yang bernama hati. Nyeri sekali rasanya. Aku jarang sekali meminta, aku memohon hanya karena sudah tak kuasa menahan. Ini juga karena mengandung anaknya. Jika Mas Adrian tak punya kasih sayang seharusnya punya empati.Aku menunggunya dengan penuh harap dan air liur yang seperti meleleh. Aku begitu bahagia saat motornya kembali terdengar, terbayang saja bagaimana enaknya makan rujak setelah seharian tak ada makanan yang masuk. Namun seperti ini lah sikapnya.Air mataku mulai berderai. Merasakan hati yang seperti diiris-iris. Sakitnya bukan hanya di